Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bersama Christianto Wibisono Menelusuri Jejak Tan Eng Hoa
23 Juli 2021 12:09 WIB
·
waktu baca 2 menitDiperbarui 11 Agustus 2021 8:56 WIB
Tulisan dari Edmiraldo Siregar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya pernah bertemu satu kali dengan Christianto Wibisono . Pertemuan yang sama sekali tidak diisi dengan obrolan seputar ekonomi yang menjadi keahlian dia.
ADVERTISEMENT
Tapi, cerita tentang salah seorang anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bernama Mr. Tan Eng Hoa. Satu dari empat warga keturunan Tionghoa yang jadi anggota BPUPKI .
“Saya sepupunya,” kata Christianto, Juli 2012 silam di salah satu lantai apartemen Kempinski, Menteng, Jakarta Pusat.
Pernyataan yang sangat menarik bagi saya yang memang tengah mencari informasi sebanyak-banyaknya seputar Tan Eng Hoa . Kala itu, biodata Tang Eng Hoa hanya bisa ditemukan di Risalah Sidang BPUPKI. Itu pun minim. Hanya nama, tempat dan tanggal lahir, pendidikan terakhir, serta jabatan.
Sayangnya, walaupun bersepupu, Christianto ternyata tidak mengenal Tan Eng Hoa terlalu dalam. Itu karena, Tan Eng Hoa meninggal dunia pada 1949 saat Christianto yang lahir tahun 1945 baru berusia 4 tahun.
ADVERTISEMENT
Komunikasi antara Christianto dengan keluarga lain dari Tan Eng Hoa juga sudah lama tidak terjalin. Dia menyebut, terakhir kali berkomunikasi dengan pamannya yang juga adik kandung Tan Eng Hoa bernama Tan Eng Cieng dan Tan Eng Dhong pada 1968. Sekitar 44 tahun sebelum wawancara dengan saya.
“Satu tinggal di Bangkok dan satu lagi di Tokyo,” ungkapnya.
Walau begitu, Christianto membukakan jalan lain. Dia memperkenalkan saya dengan seorang warga negara Indonesia yang tinggal di Amerika Serikat bernama Dasuki Hartanto.
Dasuki pernah bertemu dengan seseorang yang mengaku sebagai anak dari Tan Eng Hoa bernama Tan King Han. Sayangnya, pertemuan itu terjadi pada 2001 dan saat berkorespondensi dengan saya, dia pun telah kehilangan kontak dengan anak Tang Eng Hoa itu.
ADVERTISEMENT
“Heran juga yang di New York sampai tidak ada kabarnya, ya,” tulis Christianto dalam email yang dia kirim ke saya, Juli 2012.
Akhirnya, dengan segala keterbatasan data, artikel berjudul Pengusul Pasal Kebebasan Berserikat itu tetap tayang di Majalah Berita Mingguan (MBM) Gatra edisi 29 Agustus 2012. Hasil wawancara dengan Christianto Wibisono memang hanya dimuat 3 paragraf. Namun, bantuannya mencarikan sumber lain membuat paragraf-paragraf lain menjadi lebih berisi.
Terima kasih dan selamat jalan, Pak Chris (1945-2021)