Konten dari Pengguna

Kemiskinan di Indonesia: Gangguan Sistemik bagi Stabilitas Nasional

Edi Subroto
Pendiri Institut Kajian Strategis Nasional
6 Mei 2025 21:31 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Edi Subroto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi kemiskinan dan masalah stabilitas nasional (sumber: gambar di buat oleh AI).
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi kemiskinan dan masalah stabilitas nasional (sumber: gambar di buat oleh AI).
ADVERTISEMENT
World Bank masih mengkategorikan mayoritas masyarakat Indonesia sebagai penduduk miskin, dengan porsi sebesar 60,3% dari jumlah penduduk pada 2024 yang mencapai 285,1 juta jiwa.
ADVERTISEMENT
Angka mengejutkan itu menggambarkan bahwa sekitar 171,91 juta jiwa penduduk Indonesia masih hidup dalam kemiskinan, sebuah realitas yang kontras dengan status Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah atas sejak 2023.
Persentase kemiskinan ini didasarkan pada acuan garis kemiskinan untuk kategori negara dengan pendapatan menengah ke atas (upper middle income country), yaitu sebesar USD 6,85 per kapita per hari atau setara pengeluaran Rp115.080 per orang per hari (dengan asumsi kurs Rp16.800/USD).
Sekalipun terlihat masih sangat tinggi, angka 60,3% ini sebenarnya menunjukkan penurunan dibandingkan tahun 2023 yang sebesar 61,8%.
Proyeksi Bank Dunia lebih lanjut menunjukkan tren positif dengan perkiraan penurunan tingkat kemiskinan Indonesia menjadi 58,7% pada 2025, 57,2% pada 2026, dan 55,5% pada 2027. Walaupun terdapat kemajuan, laju penurunan yang relatif lambat ini menunjukkan betapa kompleksnya permasalahan kemiskinan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Bank Dunia menggunakan beberapa standar pengukuran kemiskinan yang berbeda-beda. Jika menggunakan international poverty rate sebesar USD 2,15 per kapita per hari, maka persentase penduduk miskin di Indonesia pada 2024 menjadi hanya 1,3% atau setara 3,7 juta orang saja.
Sedangkan dengan ukuran garis kemiskinan untuk kategori lower middle income poverty rate sebesar USD 3,65 per kapita per hari, angka penduduk miskin di Indonesia menjadi 44,47 juta orang atau setara 15,6%.
Posisi Indonesia dalam konteks regional juga memprihatinkan. Dibanding negara-negara tetangga di ASEAN, jumlah kemiskinan di Indonesia pada 2024 berada di peringkat kedua tertinggi setelah Laos yang sebesar 68,5%. Sementara itu, Malaysia hanya memiliki tingkat kemiskinan sebesar 1,3%, Thailand 7,1%, Vietnam 18,2%, dan Filipina 50,6%.
ADVERTISEMENT
Kesenjangan yang sangat signifikan ini menunjukkan masih besarnya disparitas pembangunan ekonomi Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara tetangga.
Disparitas Pengukuran dan Tantangan Pertumbuhan Ekonomi
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti berpendapat bahwa standar kemiskinan Indonesia berdasarkan laporan World Bank hanyalah sebagai rujukan, bukan suatu keharusan untuk diterapkan di Indonesia.
Menurut Plt BPS tersebut, setiap negara memiliki keunikan dan karakteristik tersendiri yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan garis kemiskinan nasional.
BPS sendiri menggunakan metode yang berbeda, yakni menghitung angka kemiskinan berdasarkan garis kemiskinan di masing-masing provinsi yang kemudian diagregasikan menjadi angka nasional.
Pendekatan ini mempertimbangkan variasi biaya hidup dan kondisi sosial-ekonomi yang berbeda pada setiap wilayah di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, meskipun angka kemiskinan versi Bank Dunia sangat tinggi, BPS memiliki metode penghitungan sendiri yang disesuaikan dengan konteks lokal Indonesia.
Tantangan ekonomi Indonesia menjadi semakin kompleks dengan adanya kesenjangan antara target pertumbuhan dan realisasinya. Pemerintah Indonesia telah menetapkan target pertumbuhan ekonomi yang ambisius sebesar 8% dalam beberapa tahun ke depan, khususnya pada periode 2025-2029.
Namun demikian, proyeksi aktual menunjukkan angka yang jauh lebih rendah. Ekonomi Indonesia diperkirakan hanya tumbuh di kisaran 4,93% - 4,95% pada triwulan I-2025 dan 4,9% - 5,0% sepanjang 2025.
Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan memproyeksikan ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh 4,65% pada 2025.
Kesenjangan besar antara target pertumbuhan yang ambisius (8%) dengan proyeksi pertumbuhan aktual (sekitar 5%) mengindikasikan adanya tantangan struktural yang serius dalam ekonomi Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, kondisi ini berimplikasi langsung pada kemampuan negara untuk mengentaskan kemiskinan secara signifikan dalam jangka pendek dan menengah.
Kemiskinan sebagai Gangguan Sistemik terhadap Stabilitas Nasional
Kemiskinan, jika dimaknai sebagai gangguan sistemik, yakni ketika proporsinya telah mencapai level yang sangat tinggi.
Gangguan sistemik sendiri didefinisikan sebagai suatu keadaan atau peristiwa yang mengacaukan atau menginterupsi jalannya suatu proses, aktivitas, kondisi atau fungsi normal suatu sistem yang membuat sistem tersebut mengalami ketidakstabilan.
Ketika kemiskinan hanya dialami oleh sebagian kecil penduduk—misalnya 1% atau 2%—fenomena ini umumnya masih dipandang sebagai anomali atau kegagalan parsial sistem.
Sekalipun perlu ditangani, kondisi semacam ini tidak mengancam kestabilan sistem secara keseluruhan. Dalam situasi tersebut, kemiskinan masih bersifat marjinal dan merupakan kondisi yang dianggap “normal” dalam suatu tatanan sosial ekonomi.
ADVERTISEMENT
Namun, ketika angka kemiskinan mencapai 60,3% sebagaimana yang terjadi di Indonesia menurut standar World Bank, kemiskinan tidak lagi sekadar fenomena pinggiran. Ia telah menjadi karakteristik dominan atau “kualitas” dari sistem itu sendiri yang dapat mengganggu stabilitas nasional dalam berbagai dimensi.
Pada dimensi sosial, tingginya angka kemiskinan dapat memicu ketegangan sosial yang akut, meningkatkan kriminalitas, dan mengurangi kohesi sosial.
Kondisi tersebut dapat mengakibatkan konflik horizontal dalam masyarakat dan meningkatkan kerentanan terhadap radikalisasi. Ketika lebih dari setengah populasi merasa tertinggal dalam pembangunan, kepercayaan antar kelompok masyarakat dapat terkikis dengan cepat.
Pada dimensi ekonomi, kemiskinan yang meluas secara drastis menghambat pertumbuhan ekonomi inklusif, menurunkan daya beli masyarakat, dan menghalangi terbentuknya pasar dalam negeri yang kuat.
ADVERTISEMENT
Dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang hanya berkisar 4,9%-5,0% pada 2025, jauh di bawah target 8%, upaya pengentasan kemiskinan akan semakin terhambat. Ekonomi yang digerakkan oleh konsumsi seperti Indonesia sangat bergantung pada daya beli masyarakat, sehingga kemiskinan massal menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus.
Pada dimensi politik, kemiskinan struktural dapat mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan sistem politik, yang berpotensi menimbulkan keresahan sosial dan ketidakstabilan politik yang serius.
Kesenjangan antara target dan realisasi pertumbuhan ekonomi dapat semakin mengurangi kredibilitas kebijakan pemerintah. Masyarakat yang kecewa dengan sistem politik yang gagal mengentaskan mereka dari kemiskinan bisa berubah menjadi lebih rentan terhadap politik identitas dan populisme ekstrem.
Sedangkan pada dimensi keamanan, kemiskinan yang meluas dapat menjadi faktor pendorong radikalisme, separatisme, dan berbagai bentuk ancaman keamanan lainnya yang membahayakan keutuhan nasional. Ketika masyarakat merasa tidak memiliki akses terhadap sumber daya dan kesempatan yang setara, mereka lebih mudah tergoda oleh ideologi-ideologi ekstrem yang menjanjikan perubahan radikal.
ADVERTISEMENT
Permasalahan ini semakin diperparah dengan fakta bahwa sistem di Indonesia sebenarnya tidak berfungsi secara normal karena menjamurnya praktik perburuan rente (rent-seeking) dan maraknya praktik korupsi di berbagai lini.
Selain itu, pola rekrutmen dalam birokrasi dan lembaga-lembaga negara yang lebih mengandalkan kedekatan (patronase) daripada kompetensi (merit) telah menciptakan inefisiensi sistemik dalam tata kelola pemerintahan.
Praktik-praktik tersebut menghasilkan kebijakan publik yang tidak optimal, pelayanan publik yang buruk, dan penggunaan anggaran yang tidak efektif untuk mengatasi kemiskinan.
Fenomena ini secara kolektif merongrong sumber daya negara dan menghalangi terwujudnya kesejahteraan dan keadilan sosial yang merupakan amanat dari konstitusi negara.
Strategi Mengatasi Kemiskinan untuk Menjaga Stabilitas Nasional
Mengingat kemiskinan merupakan gangguan sistemik terhadap stabilitas nasional, beberapa pendekatan yang bersifat klasik namun masih terlihat sulit dijalankan secara konsisten di Indonesia perlu dipertimbangkan kembali.
ADVERTISEMENT
Pertama, Indonesia memerlukan reformasi struktural yang mendalam untuk mendorong pertumbuhan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Reformasi ini meliputi upaya menggalakkan industrialisasi dalam negeri yang bernilai tambah tinggi—bukan sekadar ekonomi berbasis ekstraktif yang rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global.
Industrialisasi yang berfokus pada penciptaan lapangan kerja berkualitas tinggi dapat menyerap tenaga kerja dari sektor informal dan pertanian subsisten, sehingga meningkatkan pendapatan dan produktivitas nasional secara keseluruhan.
Penguatan ekonomi digital dan pengembangan infrastruktur yang merata di seluruh wilayah Indonesia juga menjadi krusial untuk menciptakan fondasi ekonomi yang lebih kokoh.
Pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy) juga perlu diprioritaskan untuk menghadapi persaingan global.
Kedua, reformasi tata kelola pemerintahan menjadi prasyarat mutlak untuk memastikan sumber daya publik digunakan secara efektif dan efisien untuk pengentasan kemiskinan.
ADVERTISEMENT
Perbaikan ini meliputi reformasi birokrasi yang menyeluruh, implementasi sistem rekrutmen berbasis merit yang konsisten, penguatan lembaga penegak hukum, dan peningkatan transparansi dalam pengelolaan anggaran negara.
Selain itu, korupsi, kolusi, dan nepotisme juga telah menjadi penyakit kronis yang menggerogoti kapasitas negara dalam menyediakan layanan publik berkualitas dan mengalokasikan sumber daya secara adil. Tanpa komitmen pemberantasan korupsi yang serius dan sistematis, program pengentasan kemiskinan secanggih apapun akan gagal mencapai sasaran.
Ketiga, Indonesia perlu berinvestasi lebih besar dalam pengembangan sumber daya manusia melalui peningkatan kualitas pendidikan yang adaptif dengan kondisi zaman yang telah berubah, layanan kesehatan, dan keterampilan penduduk miskin.
Keempat, pengurangan kesenjangan pembangunan antarwilayah harus menjadi prioritas melalui pengembangan potensi ekonomi lokal, penguatan UMKM, dan peningkatan akses terhadap pasar, modal, dan teknologi. Strategi ini penting untuk mengurangi konsentrasi kemiskinan di wilayah-wilayah tertentu dan menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di luar Jawa.
ADVERTISEMENT
Indonesia sebagai negara kepulauan dengan keragaman sumber daya alam dan budaya memiliki potensi besar untuk mengembangkan ekonomi berbasis potensi lokal. Pengembangan klaster industri di berbagai wilayah dapat menciptakan efek pengganda ekonomi yang signifikan dan menyerap tenaga kerja lokal, sehingga mengurangi urbanisasi berlebihan ke kota-kota besar.
Kelima, sistem politik Indonesia perlu direformasi untuk memastikan kepentingan penduduk miskin lebih terakomodasi dalam proses pengambilan kebijakan.
Reformasi ini meliputi penguatan partisipasi masyarakat, terutama kelompok marjinal dan miskin, dalam proses pembuatan kebijakan; reformasi sistem pemilihan umum untuk mengurangi politik uang yang kerap memanfaatkan kondisi kemiskinan; serta penerapan sistem rekrutmen berbasis merit pada seluruh jajaran birokrasi dan lembaga negara untuk menggantikan praktik patronase yang mengutamakan kedekatan personal atau politik.
ADVERTISEMENT
Penguatan lembaga masyarakat sipil juga diperlukan untuk menciptakan mekanisme pengawasan yang efektif terhadap kebijakan pemerintah. Transparansi dalam proses pembuatan kebijakan dan alokasi anggaran akan mendorong akuntabilitas publik yang lebih baik.
Urgensi Pemberantasan Kemiskinan sebagai Prioritas Nasional
Keberhasilan strategi pengentasan kemiskinan bergantung pada komitmen politik pemerintah yang kuat, koordinasi yang efektif antarlembaga pemerintah, dan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat.
Tanpa adanya upaya sistematis dan berkelanjutan untuk mengatasi kemiskinan, Indonesia akan terus menghadapi risiko ketidakstabilan sosial, ekonomi, dan politik yang dapat mengganggu pembangunan nasional dalam jangka panjang.
Pemahaman terhadap kemiskinan sebagai gangguan sistemik terhadap stabilitas nasional melahirkan konsekuensi bahwa Indonesia perlu menjadikan pengentasan kemiskinan sebagai prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional.
ADVERTISEMENT
Kemiskinan massal bukanlah kondisi “normal” yang harus diterima begitu saja, melainkan ancaman serius terhadap fondasi negara yang harus ditangani secara serius dan berkelanjutan.
Hanya dengan mengatasi akar permasalahan kemiskinan struktural, Indonesia dapat mewujudkan cita-cita menjadi negara yang makmur, adil, dan sejahtera bagi seluruh rakyatnya sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945.
Sedangkan tanpa keseriusan dalam mengatasi kemiskinan, Indonesia berisiko terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan yang mengancam stabilitas dan keberlanjutan bangsa dalam jangka panjang.