Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Habis COP26, Terus Kita Mau Apa?
14 Desember 2021 20:41 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari EcoNusa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya sengaja menamai kolom ini dengan nama para-para. Bagi orang Papua , para-para bukan hal unik atau asing di telinga. Para-para adalah bagian keseharian hidup orang di Papua.
ADVERTISEMENT
Para-para merupakan tempat bersantai di mana orang bisa duduk dan berkumpul bersama untuk mengobrol. Di para-para ini semua persoalan, baik persoalan keluarga, adat, kehidupan sehari-hari, diobrolkan bersama dengan suasana yang santai dan bahkan dicarikan penyelesaiannya. Ada suasana demokratis, egaliter, dan kebebasan berpendapat di para-para.
Beberapa waktu lalu saya berada di Glasgow, Skotlandia, untuk turut menghadiri perhelatan dunia di bidang iklim melalui Konferensi Parapihak atau Conference of the Parties (COP) 26 yang berlangsung dari 31 Oktober hingga 12 November 2021.
Ada empat agenda penting dalam COP26 ini. Pertama, menyelamatkan bumi dengan emisi nol karbon agar suhu bumi tidak naik di atas 1,5 derajat Celsius.
Kedua, konferensi berusaha melindungi masyarakat dan habitat alam yang terdampak. Ketiga, mobilisasi pendanaan dari negara maju untuk negara berkembang untuk penanggulangan iklim.
ADVERTISEMENT
Keempat, kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil. Ini termasuk penyepakatan buku panduan berdasarkan Perjanjian Paris (Paris Rulebook) agar bisa dijalankan.
Saya berangkat dari Indonesia dengan keyakinan bahwa Indonesia memiliki modal kuat dalam konferensi iklim ini. Modal kuat ini saya paparkan dalam sebuah opini yang dimuat pada 4 November 2021.
Pemerintah dan masyarakat Indonesia menurut saya sudah memberikan kontribusi penting dengan aksi nyata demi menjaga hutan yang tersisa dan lautan yang kita miliki.
Belajar dari sejarah, kini pemerintah bekerja bersama para pemangku kepentingan berusaha keras menahan laju deforestasi yang kini trennya menurun. Hal ini bisa memberikan posisi tawar yang tinggi bagi Indonesia dalam diplomasi iklim di tengah negara-negara maju.
ADVERTISEMENT
Sepulang dari Glasgow, keyakinan saya justru terusik. Saya yakin pemerintah berniat sungguh-sungguh untuk menahan laju deforestasi dari pembukaan hutan untuk kebun, tambang, dan sebagainya. Namun ada tarik menarik di benak saya antara fakta dan optimisme ketika berbicara soal krisis iklim.
Di satu sisi, Indonesia menjadi salah satu pengekspor minyak kelapa sawit terbesar dunia. Bahkan pada 2020 Indonesia berada di ranking pertama sebagai eksportir kelapa sawit terbesar yang menguasai 55 persen pasar dunia.
Luas lahan kelapa sawit pada 2020 16,38 juta hektar di 26 provinsi penghasil yang selama 2019 dan 2020 mampu menghasilkan 47,40 juta ton. Hal ini sungguh positif untuk perekonomian Indonesia. Saya sepakat dengan nilai keekonomian tersebut.
Namun, di sisi lain, saya khawatir kalau kebun sawit terus diperluas dengan membabat hutan yang masih tersisa. Kalau ini benar, maka laju deforestasi tak terbendung lagi. Lalu hutan kita akan habis, karena berganti kebun. Soal ini saya tidak setuju.
ADVERTISEMENT
Belum lagi soal batu bara. Indonesia merupakan produsen batu bara terbesar kelima di dunia. Cadangannya pun masih terbesar ke-10 di dunia. Ekspor batu bara dari Indonesia menguasai 26 persen pasar dunia.
Tapi emisi karbon dioksida yang dihasilkan oleh batu bara pun makin mengkhawatirkan. Apalagi bauran energi di Indonesia lebih dari 63 persen masih berasal dari batu bara.
Sementara di sisi lain, kita sudah harus mulai bertransisi untuk pindah dari energi kotor ke energi bersih dan energi hijau demi menahan laju krisis iklim yang sudah makin mengancam ini.
Pikiran saya jadi kacau. Hasil COP26 akan bagaimana realisasinya? Lalu Indonesia mau bersikap bagaimana ketika ekologi, ekonomi, pembangunan, dan mitigasi iklim dipertemukan?
ADVERTISEMENT
Kalau sudah begini ingatan saya lari ke masyarakat adat yang tinggal di timur Indonesia, baik yang ada di hutan-hutan yang tersisa maupun yang berada di pesisir atau pulau-pulau kecil.
Bagaimana nasib mereka jika para pembuat kebijakan ini tidak segera bertindak untuk mengatasi krisis iklim ini?
Opini dari CEO Yayasan EcoNusa, Bustar Maitar