Legasi Suharto di Era Reformasi

Dadang I K Mujiono
Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Mulawarman
Konten dari Pengguna
26 April 2022 17:58 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dadang I K Mujiono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kesepakatan dalam politik (Sumber:Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kesepakatan dalam politik (Sumber:Pixabay)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tulisan kali ini terinspirasi dari karya tulis Edward Aspinall, seorang Profesor di Departemen Politik dan Perubahan Sosial Universitas Nasional Australia yang berjudul “Indonesia: The irony of success” yang terbit pada tahun 2010.
ADVERTISEMENT
Dalam tulisannya, Aspinall membahas bagaimana Indonesia sepuluh tahun yang lalu (sepuluh tahun sebelum tulisannya terbit – berarti 2000) diprediksi oleh banyak sarjana politik akan kesulitan menjadi kandidat “negara demokrasi.” Prediksi tersebut didasari oleh tiga perlintasan politik.
Pertama, Luka masa lalu kepemimpinan rezim otoriter Suharto dari tahun 1967 sampai 1998, yang mana banyak pengamat mengatakan reformasi pasca runtuhnya orde baru masih banyak catatan dan memungkinkan mengembalikan roh orde baru di masa reformasi. Kedua, banyaknya konflik bernuansa suku, agama, dan ras (SARA) serta gerakan-gerakan separatis di daerah yang sangat mengancam NKRI. Terakhir, munculnya gerakan-gerakan Islamis yang mengkampanyekan transformasi Indonesia dari Republik ke Negara Islam, termasuk pemberlakuan hukum syariah.
Ketiga perlintasan politik ini tentu menjadi catatan tersendiri, bagaimana Indonesia – melalui seluruh lapisan masyarakatnya – baik pejabat dan masyarakat bisa mewujudkan cita-cita bersama (atau mungkin cita-cita sebagian orang saja) menjadi negara demokrasi liberal atau demokrasi konstitusional yang bertumpu pada kebebasan individu dan kekuasaan pemerintah yang bersumber dari hak-hak individu.
ADVERTISEMENT
Di tahun 2010, setelah tiga perlintasan politik tersebut, apakah Indonesia berhasil mewujudkan demokrasi liberal? Faktanya di era Susilo Bambang Yudhoyono (tepat ketika tulisan Aspinall di atas terbit) banyak pengamat mengatakan Indonesia mengalami stagnasi dalam upaya mewujudkan atau menghadirkan prinsip dasar demokrasi di dalam negeri.
Alih-alih mewujudkan demokrasi liberal atau konstitusional, penerus Suharto, sampai di era SBY faktanya, memiliki banyak irisan dengan orde baru dan menerapkan banyak pola yang dipakai Suharto dalam menjalankan pemerintahan. Contohnya, B.J. Habibie merupakan menteri dan wakil presiden terakhir di era Suharto. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) merupakan tokoh utama organisasi Islam di bawah rezim Suharto. Megawati Soekarnoputri, meskipun menjadi simbol perlawanan di akhir masa order baru, namun faktanya Megawati juga merupakan pemimpin dari partai politik yang di masa orde baru diizinkan oleh rezim untuk berpartisipasi. SBY, mengeklaim dirinya merupakan seorang reformer (seseorang yang rasional dan sangat idealis), namun faktanya, dia adalah seorang purnawirawan Jenderal TNI.
ADVERTISEMENT
Artinya dari keempat Presiden setelah Suharto, tidak ada wajah-wajah baru, semua masih memiliki garis persinggungan dengan orde baru. Terpenting lagi, dalam penentuan anggota kabinet dari masing-masing presiden juga mewarisi pola Suharto dalam menentukan kabinetnya. Yakni menempatkan menteri-menteri dari partai peraih suara terbanyak di DPR-RI, dan menempatkan purnawirawan dan pejabat aktif TNI dan Polri di banyak jabatan sipil - dua pilar prinsipal yang sangat melekat dengan gaya kepemimpinan Suharto di pemerintahan.
Di era empat presiden pasca Suharto ini juga, praktik-praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang oleh para pejabat secara tidak langsung berkontribusi terhadap suburnya jaringan patronase di Indonesia. Para elite nasional menjadi patron atau pelindung dari para klien atau elite lokal di daerah untuk mengamankan kepentingan para elite.
ADVERTISEMENT

Indonesia yang menarik bagi para sarjana asing

Dengan adanya fenomena jaringan patronase dan jejak-jejak orde baru di era reformasi telah menarik banyak sarjana politik asing untuk meneliti – yang mana secara tidak langsung – menjawab alasan dibalik meroketnya studi tentang Indonesia pasca orde baru di Amerika Serikat dan Australia. Singkat kata, Indonesia menawarkan hal baru dan menjadi laboratorium unik untuk menguji tema-tema politik.
Tidak heran, banyak sarjana asing dari universitas terkemuka di Amerika Serikat, salah satunya Universitas Cornell menjadi sarjana terkenal dan karya tulisnya tentang Indonesia menjadi rujukan utama dalam diskursus politik baik Indonesia ataupun di luar Indonesia. Benedict Anderson merupakan salah satu contoh sarjana asal Amerika Serikat dan lulusan Universitas Cornell yang menulis banyak tentang Indonesia, dan karya tulisnya masih dipakai sebagai rujukan utama oleh para penstudi Indonesia sampai sekarang.
ADVERTISEMENT
Dari adanya fenomena di atas juga, para sarjana politik banyak berargumen bahwa alih-alih mewujudkan demokrasi liberal – terima kasih dengan adanya korupsi dan jaringan patronase yang tumbuh subur – demokrasi di Indonesia justru dikategorikan sebagai “demokrasi kolusif,” “demokrasi patrimonial,” dan “demokrasi patronase,” yang mana ketiga jenis demokrasi tersebut sangat bertentangan dengan demokrasi yang menunjang hak-hak individu.

Legasi Suharto di era Reformasi?

Sekarang, bagaimana kepemimpinan di era Presiden Joko Widodo (Jokowi)?
Terlepas dari Jokowi bukan purnawirawan TNI atau Polri dan tidak memiliki hubungan atau garis singgung dengan orde baru. Faktanya dalam menjalankan pemerintahan, pola-pola yang dipakai Suharto juga dapat dengan mudah kita temukan di masa Jokowi.
Pertama pos beberapa menteri yang diisi oleh purnawirawan dan pejabat aktif TNI-Polri. Contohnya Jendral TNI (Purn) Moeldoko sebagai Kepala Staf Kepresidenan, Jendral Polisi (Purn) Tito Karnavian sebagai Menteri Dalam Negeri, Jendral TNI (Purn) Fachrul Razi sebagai Menteri Agama (periode 2019-2020), Letnan Jendral TNI (Purn) Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan, Marsekal TNI (Purn) Hadi Tjahjanto sebagai Komandan Lapangan MotoGP Mandalika 2020, Jendral TNI (Purn) Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, dan Mayor Jenderal (TNI) Terawan Agus Putranto sebagai Menteri Kesehatan (periode 2019-2020).
ADVERTISEMENT
Kedua, dinasti politik Jokowi, yakni dengan terpilihnya Menantu Jokowi sebagai Wali kota Medan dan putra pertama Jokowi sebagai Wali kota Solo.
Ketiga, adanya isu penundaan pemilihan presiden 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode, yang mana isu ini justru digembar-gemborkan oleh beberapa menteri di kabinet Jokowi.
Jokowi dalam beberapa kesempatan dengan tegas menolak isu tersebut, meskipun di beberapa kesempatan menyampaikan bahwa isu tersebut merupakan aspirasi masyarakat. Terlepas dari penolakan Jokowi terhadap isu penundaan dan perpanjangan masa jabatan presiden, terpilihnya putra pertama Jokowi sebagai wali kota Solo dan sempat disebut-sebut akan maju di pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2024 – mengikuti jejak sang ayah – memunculkan spekulasi bahwa Jokowi masih tetap ingin memiliki pengaruh politik yang kuat di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Hal ini, tentu tidak lain karena ingin mengamankan banyak mega proyek, salah satunya pemindahan IKN. Terpenting, Jokowi sadar, bahwa tantangan terbesar politik di Indonesia adalah tidak adanya kebijakan yang berkelanjutan.