Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Media Sosial: Ekspresi Tanpa Batas, Tapi Bukan Tanpa Etika
10 Mei 2025 15:48 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Amanda Fiesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Media sosial sekarang bukan cuma tempat buat eksis, tapi juga jadi panggung bebas berekspresi. Tapi pertanyaannya: kita udah bener belum pake panggung itu?
Bangun, Scroll, Baru Cuci Muka
Media sosial sekarang udah kayak napas kedua. Bangun pagi, scroll dulu baru cuci muka. Makan, foto dulu baru santap. Tapi seiring teknologi berkembang, etika kita di dunia digital justru makin kabur. Cancel culture makin kejam, netizen makin nyinyir, dan komentar tajam seolah jadi budaya.
TikTok: Hiburan atau Ajang Penghakiman?
TikTok jadi platform paling hits. Dari lipsync, challenge, sampe konten edukatif—semua ada. Tapi kadang, kebebasan berpendapat di TikTok disalahgunakan. Komentar tanpa filter bisa berubah jadi cyberbullying. Satu kesalahan kecil bisa viral, lalu jadi bahan cancel culture.
ADVERTISEMENT
Menurut prinsip etika media sosial, kebebasan berekspresi harus dibarengi tanggung jawab. Jangan sampai karena pengen viral, kita malah menyakiti orang lain atau ikut tren negatif yang gak berguna.
Saran: Sebelum posting, tanya ke diri sendiri: Konten ini berdampak positif atau malah bikin orang lain down?
Instagram: Dunia Estetik yang Gak Selalu Real
Instagram itu dunia paralel. Semua terlihat estetik, sempurna, bahagia. Tapi gak semua yang kamu lihat itu nyata. Banyak yang difilter, diedit, dan dimanipulasi.
Padahal, etika digital juga bicara soal dampak psikologis dari konten yang kita bagikan. Mungkin buat kita, itu cuma foto. Tapi buat orang lain, itu bisa jadi sumber rasa minder.
Saran: Post boleh, tapi coba lebih jujur dan realistis. Gak perlu selalu sempurna buat diterima.
ADVERTISEMENT
X/Twitter: 280 Karakter yang Bisa Menyakiti
X (dulu Twitter) terkenal sebagai tempat paling bebas buat curhat dan beropini. Tapi saking bebasnya, hoaks, body shaming, bahkan fitnah jadi hal biasa.
Padahal, dalam UU ITE Pasal 27 ayat (3), jelas tertulis bahwa "siapapun yang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain lewat media elektronik bisa kena sanksi pidana".
Kebebasan digital bukan berarti bebas menyakiti. Etika digital mengajarkan kita untuk verifikasi dulu, berpikir dulu, baru posting.
Saran: Jangan jadi bagian dari penyebar hoaks atau hate speech. Lebih baik diam daripada bikin orang lain hancur.
Podcast: Suara Bebas, Tapi Tetap Ada Batas
Podcast itu medium yang kuat. Tapi karena kekuatannya itu, setiap kata harus dipikirkan baik-baik. Banyak podcaster yang tanpa sadar menyinggung SARA, gender, atau kelompok tertentu.
ADVERTISEMENT
Kalau terlalu ekstrem, ini bisa melanggar etika dan juga hukum.
Saran: Jadi podcaster itu bukan cuma soal didengar, tapi juga soal tanggung jawab memberi konten yang sehat dan menghargai semua pihak.
Platform Lain? Etikanya Tetap Sama
Mau itu YouTube, Snapchat, atau platform baru lainnya—etika tetap berlaku. Fitur boleh beda, tapi prinsip dasarnya sama: jaga privasi, hindari hoaks, dan pikirkan dampak dari setiap unggahan.
Kesimpulan: Bebas Boleh, Tapi Etika Harus!
Etika dalam bermedia sosial bukan cuma soal kata-kata, tapi juga soal menjaga batas dan menghargai orang lain.
UU ITE memang jadi pengingat hukum, tapi etika adalah pengingat moral.
Sebelum posting, mengetweet, atau komentar, pikir dulu:
ADVERTISEMENT
Jadilah pengguna media sosial yang bukan cuma aktif, tapi juga beretika dan bijak. Karena satu klik bisa jadi berkah atau bencana—pilih yang mana?
Penulis Amanda Fiesa, seorang mahasiswi Universitas Pamulang (UNPAM).