Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Mendadak Religius Sebelum Sempat Menarik Resleting
30 Januari 2017 10:48 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
Tulisan dari Edi Mulyono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dari sudut pandang manusia beriman, tegasnya lagi berislam, kepatuhan kepada syariat mahdhah (wajib, pokok) merupakan sikap mutlak yang tidak perlu ditawar-tawar lagi.
ADVERTISEMENT
Sebutlah menjalankan rukun-rukun Islam, macam shalat, puasa Ramadhan, dan sebagainya. Ketidakpatuhan terhadap hal-hal rukun tersebut otomatis menisbatkan status muslim yang tidak kaffah.
Wama khalqrul jinn awal insa illa liya’budun, dan Kami tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah. Ini secara syari’at.
Namun, beriman dan berislam jelas bukan semata perkara beribadah secara syar’i. Di atasnya, kita mengenal perkara-perkara substansial, sejati, atau hakiki berislam, yakni pengejawantahan nilai-nilai syariat itu sendiri sebagai karakter muslim.
Satu contoh saja, perintah shalat dalam al-Qur’an selain dinarasikan dengan ayat “aqimis shalah, dirikan shalat” dan hadits “shallu kama raaitumuni ushalli, shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat” (bentuk formal syariat), juga menuntun dengan sharih (jelas, tekstual) ayat “innas shalata tanha ‘anil fahsya’i wal munkar, sesungguhnya shalat mencegah dari kekejian dan kemungkaran” (wujud nilai-nilai substansial, prinsipil).
ADVERTISEMENT
Faktanya, keduanya cenderung centang perenang. Jauh panggang dari api. Bagai pungguk merindukan bukan. Seberjarak fajar dari senja.
Dalam sebuah riwayat yang dituturkan Dr. Fuad Abdurrahman, pengarang The Two Great of Umars, dituliskan bahwa khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah bertanya kepada para alim dan zuhud yang sedang berkumpul-kumpul: siapakah orang yang paling zuhud? Orang-orang itu lalu menyebut nama itu dan ini.
ADVERTISEMENT
Umar kemudian mengatakan, orang yang paling zuhud di antara umat Islam adalah Ali bin Abi Thalib.
Riwayat tersebut, dalam konteks situasi sosial-kultural-religius masa itu yang pepat dengan ujaran kebencian kepada Ali dan para pengikutnya (kaum Syi’ah) akibat konflik politik masa lalu antara kubu Ali bin Abi Thalib dan kubu Muawiyah bin Abi Sufyan, yang pernah pecah dalam bentuk perang Shiffin dan peristiwa Karballa, menjenterahkan usaha-usaha substansial Umar bin Abdul Aziz untuk “mencegah kekejian dan kemungkaran” di antara rakyatnya yang berwujud kebencian politik kepada Ali.
Pasti, kita semua mafhum, bahwa perkara sublimasi nilai-nilai yang merasuk dan menjiwai seseorang, hingga menjadi alam kesadaran (world view) yang melandasi tindak-tanduknya, menjadi karakter-karakternya, tidaklah mungkin tergapai dalam bentang seminggu dua minggu. Ia merupakan rangkaian proses internalisasi dan sublimasi yang panjang.
ADVERTISEMENT
Nilai-nilai muslim yang tersublimasi niscaya hanya berporos pada capaian kesadaran, ketulusan, dan kedalaman batin. Ia tanpa ampun menisbatkan proses refleksi, pemaknaan, dan akhirnya meruah dalam ekspresi penjiwaan.
Maka, misal, muncullah istilah “atsarus shalat, bekas shalat”, yang memaksudkan senantiasa tegaknya nilai-nilai filosofis, substantif, dan esoteris shalat di luar waktu shalat itu sendiri.
Ada ayat “warka’u ma’ar raki’in, rukuklah bersama orang-orang yang rukuk”, misal, yang secara filosofis mendorong pelaku rukuk (maksudnya shalat) untuk berkarakter santun dengan menekuk badan dan merendahkan diri di hadapan orang-orang lain yang juga sama-sama mentradisikan nilai adab demikian.
ADVERTISEMENT
Maka kini menjadi pertanyaan yang menggelitik buat kita yang kritis perihal meruahnya perilaku berislam yang melulu memberhalakan simbol-simbol lahiriah syariat tetapi absen dari nilai-nilai suabstansial syariat itu sendiri.
Pada tataran kepatuhan syariat, tentu saja fenomena tersebut adalah kemajuan religius. Tetapi, yang sangat mendesak direfleksikan, ekspresi kepatuhan bersyariat itu tampak sangat cenderung tidak ditopang oleh kesadaran pada urgensi nilai-nilai syariat itu.
Orang-orang urban-kota di sekitar kita yang dulunya kita kenal sedemikian etik, asyik, dan kritis mendadak jadi religius fanatik-ekslusif sedemikian artifisialnya melalui performance jenggot yang panjang, jubah yang lebar, jidat yang hitam, hingga status-status yang radikal seputar bela Islam dan lawan kafir.
ADVERTISEMENT
Bukan perkara lebal-label artifisial itu yang mendesak dikritisi, tetapi ekspresi karakter dan perilaku radikal-eksklusifnyalah yang memantik keresahan-keresahan komunal.
Harmoni kemanusiaan yang mestinya senantiasa merayakan keadaban sebagai ekspresi “atsarus shalat” tadi tercampakkan sedemikian ekstremnya atas nama “mendadak religius” itu. Seolah tata krama sosial tidaklah sepenting memelihara jenggot dan mengenakan cadar.
Mendadak berubah sedemikian artifisialnya bahkan sebelum sempat memahami bahwa Islam bukan melulu perkara ibadah mahdhah (wajib, pokok), tetapi juga mu’amalah (sosial-kemanusiaan).
Mendadak melek pada persaudaraan sesama muslim (ukhuwah islamiyah) yang sepaham, tetapi merem mutlak pada persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyyah) dan apalagi persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah basyariyyah).
ADVERTISEMENT
Mendadak merepresentasikan kualitas iman dan Islam hanya pada label-label lipstik dan alpa akut pada nilai-nilai substansial, hakikat, dan esoteris yang mestinya mengeksoteris dalam wujud aklah karimah.
Inilah kegentingan gaya berislam kita hari ini yang telah memanggungkan keriuhan ontran-ontran halal-haram, benar-salah, aku-kamu, dan segala artifisialitas religius.
Jogja, 28 Januari 2017