Bertemu Bissu, sang Perantara Manusia dengan Dewata

Edmiraldo Siregar
Wartawan kumparan
Konten dari Pengguna
13 Agustus 2021 9:50 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Edmiraldo Siregar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Area persawahan di sekitar wilayah Pangkep, Sulawesi Selatan (Dokumentasi: Edmiraldo)
zoom-in-whitePerbesar
Area persawahan di sekitar wilayah Pangkep, Sulawesi Selatan (Dokumentasi: Edmiraldo)
Saya tiba di Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan, Maret 2016, dengan bekal informasi yang minim. Seorang kenalan yang berprofesi sebagai fotografer lepas di Makassar hanya menyebut beberapa petunjuk.
“Kamu pergi ke Segeri, nanti belok kiri sebelum masjid. Tanya-tanya lagi di situ,” jelasnya.
Petunjuk yang sederhana, namun rumit untuk diikuti. Meski dengan bantuan Google Map. Pasalnya, Masjid di Segeri tidak cuma satu dan beberapa di antaranya mirip dengan deskripsi kenalan saya itu.
Walau begitu, petunjuk itu terpercaya. Dia pernah bertemu dan memotret salah seorang bissu bernama Juleha. Pemuka adat Bugis yang tengah saya cari. Sayangnya, dia tidak menyimpan nomor kontak sang bissu.
Setelah tanya sana-sini, akhirnya saya sampai di desa Padang Lampe yang berjarak sekitar 10 km dari titik awal pencarian di Segeri. Bertemu bissu Juleha di rumah panggungnya yang berada di tengah sawah. Waktu bertemu, Juleha mengenakan celana selutut dan kaos oblong.
“Saya ganti baju dulu,” katanya sembari melangkah ke dalam rumah.
Saat kembali, Juleha mengenakan sarung merah dengan atasan kemeja polos berwarna putih. Rambutnya ditutupi balutan sorban yang juga berwarna putih. Sebagai bissu, dia ternyata tidak boleh berbusana sembarangan saat menerima tamu.
Bissu Juleha (Dokumentasi: Edmiraldo)
Juleha bercerita, dia lahir dengan nama Jumaise. Dia pun tidak serta merta menjadi bissu. Semuanya bermula saat Jumaise duduk di bangku sekolah dasar. Kala itu, dua bissu terkemuka melihat ‘pertanda’ pada diri Jumaise. Mereka lalu merekrut dan mengajari dia ilmu bissu. Alhasil, Jumaise bertransformasi menjadi bissu Juleha.
Dalam Islamisasi Bugis: Kajian Sastra atas La Galigo versi BDA (2018) karya Andi Muhammad Akhmar disebutkan, orang yang menjadi bissu terkadang bukan karena pilihan sendiri, tetapi merupakan panggilan makhluk gaib. Panggilan yang ditandai suatu gejala psikosomatik (keluhan fisik yang dipengaruhi pikiran atau emosi). Ada yang tiba-tiba jadi bisu, ada pula yang tak sadarkan diri sehingga membutuhkan ritual pengobatan.
Masih berdasarkan sumber yang sama, bissu dijelaskan sebagai pendeta adat Bugis kuno yang memiliki banyak sisi. Bissu bisa mengobati, meramal hari depan, menyanyi untuk dewata, hingga ahli dalam upacara adat.
Bissu juga merupakan orang yang menguasai bahasa Bugis kuno. Ketika kemasukan roh, bissu mampu berkomunikasi dengan dewata. Bahkan, saat memimpin upacara, mereka juga mampu mempraktekkan debus. Kebal terhadap tusukan senjata tajam.
Memang menurut Juleha, bissu adalah ‘perantara’. Yakni perantara manusia dengan Tuhan serta perantara laki-laki dengan perempuan. Karena itu, bissu biasanya berjenis kelamin laki-laki, tapi berjiwa perempuan. Atau bisa juga sebaliknya.
Dikutip dari GATRA (2016), karakter bissu sebagai calabai inilah yang sempat mengancam eksistensi mereka. Pada masa pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) Sulawesi Selatan yang dipimpin Kahar Muzakar. Banyak bissu yang diburu. Ciri bissu sebagai calabai, dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Belum lagi, praktik mengagung-agungkan mustika 'arajang' sebagai benda berkekuatan gaib.
Padahal, menurut Juleha, bissu itu merupakan bagian dari budaya. Tidak terkait dengan agama tertentu. “Agama saya Islam,” tegasnya.
Bahkan sebenarnya, setelah abad ke-17, lagu-lagu yang biasa dikumandangkan bissu sudah mulai mengandung unsur-unsur Islam. Misalnya, lagu yang memuat kata-kata seperti Allah Taala, Nabi Muhammad SAW, hingga malaikat. Selain itu, pada akhir abad ke-20 dan permulaan abad ke-21, banyak bissu di Wajoq dan Segeri yang telah menunaikan ibadah haji.
Bissu Juleha di pekarangan rumahnya, desa Padang Lampe, Pangkep, Sulsel. (Dokumentasi: Edmiraldo)
Berbicara seputar kehidupan pribadi, Juleha menyebut, kata ‘bissu’ berasal dari bahasa Bugis kuno ‘bessi’ yang berarti suci. Dengan begitu, mereka tidak boleh menikah dan beranak. “Kalau berteman (pacaran) boleh,” ucapnya.
Dalam Islamisasi Bugis: Kajian Sastra atas La Galigo versi BDA (2018) disebutkan bahwa bissu, baik laki-laki atau perempuan, bisa mempunyai pasangan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, mereka juga tetap akan mendapat dua pasangan gaib. Satu perempuan dan satu laki-laki.
Di akhir pembicaraan kami, bissu Juleha menyinggung soal ritual Mappalili. Upacara tahunan (setiap November) yang menandakan dimulainya musim tanam padi. Upacara ini tidak bisa dijalankan tanpa bissu. “Nanti waktu Mappalili datang, ya,” ajaknya.
Sampai sekarang, saya belum pernah datang.