Pengalaman Saya Bertahan Hidup di SMA Semimiliter

Edmiraldo Nanda Nopan Siregar
Jurnalis kumparan, alumni Jurusan Jurnalistik Universitas Padjadjaran
Konten dari Pengguna
21 Juli 2019 22:04 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Edmiraldo Nanda Nopan Siregar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kampus Matauli (Foto: Facebook Matauli)
zoom-in-whitePerbesar
Kampus Matauli (Foto: Facebook Matauli)
ADVERTISEMENT
Rencana yang agak liar itu muncul beberapa bulan sebelum saya lulus SMP di Padang Sidempuan, Sumatera Utara, 2002 silam. Keluar dari rumah, merantau, layaknya kebanyakan laki-laki Sumatera.
ADVERTISEMENT
Pilihan pertama adalah Magelang, yang berjarak sekitar 2.000 kilometer dari rumah. Mencoba masuk SMA Taruna Nusantara, sudah lolos tes di kabupaten, tapi keok di tingkat provinsi.
Pilihan kedua, Sibolga yang berjarak hanya 80 kilometer dari Padang Sidempuan. Berencana masuk SMA semimiliter bernama Matauli (Maju Tapian Nauli). Sebuah sekolah plus yang menyediakan fasilitas asrama.
Guru-gurunya didatangkan dari Jawa. Dengar-dengar, lulusan terbaik di berbagai perguruan tinggi bidang pendidikan. Ada dari IKIP Malang, UPI Bandung, dan lainnya. Ada juga beberapa tentara yang jadi instruktur di asrama. Tergoda, ikut tes, lulus.

Awal Mula

Salah satu yang saya ingat tentang awal mula kehidupan di SMA semimiliter adalah long march atau jalan jauh. Waktu itu, semua siswa baru dibagi ke dalam beberapa pleton. Lalu, mulai berjalan kaki beberapa kilometer sambil melantunkan lagu-lagu khas pendidikan gaya militer.
ADVERTISEMENT
Long march, long march adalah jalan jauh. Yang harus, kita tempuh,” begitu potongan yang saya ingat.
Dimulai dari sekolah, aksi berjalan kaki itu melintasi kampung-kampung di sekitar sekolah. Masuk ke kebun-kebun warga, menyeberangi sungai dengan bantuan tali tambang, hingga berakhir dengan nyebur di pantai. Saya selamat dan tidak ada teman yang sakit apalagi sampai meninggal.

Asmara di Asrama

Hidup di asrama semimiliter itu gampang susah-susah. Gampangnya, makan tersedia, baju dicuciin. Sisanya susah, tapi menarik.
Kehidupan bergulir mulai pukul 05.00 WIB. Trompet dibunyikan dan terdengar kencang sampai ke kamar saya di lantai tiga. Ibadah pagi 15 menit, lalu bersiap ikut senam, wajib. Lalu antre mandi, makan pagi bersama, apel pagi, berangkat sekolah. Semuanya wajib.
ADVERTISEMENT
Pulang sekolah, kami tidak bisa langsung makan. Tapi, harus apel siang dulu dan lari lima keliling lapangan. Keringatan, baru bisa makan enak.
Setelah istirahat sebentar, kegiatan berlanjut hingga ditutup dengan apel pengecekan malam. Jika tak ikut apel kami bisa dihadiahi push up atau lari malam, kecuali bagi mereka yang sakit atau IB (izin boker).
Selain jadwal rutin, asmara di asrama punya cerita sendiri. Dalam hal ini, bukan hanya asmara ke lawan jenis layaknya ABG pada umumnya. Tapi, juga hubungan antara senior-junior dan para instruktur.
Sebagai junior, kami dituntut untuk hormat pada senior. Hormat yang bukan hanya dalam arti menghargai. Tapi juga hormat dalam aksi sebenarnya, yaitu sikap "hormat grak" dengan mengangkat tangan kanan ke depan jidat setiap papasan dengan para senior.
ADVERTISEMENT
Sementara senior, harus ‘berlagak’ mengayomi para junior. Membalas sikap hormat dengan anggukan seadanya. Bisa ditambah senyuman manis jika yang memberi hormat adalah junior kece. Kadang-kadang, bisa diajak ngobrol basa-basi sebentar. Siapa tahu ada peluang.
Sayangnya, peluang asmara saya di SMA semimiliter tidak terlalu signifikan, sehingga tidak menarik untuk diceritakan.
Namun, hubungan ‘asmara’ dengan instruktur, bisa dibilang, menjadi yang paling berkesan. Saya anggap ini juga sebuah hubungan ‘asmara’, love-hate relationship lebih tepatnya.
Melihat mereka dari jauh saja, bisa bikin deg-degan. “Saya ada salah enggak, ya?” mengucap dalam hati. Padahal, instruktur yang masih tentara aktif itu, mungkin lagi enggak berpikir sejauh itu.
Waktu itu, saya dan mungkin teman-teman yang lain punya ketakutan karena kesalahan pasti berujung hukuman. Push up, lari, atau hukuman lain yang tentunya tidak sampai mencederai fisik.
ADVERTISEMENT
Apalagi, kesalahan satu orang bisa berujung pada hukuman bagi semua angkatan. Itu karena, kami diajari jiwa korsa.
Konsep yang diambil dari istilah Prancis yakni esprit de corps. Sebuah konsep kesetiaan yang diperkenalkan Napoleon Bonaparte tentang jiwa saling setia dan saling melindungi. Kesalahan satu orang, adalah kesalahan bersama. Jadi, jangan sampai temanmu menanggung akibat dari kesalahanmu.
Berangkat dari konsep jiwa korsa ala Napoleon Bonaparte itu, izinkan saya beropini tentang tragedi mengenaskan yang menimpa Delwin Berli Juliandro (14) dan Wiko Jerianda (14). Dua siswa SMA Taruna Indonesia, Palembang, Sumatera Selatan.
Menurut saya, kesalahan sebenarnya ada pada sistem dalam SMA semimiliter itu sendiri. Sistem yang membuat ketakutan berada di atas kedisiplinan. Sistem yang membuat ‘asmara’ junior-senior atau instruktur-siswa kerap berujung trauma. Bahkan, kematian dalam kasus Delwin dan Wiko.
ADVERTISEMENT
Untungnya, SMA semimiliter tempat saya belajar tak pernah seanarkis sekolah Delwin dan Wiko. Tapi, sebagai alumni SMA semimiliter, saya berharap, bertahan hidup di sekolah sejenis ini tak perlu sesulit yang mereka lalui.