Konten dari Pengguna

Pilkada Serentak dan Jaminan terhadap HAM di tengah Covid-19

Edi Purnawan
mahasiswa ilmu hukum dan sebagai peneliti di Pusat Studi Syariah dan Konstitusi UIN Sunan Kalijaga, aktif menulis dan berdiskusi
1 Oktober 2020 5:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Edi Purnawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar ini diambil dari https://kieraha.com/dana-pilkada-di-maluku-untara-membengkak-jadi-rp-253534-m/
zoom-in-whitePerbesar
Gambar ini diambil dari https://kieraha.com/dana-pilkada-di-maluku-untara-membengkak-jadi-rp-253534-m/
ADVERTISEMENT
Duka cita bangsa ini dilanda dengan wabah misterius dan menjangkit sebagai pandemi yang ditetapkan oleh Worl Health Organization (WHO). Pandemi itu bernama Coronavirus Disease-2019 (COVID-19). Virus ini cukup menggemparkan jagat raya, karena tidak hanya menyerang kesehatan dan nyawa manusia, melainkan menyasar terhadap sektor lain, seperti halnya ekonomi, sosial, politik, hukum, dan lain sebagainya. Di Indonesia, data kasus terdampak Covid-19 per 23 September 2020 sebagaimana dilangsir oleh Kompas.com menembus angka 257.388 jiwa dan per setiap harinya bertambah 4.465 kasus, kemudian korban yang dianggap sembuh mencapai 167.958 jiwa, dan korban yang meninggal dunia mencapai 9.977 jiwa.
ADVERTISEMENT
Di tengah hiruk piluk pandemi dan krisis multidimensi saat ini, Presiden bersama DPR, dan KPU berjibaku untuk melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah secara serentak di tahun 2020 ini yang akan diselenggarakan pada tanggal 9 Desember 2020. Pilkada tersebut akan dilaksanakan oleh 270 daerah di Indonesia, diantaranya 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Merujuk kepada Pasal 201 ayat (6) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, bahwasanya Pilkada akan dilaksanakan pada bulan September. Namun dengan kondisi pandemi Covid-19 yang terus melambung tinggi dan tidak terbendung, akhirnya Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 sebagai sarana untuk mengatasi pilkada di tengah pandemi, tidak lama kemudia Perpu tersebut disahkan menjadi UU No 6 Tahun 2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yakni diatur dalam Pasal 201A ayat (2) dinyatakan bahwa pelaksanaan pemungutan suara serantak akan dilaksanan pada bulan Desember, kemudian di ayat (3) nya apabila pemungutan suara serentak tidak dapat dilaksankan pada bulan Desember, maka akan dijadwalkan kembali segera setelah bencan nonalam ini dapat diatasi dan tidak mengganggu tahapan pemungutan suara.
ADVERTISEMENT
Sejatinya pelaksanaan Pilkada di tahun 2020 ini tidak menjadi suatu persoalan, baik itu dilaksanakan di bulan September maupun di bulan Desember. Karena Pilkada merupakan hak demokrasi setiap warga negara, untuk memilih dipilih sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yakni “Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya”, kemudian diatur pula dalam Pasal 28 ayat (3) UUD NRI 1945, dinyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Namun yang menjadi persoalannya, yaitu ketika Pilkada dilaksanakan di tengah kondisi pandemi tanpa ada kesiapan yang matang oleh pemerintah. Pertanyaannya, apakah pemerintah dapat menjamin hak kesehatan masyarakat, jika Pilkada serentak tersebut dilakukan di tengah pandemi Covid-19 saat ini? Realita dilapangan saat ini, terdapat kegagapan ketidak konsistenan dalam mengatasi Covid-29 ini.
ADVERTISEMENT
Jaminan Hak Asasi Manusia
Setelah ditetapkannya pelaksanaan Pilkada gubernur, bupati dan walikota di masing-masing daerah pada tanggal 9 Desember 2020 berdasarkan PKPU Nomor 5 Tahun 2020. Pada dasarnya pemerintah telah menunaikan kewajibannya dalam menyelenggarakan pilkada sebagai perwujudan HAM dan prinsip-prinsip demokrasi. Namun, jika ditinjau lebih jauh berdasarkan konsep hak asasi manusi dan efektifitas hukum, pelaksanaan pilkada perlu dipertimbangkan secara matang dan penuh kehati-hatian.
Soerjono Soekanto dalam teori efektifitas hukumnya berpandangan bahwa suatu kebijakan akan efektif jika ditinjau dari beberapa faktor, salah satunya adalah faktor hukum dan faktor pemeberlakuan hukum di masyarakat. Ditinjau dari faktor hukumnya, bahwa ketentuan Pasal 201A ayat (1) UU No. 6 Tahun 2020 tidak menimbulkan permasalahan dengan menetapkan Pilkada pada bulan Desember, karena di ayat (3) telah membuka kebijakan hukum (open legal policy), yaitu ketika bencana nonalam masih belum terkendalikan, maka pilkada dapat dijadwalkan kembali pada waktu yang dapat ditentukan. Namun persoalan hukumnya terdapat dalam lampiran PKPU No.5 Tahun 2020 tentang jadwal pelaksanaan pemungutan suara Pilkada yang ditetapkan pada tanggal 9 Desember 2020. Kemudian faktor pemberlakuan hukum di masyarakatnya, dapat dilihat dari penyebaran Covid-19 yang telah menembus batas daerah dari Sabang sampai Merauke, hampir setiap daerah sudah terpapar Covid-19. Sejatinya pemberlakuan PKPU a quo tidak memberikan efektifitas kepada masyarakat, karena kesiapan dan persiapan PKPU pun tidak dipersiapkan secara maksimal, khusunya kematangan regulasi yang berkaitan dengan protokol kesehatan. Meskipun PKPU ini telah mengatur tentang upaya menyelenggarakan protokol kesehatan, melalui Gugus Tugas yang berkoodinasi dengan KPU dan Kementerian Kesehatan. Pertanyaan mendasarnya apakah Gugus Tugas yang dibentuk oleh KPU dan Kementerian kesehatan dapat menjamin terpenuhinya di masing-masing TPS di seluruh Indonesia dengan jumlah yang tidak sedikit?. Realitanya, Gugus Tugas penanganan Covid-19 saat ini yang masih terbatas dan alat perlengkapannya pun tidak terpenuhi di tiap-tiap daerah.
ADVERTISEMENT
Sisi hak asasi manusia yang dibutuhkan saat ini adalah ketahan kesehatan masyarakat, karena kesehatan adalah hak dasar yang dimiliki manusia untuk melakukan aktivitasnya, dan hak atas kesehatan tersebut telah dijamin di dalam Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945, “....sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Potongan ayat tersebut menegaskan, bahwa yang paling utama dalam situasi Covid-19 saat ini adalah untuk hidup sehat dan memperoleh pelayanan kesehatan secara optimal, bukan untuk menjerumuskan kesehatan masyarakat melalui pelaksanaan Pilkada yang belum dapat dipastikan tingkat keamanannya. Hak atas kesehatan masyarakat erat berkaitan dengan hak hidup manusia, karena hak hidup seseorang dapat diilalui salah satunya melalui kesehatan. Hak hidup merupakan hak fundamental manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable right) sebagaimana adagium hukum “Salus populi suprema lex esto” (keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi).
ADVERTISEMENT
Pilkada yang Ideal di Masa Pandemi
Untuk mewujudkan efektifitas hukum dan menjamin HAM dalam pelaksanaan Pilkada di tengah pandemi covid-19, dapat dilakukan dengan beberapa cara: Pertama, Pilkada serentak dapat dilaksanakan dengan mempertimbangkan terhadap protokol kesehatan melalui memperbanyak TPS di masing-masing desa supaya tidak terjadi pergesekan anggota tubuh para pemilih dalam pelaksanaan pemungutan suara dan juga tidak memakan waktu yang lama seperti halnya Pemilu 2019. Kedua, KPU bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan untuk membentuk Satuan Gugus Tugas protokol kesehatan dengan jumlah yang cukup banyak, yakni dengan melakukan open recruitment relawan SATGAS disesuaikan dengan jumlah TPS yang telah ditentukan sesuai dengan protokol kesehatan. Ketiga, petugas keamanan pun harus ikut andil secara maksimal dan menyebar ke beberapa TPS yang menyelenggarakan pilkada, demi terciptanya keamanan bagi masyarakat. Dengan terbentuknya protokol kesehatan yang ketat dan aman, maka pilkada serentak dapat dilaksanakan sesuai dengan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia dapat dipenuhi bagi seluruh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Oleh Edi Purnawan
Mahasiswa Ilmu Hukum &
Peneliti Pusat Studi Syari’ah dan Konstitusi UIN Sunan Kalijaga