Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Wajah Baru Pembentukan Amdal dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja
11 Oktober 2020 6:15 WIB
Tulisan dari Edi Purnawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Omnibus law merupakan konsep dan metode dalam pembentukan hukum yang sudah diterapkan dibeberapa negara dengan corak sistem hukum Common law, misalnya negara Amerika, Serbia, dan lain sebagainya. Lantas bagaimana di Indonesia ? merujuk ke dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak mengenal konsep omnibus law dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Tetapi kita akui kedudukan Undang-Undang omnibus law khusunya UU Cipta Kerja mempunyai kedudukan sama halnya dengan undang-undang karena sama-sama jenisnya adalah undang-undang. Di dalam UU Cipta Kerja terdapat 186 Pasal dengan 11 Klaster, khususnya bagian lingkungan yang dimuat di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Ada hal yang menarik dalam klaster lingkungan yang diatur dalam Pasal 21 UU Cipta Kerja dengan memuat 112 pasal di bagian klaster lingkungan. Terdapat perubahan yang cukup mendasar yaitu dalam proses pembentukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Amdal ini merupakan bagian fundamental dalam proses perizinan suatu usaha yang dilakukan oleh pengusaha. Izin usaha ini tidak akan keluar ketika tidak memenuhi izin lingkungan sendiri, izin lingkungan tidak dapat keluar ketika tidak memenuhi proses pembentukan amdal. Lagi-lagi dengan adanya UU Cipta Kerja, dimana semangatnya adalah dalam proses percepatan investasi sesuai dengan visi dan misi Presiden Joko Widodo. Oleh karena itu, UU Cipta Kerja menjadi solusi dalam percepatan pertumbuhan investasi yang akan bermuara kepada percepatan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, hal yang dilakukan oleh pemerintah, semangat investasi yang terus digencar-gencarkan adalalah berujung kepada kemudahan dalam proses perizinan. Proses perizinan memang di dalam Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup amat rizid dan detail dalam proses pengaturan khususnya yang berkaitan dengan Amdal.
ADVERTISEMENT
Pembentukan amdal di UU 32 Tahun 2009 dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah tingkat Provinsi, dan Pemerintah Daerah tingkat Kabupaten/Kota sesuai dengan asas otonomi daerah dengan sistem desentralisasi. Kemudian mengatur Partisipasi secara luas yang diatur dalam Pasal 26 (3) terdiri dari masyarakat yang terkena dampak, pemerhati lingkungan hidup, dan yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses amdal. Dua poin ini merupakan suatu yang tidak bisa dilepaskan dalam proses pembentukan amdal, disisi lain mencerminkan nilai otonomi daerah yang diatur didalam Konstitusi dan nilai demokrasi yang diakui berdasarkan keberadaannya melalui konstitusi. Selain dari struktur hukum, melainkan substansi dan budaya hukum selaras dengan tujuan hukum, sebagaimana halnya yang disampaikan oleh Lawrence M. Friedman yang membagi tentang tiga sistem hukum. Berbeda halnya yang diatur di dalam UU Cipta kerja sejatinya ingin melakukan sentralisasi kekuasaan dalam proses pembentukan amdal, Pasal 24 ayat (4) UU Cipta Kerja menyatakan bahwa “Pemerintah Pusat menetapkan Keputusan Kelayakan Lingkungan hidup berdasarkan uji kelayakan hidup”. Uji kelayakan lingkungan hidup ini merupakan bagian dari dokumen amdal. Secara tersurat Pemerintah hadir untuk melakukan sentralisasi dalam proses pembentukan amdal di Indonesia dengan tujuan untuk memudahkan dalam proses penyusunan dan izin lingkungan.
ADVERTISEMENT
Pasca orde baru runtuh, sistem otonomi daerah mulai diberlakukan yaitu dengan melalui amademen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang diatur dalam Pasal 18 ayat (2) menyatakan bahwa Pemerintah daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Adanya kewenangan dalam pembuatan amdal yang dilakukan oleh pemerintah daerah merupakan amanat konstitusi untuk melaksanakan kewenangannya di masing-masing daerah dengan tujuan menjalankan tugas pembantuan untuk memudahkan pemerintahan daerah. Namun dengan diaturnya di UU Cipta Kerja malah menghadirkan lagi sistem sentralisasi yang dulu ditentang oleh masyarakat. Bahkan di UU ini, dalam pembentukan amdal pelibatan masyarakat haya bersifat terbatas dapat dilihat dalam Pasal 26, bahwa perlibatan masyarakat hanya sebatas terhadap masyarakat yang terkena dampak atas kegiatan usaha. Oleh karena itu UU Cipta Kerja ini bukan menjadi solusi dalam hal lingkungan, melainkan menjadi hambatan bagi laju demokrasi dan penerapan otonomi daerah.
ADVERTISEMENT