Konten dari Pengguna

Sebuah Referendum yang Didambakan Papua Barat

Edi Purnawan
mahasiswa ilmu hukum dan sebagai peneliti di Pusat Studi Syariah dan Konstitusi UIN Sunan Kalijaga, aktif menulis dan berdiskusi
6 Oktober 2020 18:32 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Edi Purnawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Gambar ini diambil dari: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190128185424-32-364551/petisi-referendum-papua-di-pbb-dan-posisi-tawar-untuk-jakarta
zoom-in-whitePerbesar
Gambar ini diambil dari: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190128185424-32-364551/petisi-referendum-papua-di-pbb-dan-posisi-tawar-untuk-jakarta
Tangisan dan jeritan masyarakat Papua Barat atas kedzaliman dan ketidakadilan Pemerintah Pusat yang tidak henti-hentinya. Masyarakat Papua Barat sudah muak dan janggal atas tindakan represif dari aparat kepolisian dan militer yang menimpanya. Semua tindakannya, dalam memperlakukan masyarakat Papua tidak sesuai dengan nilai-nilai humanisme dan prinsip-prinsip hukum bagi masyarakat Papua yang menentang kebijakan Pemerintah dan berupaya untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kontras melangsir perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia berat yang dibeberkan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, bahwa dari tahun 2002 sampai dengan 2020 terdapat 13 (tiga belas) perkara yang ditangani oleh Komnas HAM, namun perkara tersebut kerap kali ditolak oleh Kejaksaan Agung dengan dalih tidak memenuhi asas formil dan asas materiilnya. Hal demikianlah yang menjadi geram bagi masyarakat Papua terhadap penganiayaan, penindasan, pembunuhan dan diskriminasi besar-besaran yang secara bertubi-tubi dan menimpa masyarakat Papua.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya peristiwa pelanggaran HAM berat dan diskrimasi saja, masyarakat Papua Barat juga janggal terhadap kebijakan “Otonomi Khusus Papua” sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Dimana otonomi khusus tersebut hanya menjadi alat politik pemerintah dalam meredam tuntutan rakyat Papua supaya tidak memisahkan diri dari NKRI. Meskipun, dalam otonomi khusus tersebut telah mengatur sedemikian rupa, baik itu politik, hukum, sosial, budaya dan lain sebagainya untuk diurusi oleh pemerintah Papua secara mandiri dan otonom, namun dalam implementasinya masih jauh dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat Papua. Pada tahun 2020 pemerintah telah mengalokasikan dana sebesar U$7.5 miliyar untuk menjalan otonomi khusus di Papua, namun dengan jumlah anggaran yang begitu besar tetap saja sistem perekonomian masyarakat Papua mengalami keterpurukan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data yang dilangsir oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan bahwa perekonomian Papua mengalami penurunan hingga minus 15.75% pada kuartal terakhir 2019. Laporan dari beberapa instansi dan non goverment organizatio (NGO) menyatakan bahwa untuk mengatasi permasalahan perekonomian di Papua bukan hanya melalui anggaran otonomi khusus yang diperbesar, melainkan bagaimana pemerintah dapat menyelesaikan problem besar di Papua, karena di Papua sendiri terdapat permasalahan yang begitu kompleks, baik dari sosial, politik, budaya, hukum dan lain sebagainya. Sehingga permasalahan ini yang menjadi penghambat dalam menumbuhkan sistem perekonomian dan mewujudkan otonomi khusus di Papua.
Karena Pemerintah tidak mampu menyelasaikan permasalahan di Papua, pada akhirnya masyarkat Papua menolak untuk diperpanjang otonomi khusus jilid II yang akan berakhir pada tahun 2021 nanti, melainkan rakyat Papua terus-menerus menggaungkan upaya referendum agar bisa memisahkan diri dari NKRI. Karena bagi Papua, reperendum merupakan alternatif untuk menyelesaikan permasalahan dan kemelaratan ekonomi masyarakat Papua, dari pada tetap mempertahankan otonomi khusus yang tidak berpihak kepada rakyat secara substansial.
ADVERTISEMENT
Hukum Referendum Bagi Papua Barat
Sejarah mencatat, Papua masuk menjadi bagian NKRI dengan menggunakan upaya referendum, dulu dikenal dengan sebutan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA). Namun pelaksanaan PEPERA pada saat itu tidak mencerminkan politik yang jujur, melainkan pemerintah Republik Indonesia menggunakan cara yang kotor. Mengapa demikian ? karena PEPERA yang berdasarkan dengan Perjanjian New York 1962 mensyaratkan harus merujuk terhadap Pasal 18 Pernjanjian New York yang salah satunya harus dilibatkan dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa, pemilihan secara bebas, diikuti oleh seluruh orang dewasa laki-laki dan perempuan rakyat Papua, dan lain sebagainya. Kenyataanya PEPERA yang dilakukan pada tanggal 24 Maret 1969 tidak sesuai dengan Pasal 18 a quo, melainkan dengan jalur yang menguntungkan bagi RI, karena PEPERA hanya dilakukan secara representatif melalui Dewan Musyawarah Papua (DMP) dengan jumlah 1.026 orang, kemudian PBB pun tidak diikutsertakan, dan pemilihannya tidak dilaksanakan secara bebas dan demokrasi.
ADVERTISEMENT
Upaya memisahkan NKRI saat ini menjadi probem dalam pusaran hukum di Inonesia, karena tidak ada instrumen hukum nasional yang mengaturnya. Referendum yang kita kenal di Indonesa hanya terlintas dalam upaya untuk merubah konstitusi (Undang-Undang Dasar 1945) melaui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referndum. Lantas apa dasar hukumnya jikalau Papua memisahkan diri dari NKRI ? dulu sewaktu dilakukannya PEPERA tahun 1969, hukum nasional tidak memberikan legitimasi hukum untuk dilakasanakan jajak pendapat bagi sikap masyarakat Papua, melainkan jajak pendapat tersebut melalui Perjanjian New York pada tahun 1962. Perjanjian inilah yang menjadi legitimasi untuk dilaksanakanya PEPERA, alhasil PEPERA tersebut dikelabui oleh pemerintah RI melalui operasi militer TNI Angkatan Darat dan Papua menjadi bagian dari NKRI.
ADVERTISEMENT
Hak merdeka dan hidup bebas dari belenggu merupakan hak konstitusional dan hak asasi manusia. Hukum Internasional pun telah menjamin atas kebebasan bagi setiap orang atau kelompok untuk memisahkan diri (self determination) dari kedaulatan. Sejatinya, yang memangku self determination right itu adalah ”People” atau orang. Definisi orang secara luas tidak hanya bersifat individu, melainkan mengandung pengertian yang lebih luas, yakni kelompok dan etnis dalam suatu wilayah. Self determination right telah diatur melalui Pasal 1 ayat (2) Piagam PBB; Pasal 1 ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rights dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights; Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1514 (XV) 14 Desember 1960 tentang Deklarasi Pemberian Kemerdekaan kepada Bangsa dan Negara Terjajah; Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2625 (XXV) 24 Oktober 1970 mengenai Deklarasi Prinsip-prinsip Hukum Internasional tentang Kerjasama dan Hubungan Bersahabat di antara Negara-negara dan Hubungan Bersahabat sesuai dengan Piagam PBB.
ADVERTISEMENT
Syarat untuk memisahkan diri dari suatu kedaulatan setidaknya harus terpenuhi syarat internal dan syarat eksternal. Syarat eksternal terpenuhinya hak untuk memisahkan diri dari suatu negara adalah terdapat pengakuan dari negaranya untuk memisahkan diri dan terjadinya pelanggaran HAM Berat. Terjadinya pelanggaran berat terhadap masyarakat, merupakan salah satu alasan bagi Papua untuk menyatakan sikap keluar dari NKRI, karena tidakan kriminalisasi dan persekusi yang kian merajarela di tanah Papua. Pelanggaran HAM tersebut tidak bisa diatasi secara maksimal, melainkan pemerintah malah terus-terusan melakukan pelanggaran HAM berat di Papua. Syarat eksternal kedua yaitu pengakuan dari RI, syarat ini yang menjadi sebuah tembok besar bagi Papua untuk mendapatkan persetujuan. Karena jikalau Papua diberikan kedaulatan sendiri berpotensi mengancam kedaulatan NKRI sendiri dan terhadap penguasaan negara atas sumber daya alam yang melimpah di Papua. Dengan demikian, upaya pemisahan diri bagi Papua telah dijamin menurut hukum Internasional, namun sampai saat ini negara Indonesia tidak memberikan hak kemerdekaan kepada Papua, karena Papua merupakan bagian dari kedaulatan Indonesia yang harus dipertahankan.
ADVERTISEMENT
Tindakan Negara
Kedaulatan bangsa merupakan jati diri bangsa yang harus diperjuangkan dan dipertahankan, jangan sampai wilayah kedaulatan NKRI lepas begitu saja. Dalam kondisi saat ini pemerintah harus mengeluarkan kebijakan yang tegas tanpa merugikan salah satu pihak. Jika pemerintah menginginkan Papua menjadi bagian dari NKRI, maka harus dilakukan upaya yang nyata dari Pemerintah, jangan hanya menjadi kepentingan politik dan ekonomi semata, melain harus berasal dari hati nurani Pemerintah supaya masyarakat Papua tidak merasa di anak tirikan, pelanggaran HAM tidak terjadi, kemiskinan, konflik sosial, bahkan upaya referendum dapat diredakan. Lantas bagaimana tindakan negara ? Salah satu cara yang dilakukan oleh negara yaitu dengan pola pendekatan kultural kepada masyarakat papua, melalui memaksimalkan rekonsiliasi untuk mencapai kedamaian, selesaikan kasus pelenggaran HAM di Papua, kualitas pendidikan ditingkatkan, fasilitas dan pelayanan kesehatan masyarakat terpenuhi, pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, dan tidak terjadi lagi tindakan represif dari TNI dan Polri, serta memberikan posisi yang sama bagi masyarakat Papua. Karena upaya referendum selamanya tidak akan memberikan jalan keluar untuk menjawab permasalahan dalam kedaulatan, melainkan menjadi ancaman yang keras terhadap kedaulatan itu sendiri. Namun, jika Pemerintah kehabisan akal dalam mencari jalan keluarnya, maka berikanlah self determination right kepada Papua, karena hak atas memisahkan diri dari kedaulatan adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi dan hukum Internasional.
ADVERTISEMENT
Oleh Edi Purnawan
(Mahasiswa Ilmu Hukum & Peneliti P2K UIN SUKA)