Konten dari Pengguna

UU Jaminan Produk Halal: Klaim Halal vs Tidak Halal

EA Rahayu
- Ketua Asosiasi Lembaga Pemeriksa Halal Indonesia (ALPHI) - Direktur Assessment dan Kerjasama Dalam/luar negri LPHKHT PP Muhammadiyah
5 November 2024 7:51 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari EA Rahayu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Label Halal Indonesia. Foto: Kemenag RI
zoom-in-whitePerbesar
Label Halal Indonesia. Foto: Kemenag RI
ADVERTISEMENT
UU Jaminan Produk Halal (JPH) No. 33 tahun 2014 pada pasal 4 menyatakan bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Namun pasal 4 UU JPH tersebut dijelaskan pada pasal 2 PP 42, 2024 (perubahan dari PP 39 2021) yang menyatakan bahwa (1) produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal, (2) produk yang berasal dari bahan yang diharamkan dikecualikan dari kewajiban bersertifikat halal, dan (3) produk sebagaimana dimaksud pada ayat 2 wajib diberi keterangan tidak halal.
ADVERTISEMENT
Dari UU No 33 /2014 menyatakan bahwa Jaminan Produk Halal di Indonesia output-nya adalah sertifikat halal. Sertifikat halal dilakukan dengan 2 skema yaitu skema regular (pelaku usaha menengah besar dan kecil) dan skema pernyataan mandiri (self declare= SD) untuk produk UMK dengan kategori produk yang telah ditetapkan berdasarkan kepkaban 57/2022.
BPJPH selain sebagai regulator,pengawas juga sebagai eksekutor. Eksekutor dalam konteks proses sertifikasi halal, maka BPJPH Bersama MUI bertindak sebagai Lembaga sertifikasi. Mengapa? Karena BPJPH dan MUI memiliki otoritas dalam hal sertifikat halal.
Pada UU JPH pasal 33 penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI dalam sidang fatwa dan berdasarkan penetapan halal produk yang dilakukan oleh proses fatwa maka BPJPH menerbitkan SH.
ADVERTISEMENT
Untuk jalur SD, maka komisi fatwa MUI digantikan perannya oleh Komite Fatwa yang ada di bawah Kementerian Agama. Berdasarkan ketetapan dari Komite Fatwa, BPJPH menerbitkan SH.
Dalam pelaksanaan wajib halal ada pentahapan yaitu Wajib Halal Oktober periode 2024, 2026, 2029, dan 2034.

Sertifikasi Halal Wajib vs Intoleransi

UU JPH memaknai jaminan produk halal dengan output-nya adalah Sertifikat Halal. Produk Halal merupakan kebutuhan konsumen muslim mana pun yang tidak dapat ditawar. Sehingga bagi konsumen muslim produk halal adalah wajib. Sertifikasi halal dan jaminan produk halal adalah dua hal yang sebenarnya berbeda. Sertifikat halal menjadi bagian dari Jaminan Produk Halal. Lalu apakah kemudian pelaksanaan UU JPH dianggap intoleran?
Saya dapat memastikan bahwa tuduhan tersebut sangat tidak tepat. Keberadaan UU JPH adalah upaya pemerintah untuk melindungi kepentingan penduduk Indonesia yang mayoritas muslim. Namun, aturan tersebut juga memberikan ruang bagi kepentingan penduduk minoritas lainnya. Seperti jamaknya di Bali dan Manado atau bagian Indonesia lainnya yang mengkonsumsi bahan yang diharamkan untuk konsumen Muslim.
ADVERTISEMENT
Pasal 26 UU JPH No.33 /2014 menyatakan bahwa pelaku usaha yang memproduksi Produk dari Bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan dikecualikan dari mengajukan permohonan sertifikasi halal, sebagaimana dijelaskan pada PP No.42/2024 pasal 2 ayat 2 dan 3.

Klaim Produk Tidak Halal

UU JPH memberikan keleluasaan bagi pelaku usaha yang tidak ingin menyatakan produknya laik untuk dikonsumsi oleh konsumen muslim, dengan syarat harus diklaim. Adil kan? Jadi Ketika tidak mau memberikan jaminan produk halal berupa sertifikat halal, silakan klaim bahwa produk tersebut tidak halal bagi konsumen muslim Indonesia.
Klaim keterangan tidak halal juga wajib dicantumkan oleh pelaku usaha, jika produknya berasal dari bahan yang diharamkan. Label tidak halal wajib berdasarkan pasal 26 ayat 2 UU JPH dan pasal 110 PP No.42/2024.
ADVERTISEMENT
Lalu apakah semua produk lantas menjadi kategori halal dan tidak halal?
Pasal 70 PP42/2024 (pasal 62 ayat 2 PP No.39/2021) menyatakan bahwa ada bahan-bahan yang dikecualikan dari wajib sertifikasi halal jika bahan tersebut berasal dari alam dan tidak memiliki risiko mengandung bahan haram baik dari segi bahan asalnya ataupun dalam proses produksinya. Jadi tidak semua produk wajib sertifikasi halal.