Konten dari Pengguna

Geothermal: Energi Hijau dengan Dilema Sosial

Abigail Priskila
Mahasiswa Geologi Universitas Indonesia
13 Oktober 2024 9:52 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abigail Priskila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Asap dari kawah Gunung Papandayan menggambarkan potensi geothermal, tetapi juga mengingatkan kita akan tantangan lingkungan dan sosial yang menjadi bagian di dalamnya (Dokumentasi Pribadi).
zoom-in-whitePerbesar
Asap dari kawah Gunung Papandayan menggambarkan potensi geothermal, tetapi juga mengingatkan kita akan tantangan lingkungan dan sosial yang menjadi bagian di dalamnya (Dokumentasi Pribadi).
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indonesia dengan sumber daya alamnya yang melimpah, memiliki potensi besar untuk menjadi agen aktif dalam pemanfaatan energi terbarukan. Namun, dalam pelaksanaan dan realisasinya didapatkan bahwa pemanfaatan dari potensi tersebut belum optimal. Total potensi energi terbarukan untuk pembangkit listrik mencapai 3.687 GW, tetapi hingga tahun 2022, hanya 0,3% atau sekitar 12,6 GW yang telah diaktifkan. Sebuah tantangan besar yang perlu dihadapi demi menciptakan masa depan energi yang berkelanjutan. “Energi adalah darah” adalah analogi yang tepat untuk mendeskripsikan peran energi dalam berbagai sektor kehidupan. Energi, sebagai darah kehidupan, mengalir sebagai kekuatan tak terlihat yang memelihara dan menghidupkan setiap aspek di masyarakat. Analogi ini menyuarakan semangat transisi dari energi konvesional menuju ke energi bersih. Energi bukan hanya elemen teknis, tetapi merupakan kekuatan vital yang memberi kehidupan pada seluruh sektor.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kondisi dunia dewasa ini kian memprihatinkan. Perubahan iklim yang semakin memburuk mengakibatkan dampak negatif yang lebih luas. Hal ini bisa kita lihat dari peningkatan suhu udara serta meningkatnya bencana hidrometeorologi di berbagai pelosok dunia. Isu ini mencuri perhatian dunia karena dampak dan resiko yang dihasilkan lebih besar dan sangat berpengaruh pada keberlangsungan makhluk hidup dan generasi di masa mendatang. Namun, nyatanya fenomena yang terjadi ditengah masyarakat Indonesia justru berbeda. Penolakan terhadap bukti ilmiah perubahan iklim masih menjadi tantangan besar di tengah masyarakat, seperti yang kita tahu Indonesia yang secara geografis hidup di kawasan yang dilewati garis khatulistiwa mengalami berbagai bencana, seperti bencana hidrometeorologi. Uniknya, bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim ini ini dipandang sebelah mata dan dianggap menjadi satu hal lumrah oleh masyarakat. Mereka lebih memilih pasrah dan menerima ini sebagai musibah yang “memang” seharusnya diterima.
ADVERTISEMENT
Jika membahas mengenai perubahan iklim, tentunya tak lepas dari peran “main actor” kita yaitu bahan bakar fosil. Tahun 2023 merupakan tahun terburuk, karena telah terjadi berbagai fenomena besar seperti gelombang panas yang luar biasa melanda Amerika di pertengahan musim dingin, pencairan es laut yang di Antartika dan gelombang panas laut yang melanda lautan di dunia. Pembakaran bahan bakar fosil memang telah menunjukkan eksistensi yang baik dan memberikan dampak bagi umat manusia khususnya dalam menggerakkan roda perekonomian. Namun, disisi lain ia juga menyumbang bagian terbesar dari pemanasan 1,2°C di era industri dan pembakaran hidrokarbon bertanggung jawab atas 80% emisi CO2. Untuk itu, diperlukan peralihan dari bahan bakar fosil menuju energi yang lebih bersih karena jika emisi ini terus berlanjut, pemanasan global akan menempati angka 2,5°C di akhir abad ini. Apabila hal tersebut terjadi, bumi berada di “ambang batas kritis” yang tentunya memperbesar dampak iklim kedepannya dan menghasilkan resiko yang lebih ekstrim terhadap kehidupan manusia.
ADVERTISEMENT
Dengan menyoroti urgensi peralihan dari bahan bakar fosil menuju energi terbarukan, dapat kita pahami bahwa langkah ini tidak hanya relevan dalam menanggapi perubahan iklim, tetapi juga menjadi langkah krusial dalam membentuk landasan bagi masa depan yang berkelanjutan. Seperti disebutkan sebelumnya, dampak emisi bahan bakar fosil pada pemanasan global yang semakin meningkat mengindikasikan kebutuhan mendesak untuk mengubah paradigma energi. Pergeseran paradigma menuju energi terbarukan bukan hanya tentang memenuhi kebutuhan energi, tetapi juga tentang membangun masa depan yang berkelanjutan. Energi terbarukan bukan hanya solusi untuk mengurangi dampak lingkungan negatif, tetapi juga menjadi kunci untuk menciptakan kestabilan ekonomi jangka panjang dan mengurangi ketergantungan pada sumber daya energi yang terbatas.
Mendukung perkembangan energi terbarukan seharusnya bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau sektor industri. Masyarakat juga memiliki peran penting dalam menyuarakan kebutuhan akan energi yang ramah lingkungan dan berpartisipasi dalam upaya konservasi energi dan tentunya hal ini tidak terlepas dari pandangan kami sebagai Mahasiswa. “Untuk bisa berarti gak harus nunggu jadi petinggi”, kalimat yang cocok untuk membakar semangat para mahasiswa untuk berkontribusi aktif dalam pengembangan EBT di Indonesia guna mencapai Net Zero Emission 2060. Sebagai agen perubahan masa depan, mahasiswa Indonesia memiliki tanggung jawab untuk berkontribusi dalam mencari solusi inovatif untuk tantangan energi global. Dengan pengetahuan yang mereka peroleh di bangku kuliah dan didukung dengan kreativitas, semangat inovasi, akan mendorong Indonesia dalam pengembangan EBT guna menciptakan masa depan energi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
ADVERTISEMENT
Menghadapi tantangan pemanfaatan energi terbarukan, Indonesia memiliki peluang untuk memimpin dalam inovasi dan implementasi solusi berkelanjutan. Perpindahan paradigma ini bukanlah langkah yang mudah, tetapi merupakan investasi jangka panjang menuju kemandirian energi dan kelestarian lingkungan. Melalui kerjasama antar sektor, kesadaran masyarakat, dan dukungan kebijakan yang tepat, Indonesia dapat membuka pintu menuju masa depan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Paradigma bergeser dari energi konvensional ke energi terbarukan bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau industri, tetapi sebuah perjalanan bersama menuju keberlanjutan energi untuk generasi-generasi mendatang.
Dalam konteks global yang mendesak untuk mengurangi emisi karbon, geothermal memiliki potensi sebagai salah satu solusi bagi Indonesia dalam mencapai target pengurangan emisi yang ditetapkan dalam Paris Agreement. Pengembangan energi geothermal secara teoritis memberikan alternatif untuk memenuhi kebutuhan energi nasional secara berkelanjutan. Seperti yang telah disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada KTT Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim (COP28) di Dubai, Indonesia menegaskan komitmennya untuk membangun negara yang makmur dan berkelanjutan dengan ekonomi yang inklusif. Indonesia berkomitmen untuk mencapai nol emisi karbon sebelum tahun 2060, dan salah satu tonggak dalam target Net Zero Emission 2060 adalah pemanfaatan Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBT) hingga 23% pada tahun 2025.
ADVERTISEMENT
Namun, penting untuk diakui bahwa berpindah ke energi terbarukan bukanlah keputusan teknologi semata, melainkan sebuah pergeseran paradigma. Masyarakat, pemerintah, maupun industri harus bersinergi dalam menciptakan lingkungan yang mendukung dan merangkul perubahan ini. Salah satu langkah awal yang perlu diambil adalah memahami mengapa energi terbarukan, khususnya geothermal menjadi pilihan yang lebih baik untuk masa depan.
Geothermal memiliki beberapa keunggulan sebagai sumber energi. Tidak seperti batu bara yang menimbulkan polusi udara atau energi surya dan angin yang bergantung pada kondisi cuaca, pengembangan panas bumi selaras dengan semangat transisi energi saat ini, dimana pemanfaatan panas bumi mendukung pemanfaatan green energy yang rendah emisi. Indonesia, sebagai negara yang terletak di Cincin Api Pasifik memiliki potensi besar dalam pengembangan energi geothermal. Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, potensi panas bumi di Indonesia mencapai sekitar 23,4 gigawatt, sementara kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) adalah 2,3 gigawatt. Dengan kata lain, masih ada potensi yang sangat besar yang belum dimanfaatkan. Tak hanya itu, geothermal dapat digunakan sebagai baseload, baik untuk dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik dan sumber panas. Disamping itu, geothermal juga dapat dimanfaatkan untuk produksi green hydrogen, pasokan mineral kritis dan digunakan untuk mendukung carbon capture.
ADVERTISEMENT
Pengembangan energi panas bumi di Indonesia sering dianggap sebagai solusi ramah lingkungan untuk memenuhi kebutuhan energi yang terus meningkat. Sebagai sumber energi terbarukan, geothermal diyakini mampu mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil serta menekan emisi karbon. Namun, seperti yang ditunjukkan dalam film dokumenter “Sexy Killers” karya Dandhy Laksono, setiap bentuk eksploitasi sumber daya alam memiliki dampak lingkungan dan sosial yang perlu dipertimbangkan secara serius, termasuk pengembangan energi terbarukan tak terkecuali, geothermal. Tak hanya itu, pengembangan geothermal memiliki risiko tinggi dan tidak terlepas dari sejumlah kendala dan tantangan, terutama dalam hal dampak terhadap ekosistem lokal dan masyarakat. Dalam pengembangan geothermal, sering muncul konflik antara kepentingan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Aktivitas eksplorasi geothermal memerlukan pengeboran dan pembangunan infrastruktur yang besar, yang sering kali dilakukan di daerah-daerah yang sensitif secara ekologis, seperti hutan lindung dan kawasan yang dihuni masyarakat adat. Hal ini berpotensi menyebabkan kerusakan pada ekosistem, mengganggu kehidupan satwa liar, serta merusak sumber air. Beberapa proyek mengalami penolakan dari masyarakat yang khawatir akan dampak negatif dari eksplorasi geothermal terhadap aktivitas mereka. Contohnya adalah insiden di lokasi proyek PLTP Sorik Marapi pada Januari 2021, di mana terjadi kebocoran gas hidrogen sulfida dari sumur eksplorasi (Kementerian ESDM, 2021).
ADVERTISEMENT
Sebagai kesimpulan, transparansi dan tanggung jawab dalam setiap proyek eksploitasi sumber daya alam sangat diperlukan, terutama dalam pengembangan geothermal yang harus memperhatikan dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai transisi energi yang berkelanjutan, energi baru terbarukan seperti geothermal harus dikembangkan dengan prinsip keberlanjutan tanpa merusak ekosistem lokal. Pemerintah dan perusahaan energi memiliki peran penting dalam memastikan hal ini, tetapi kesadaran publik dan partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan serta pengambilan keputusan juga krusial. Melalui keterlibatan dari berbagai pihak, geothermal dapat menjadi solusi hijau yang adil dan berkelanjutan, menciptakan keseimbangan antara kebutuhan energi dan kelestarian lingkungan. Dengan langkah-langkah ini, kita tidak hanya mengoptimalkan potensi geothermal sebagai sumber energi bersih, tetapi juga menegaskan komitmen kita terhadap keberlanjutan.
ADVERTISEMENT