UU ITE, Bentuk Pemerintah Membatasi Kebebasan Berpendapat?

Dzikra Miftahulrizki Harinurdin
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
13 Desember 2022 19:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dzikra Miftahulrizki Harinurdin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sumber: Dokumen Pribadi.
Tak dapat dimungkiri bahwa di era teknologi ini memudahkan terjadinya pertukaran informasi dan komunikasi melalui media sosial. Melalui media sosial, setiap orang memiliki wadah untuk berekspresi dan menuangkan pendapat atas kesadaran dirinya.
ADVERTISEMENT
Hal ini dapat mendukung adanya hak untuk kebebasan berpendapat bagi setiap individu, yang merupakan salah satu dari bagian Hak Asasi Manusia (HAM). Selain itu, Indonesia merupakan negara demokrasi yang berlandaskan dengan kedaulatan rakyat. Dalam negara demokrasi, suatu kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah hak yang dimiliki oleh seluruh masyarakat.
Berkaca dengan yang telah dikemukakan diatas, lantas mengapa masih terdapat adanya kasus-kasus yang pada hakikatnya membatasi kebebasan berpendapat. Selain itu, kasus-kasus yang membatasi kebebasan berpendapat sebagian besar ditemukan dalam media sosial.
Hal ini didukung oleh laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang mengemukakan bahwa dalam periode 2020-2021 kasus pelanggaran kebebasan berpendapat sebagian besar terjadi dalam ruang digital atau online. Berdasarkan hal tersebut, apakah benar bahwa kebebasan berpendapat itu dijamin oleh pemerintah?
ADVERTISEMENT

Kebebasan Berpendapat dalam Undang-Undang

Negara memberikan jaminan dan perlindungan mengenai kebebasan berpendapat yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kebebasan berpendapat tercantum dalam Pasal 23 Ayat (2) dan Pasal 25. Merujuk pada peraturan tersebut, masyarakat bebas untuk berpendapat sesuai hati nuraninya dalam berbagai media dengan memperhatikan kepentingan umum dan bertanggung jawab sesuai ketentuan yang berlaku.
Berdasarkan hal tersebut, kebebasan berpendapat memang merupakan suatu hal yang penting dalam masyarakat. Ditambah, adanya media sosial pada saat ini sangat memudahkan seseorang untuk menyampaikan pendapatnya. Dengan adanya realitas sosial tersebut, diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau yang dikenal dengan UU ITE. Peraturan tersebut bertujuan untuk mengatur pertukaran informasi dan transaksi elektronik.
ADVERTISEMENT
Namun dalam pelaksanaannya, UU ITE justru memicu adanya pembatasan dalam berpendapat. Hal ini disebabkan dengan adanya pasal yang disebut dengan pasar karet didalamnya. Lantas, apakah yang dimaksud pasal karet itu?

UU ITE dan Pasal Karet

UU ITE yang pada dasarnya diharapkan mampu untuk mengatur kebebasan berpendapat dalam media sosial ternyata mengalami ketidaksesuaian dalam penerapannya. Adanya UU ITE justru dianggap membatasi atau bahkan membungkam kebebasan berpendapat itu sendiri. Terdapat pasal yang menuai kontra dan memiliki ketidakjelasan dalam implementasinya sehingga menjadi kelemahan didalamnya. Inilah yang dianggap merupakan pasal karet dalam UU ITE.
Pasal karet merupakan sebutan untuk mendeskripsikan peraturan yang dapat dikatakan bersifat subjektif, sehingga memungkinkan munculnya penafsiran ganda dalam penerapannya. Pasal tersebut sesuai dengan sifat karet itu sendiri, elastis sehingga dapat ditarik ulur. Ditarik ulur dalam hal ini adalah memiliki batasan yang cakupannya sangat luas sehingga mampu digunakan untuk menjangkau tujuan dari pihak yang berkepentingan.
ADVERTISEMENT

Penggunaan UU ITE oleh Pemerintah

Pada kenyataannya, memang tak jarang pendapat yang disampaikan memuat unsur kritik dan saran yang menyasar suatu pihak. Pemerintah pun dapat dikatakan menjadi salah satu pihak yang sering dijadikan objek oleh masyarakat dalam berpendapat mengenai kinerja dan kebijakannya. Adanya unsur kritik kepada pemerintah ini merupakan salah satu objek yang dapat terjerat oleh UU ITE.
Salah satu contohnya adalah Menteri Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang melaporkan Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar dan Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti atas dugaan pencemaran nama baik yang terdapat dalam video yang diunggah akun YouTube Haris Azhar pada tahun 2021.
Dalam video tersebut, terdapat opini atas terjadinya operasi militer di Papua adalah suatu tindakan ilegal. Ditambah lagi, adanya opini mengenai indikasi keterkaitan dalam penurunan operasi militer dengan bisnis pertambangan di Papua, yang berhubungan dengan Luhut Panjaitan.
ADVERTISEMENT
Atas kejadian tersebut pihak Luhut mengirimkan somasi dan meminta keduanya meminta maaf. Namun, Luhut merasa jawaban Fatia dan Haris dalam somasi tidak memuaskan sehingga keduanya dilaporkan ke Polda Metro Jaya atas kasus dugaan pencemaran nama baik dengan menggunakan Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Dalam Pasal 27 ayat (3) tersebut, menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menyatakan informasi yang didalamnya memuat penghinaan atau pencemaran nama baik dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. Satu hal yang menarik, hukuman yang tertera lebih berat dibandingkan dengan hukuman dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai pencemaran nama baik.

UU ITE, Wujud Pembatasan Kebebasan Berpendapat?

Dari contoh diatas menunjukan, bahwa masih adanya kasus yang menggambarkan wujud pembatasan dalam kebebasan berpendapat bagi masyarakat Indonesia, terlebih mengenai kebebasan berpendapat dalam mengkritik pemerintah dilakukan melalui media sosial.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya sikap dari pemerintah yang membatasi pendapat dan kritik dari masyarakatnya, tidak sesuai dengan apa yang telah dijamin oleh pemerintah itu sendiri. Hal ini sangat bertentangan dengan apa yang telah dikemukakan di awal, bahwa negara melalui undang-undang menjamin kebebasan berpendapat karena dianggap bagian dari hak asasi manusia.
Ditambah, melalui Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 mengenai Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, masyarakat memiliki hak untuk mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang penyelenggaraan negara. Selain itu masyarakat juga terjamin haknya dalam menyampaikan saran dan pendapat.
Berlandaskan berbagai penjelasan yang dikemukakan sebelumnya, diterapkannya UU ITE dalam menjerat orang-orang yang mengutarakan pendapatnya dapat dikatakan sebagai bentuk pemerintah dalam membatasi kebebasan berpendapat itu sendiri. Adanya unsur yang masih bersifat elastis dan subjektif menjadi salah satu sebab penerapan UU ITE belum dapat berlaku sesuai dengan tujuan yang seharusnya. Terlebih, adanya fakta hukuman yang jauh lebih berat dalam UU ITE seperti menunjukan ancaman atas tindakan tersebut.
ADVERTISEMENT
Diperlukan adanya tindakan dari pemerintah agar berlakunya UU ITE dalam masyarakat tidak membatasi atau bahkan membungkam kebebasan berpendapat. Adanya revisi atau berlakunya peraturan yang lebih jelas diharapkan mampu mengatasi berbagai kelemahan di dalam UU ITE itu sendiri.