Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Anomie Hukum dalam Undang-Undang BUMN
13 Mei 2025 16:58 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Edi Subroto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah memicu respons kritis dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
ADVERTISEMENT
Atas perubahaan undang-undang itu, KPK dengan lantang menentang ketentuan-ketentuan dalam regulasi terbaru ini, dan menilainya sebagai langkah strategis yang secara sistematis mengikis otoritas lembaga anti-rasuah dalam mengawasi jajaran pejabat BUMN.
Fenomena ini merupakan manifestasi nyata dari apa yang diidentifikasi sebagai “anomie”. Saat kerangka normatif kehilangan koherensinya, individu maupun institusi negara berpotensi terperosok dalam ketidakpastian mengenai batasan legitimasi tindakan.
Situasi ini menciptakan zona abu-abu yang membahayakan, dimana prinsip kepastian hukum yang menjadi tulang punggung negara hukum terkikis.
Memahami Anomie
Anomie, konsep yang diperkenalkan oleh Émile Durkheim dan dikembangkan oleh Robert K. Merton, menggambarkan suatu kondisi sosial yang ditandai oleh ketidakteraturan normatif, keterputusan ikatan sosial, dan ketidakselarasan struktural.
Durkheim mengidentifikasi anomie sebagai kondisi “deregulasi” dalam masyarakat, di mana norma-norma yang mengatur perilaku menjadi lemah atau tidak jelas, sehingga menciptakan kebingungan tentang standar yang berlaku. Kondisi ini sering muncul pada masa transisi atau perubahan sosial yang cepat.
ADVERTISEMENT
Merton mengembangkan konsep ini dengan berfokus pada ketegangan struktural antara tujuan-tujuan yang dihargai secara kultural dengan sarana-sarana yang tersedia secara institusional.
Ketika terdapat kesenjangan antara aspirasi yang didorong oleh masyarakat dan kemampuan struktur sosial untuk mengakomodasi pencapaian aspirasi tersebut secara sah, maka muncul tekanan adaptif yang dapat mendorong perilaku menyimpang.
Anomie dalam Konteks Institusional KPK dan BUMN
Sikap kritis KPK dalam merespon ketentuan dalam UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN merefleksikan kondisi anomie institusional yang nyata. Undang-undang tersebut menciptakan ketidakjelasan normatif melalui dua ketentuan utama.
Pertama, berkaitan dengan status Penyelenggara Negara pada pengurus BUMN. Pada Pasal 9G UU Nomor 1 Tahun 2025, dinyatakan bahwa anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.
ADVERTISEMENT
Ketentuan ini secara langsung dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 yang secara eksplisit memasukkan pengurus BUMN dalam kategori penyelenggara negara. Kontradiksi ini menciptakan anomie dalam bentuk ketidakjelasan status normatif.
Ketika dua instrumen hukum yang setara memberikan kategorisasi yang berbeda terhadap subjek yang sama, muncul kebingungan tentang standar perilaku dan tanggung jawab yang berlaku. Situasi ini paralel dengan kondisi yang digambarkan Durkheim sebagai “deregulasi” atau ketiadaan aturan yang jelas dan konsisten.
Yang kedua, mengenai definisi kerugian negara. Pasal 4B UU Nomor 1 Tahun 2025 menetapkan bahwa kerugian BUMN bukan merupakan kerugian keuangan negara. Hal ini tentu bertentangan dengan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, seperti Putusan Nomor 48/PUU-XI/2013; Nomor 62/PUU-XI/2013; Nomor 59/PUU-XVI/2018; serta Nomor 26/PUU-XIX/2021, yang menegaskan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN tetap merupakan bagian dari keuangan negara.
ADVERTISEMENT
Kontradiksi tersebut menciptakan anomie dalam bentuk ketidakselarasan institusional. Ketika terdapat ketidaksesuaian antara legislasi baru dengan interpretasi konstitusional yang telah mapan, muncul ketegangan struktural yang menciptakan ruang interpretasi yang ambigu.
Manifestasi Anomie dalam Respons Institusional
Merton mengidentifikasi lima bentuk adaptasi terhadap kondisi anomie: conformity, innovation, ritualism, retreatism, dan rebellion.
Pada conformity, KPK menunjukkan adaptasi konformitas dengan tetap berpegang pada tujuan institusional pemberantasan korupsi dan menggunakan sarana yang sah berupa referensi pada putusan MK.
Pernyataan KPK bahwa “KPK tetap memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Direksi, Komisaris, dan Pengawas di BUMN” merupakan cerminan upaya untuk menegakkan norma anti-korupsi di tengah ambiguitas regulasi.
Pada innovation, potensi adaptasi inovatif terlihat dalam kemungkinan pengurus BUMN menggunakan ambiguitas status hukum mereka untuk melakukan tindakan yang berpotensi merugikan keuangan negara tanpa konsekuensi hukum yang jelas.
ADVERTISEMENT
Ketika norma menjadi ambigu, individu mungkin mengadopsi sarana yang meragukan secara moral untuk mencapai tujuan yang diakui, seperti keuntungan finansial.
Sedangkan pada rebellion, KPK menunjukkan adaptasi pemberontakan institusional dengan menolak menerima kerangka normatif baru yang diciptakan oleh UU Nomor 1 Tahun 2025.
Alih-alih menyesuaikan diri, KPK berupaya menantang dan menggantikan interpretasi hukum yang dianggap bertentangan dengan prinsip konstitusional, sebagaimana terlihat dalam pernyataannya: “KPK mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi... yang menjadi acuan final mengenai kedudukan kekayaan negara yang dipisahkan”.
Masalah Tata Kelola dan Pemberantasan Korupsi
Kondisi anomie yang tercipta memiliki implikasi serius terhadap upaya pemberantasan korupsi dan tata kelola BUMN.
Pertama, hadirnya ketidakjelasan status pengurus BUMN menciptakan zona abu-abu akuntabilitas yang dapat dimanfaatkan untuk menghindari pengawasan.
ADVERTISEMENT
Dalam perspektif anomie Merton, hal ini merupakan gambaran klasik dari bagaimana ketidakjelasan normatif dapat menciptakan ruang bagi “inovasi” yang menyimpang dari tujuan utama pengawasan anti-korupsi.
Kedua, fragmentasi dan kontradiksi dalam kerangka hukum mencerminkan kondisi anomie institusional yang lebih luas, di mana berbagai lembaga negara (legislatif, yudikatif, dan eksekutif) menghasilkan interpretasi hukum yang tidak harmonis.
Situasi tersebut menciptakan ketidakpastian normatif yang dapat melemahkan integritas sistem hukum secara keseluruhan.
Ketiga, kondisi anomie menciptakan tekanan adaptif pada institusi seperti KPK untuk menavigasi ketidakpastian normatif.
Respons KPK yang tegas dapat dipahami sebagai upaya mengatasi anomie dengan menegaskan interpretasi hukum yang konsisten, namun sekaligus juga mencerminkan terjadinya ketegangan institusional yang signifikan.
Menuju Harmonisasi Normatif
Resolusi terhadap anomie memerlukan rekonstruksi normatif yang dapat menciptakan kejelasan dan konsistensi. Pada permasalahan ini, beberapa pendekatan resolusi dapat dikemukakan sebagai berikut.
ADVERTISEMENT
Pertama, pengujian konstitusional terhadap ketentuan-ketentuan yang kontradiktif dalam UU Nomor 1 Tahun 2025 dapat menjadi sarana untuk mengatasi anomie melalui otoritas final Mahkamah Konstitusi dalam tafsir konstitusi, di mana hal ini telah dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil.
Kedua, proses legislatif yang lebih integratif dan mempertimbangkan koherensi dengan kerangka hukum existing dapat mencegah anomie institusional.
Ketiga, upaya KPK untuk menegaskan interpretasi yang konsisten dengan putusan MK mencerminkan strategi reinterpretasi normatif untuk mengatasi anomie. Dengan menegaskan bahwa “pengurus BUMN tetap merupakan penyelenggara negara” dan “kerugian BUMN tetap merupakan kerugian negara”, KPK berupaya membangun kembali kejelasan normatif.
Pada akhirnya, ketidakselarasan dalam kerangka hukum Indonesia telah menciptakan kondisi yang rentan terhadap penyimpangan.
Pertentangan mengenai status pengurus BUMN dan definisi kerugian negara menggambarkan kekacauan normatif yang mencerminkan anomie dalam sistem hukum.
ADVERTISEMENT
Masalah ini telah mendudukkan kembali pembahasan mengenai pentingnya koherensi hukum dalam menjaga integritas tata kelola dan upaya pemberantasan korupsi.
Pada konteks lebih luas, fenomena ini menunjukkan tantangan struktural dalam reformasi kelembagaan di Indonesia, di mana perubahan legislatif sering tidak sejalan dengan prinsip-prinsip yang telah tersedia dalam sistem hukum.