Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
kumparan dan Guyonan Masa Kecil tentang Hawaii
27 Juni 2022 19:01 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Edmiraldo Siregar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Masih jelas di ingatan saya ketika bapak C.H Harahap, guru mata pelajaran sejarah di SMP saya, berbicara di luar konteks sejarah. Guru senior yang selalu mengenakan peci haji itu tiba-tiba melontarkan pertanyaan: kalian punya mimpi bisa liburan ke mana?
ADVERTISEMENT
Pertanyaan yang tidak terlalu sulit bagi saya dan teman-tema lain karena tinggal asal sebut dan tidak masuk ke penilaian. Satu per satu diminta menjawab dan yang terlontar dari mulut sejumlah teman adalah destinasi-destinasi lokal. Maklum, sebagian dari kami, saat itu, belum pernah pelesiran ke luar kabupaten Tapanuli Selatan atau kota Padang Sidempuan , Sumatera Utara.
Ada teman yang menjawab Aek Sijorni, Parsariran, atau Sipirok yang berjarak sekitar 1 jam perjalanan dengan angkutan umum dan masih berlokasi di kabupaten yang sama. Ada juga yang menjawab daerah wisata yang lebih jauh yakni Sibolga atau Danau Toba yang sudah dikenal umum. Seingat saya, tidak ada yang menjawab Bali, Borobudur, Bromo, apalagi Raja Ampat.
Telunjuk pak C.H akhirnya mengarah juga ke saya dan dengan cepat saya jawab: Hawaii . Beberapa teman tampak tersenyum karena mungkin merasa jawaban saya adalah guyonan. Sementara sebagian lagi tak bereaksi. Mungkin mereka enggak tahu Hawaii itu di mana atau merasa Hawaii bukan lokasi nyata seperti mitos Shangri-La di Himalaya.
ADVERTISEMENT
Saya juga lupa dapat inspirasi dari mana dan merasa menyesal karena khawatir disangka sengaja membuat jawaban tidak serius. Untungnya, pak C.H hanya cengar-cengir lalu mengarahkan telunjuknya ke teman lain. Momen itu pun langsung dilupakan tanpa desas-desus lanjutan di luar kelas. Mati dalam beberapa menit setelah kelahirannya.
Baru setelah 20 tahun lebih, tepatnya Desember 2019, memori tentang momen itu bangkit dari kubur. Waktu itu, kumparan menugaskan saya untuk menghadiri undangan liputan ke Maui, Hawaii, Amerika Serikat. Walau bukan untuk liburan, tapi hal pertama yang muncul di benak saya kala itu adalah pak C.H dengan peci haji dan kemeja lengan panjangnya yang digulung sampai siku.
Namun, karena bukan dalam rangka liburan, pergi ke Hawaii menjadi sedikit ngeri-ngeri sedap. Alasannya, tema liputannya seputar teknologi prosesor yang tidak terlalu saya kuasai.
ADVERTISEMENT
Coba saja bayangkan, seorang jurnalis yang dulunya banyak meliput isu-isu politik, hukum, lingkungan hidup, dan seni rupa tiba-tiba harus membahas chipset yang menggabungkan sistem modem-RF 5G dengan platform mobile yang diklaim mampu menghadirkan konektivitas dan kinerja yang diperlukan perangkat flagship.
Untungnya, ada teman-teman dari kumparanTech yang sangat membantu. Mereka memberikan kuliah singkat seputar prosesor dan angle-angle apa saja yang mungkin bisa ditulis terkait peliputan tersebut.
Di Maui, saya bertemu dan berbincang dengan orang-orang di balik pembuatan prosesor. Sebuah pengalaman yang mungkin tidak didapat banyak orang. Dari Indonesia, waktu itu hanya ada 6 orang jurnalis dan influencer yang diundang.
Memang, bekerja sebagai jurnalis membuat kita punya kesempatan untuk menghadiri acara-acara eksklusif yang diselenggarakan bukan hanya di Indonesia, tapi juga di berbagai negara lain. Sebuah keistimewaan, walaupun yang terpenting tetap pada karya jurnalistik yang dihasilkan.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, jurnalis tidak boleh asal liputan dan memproduksi berita. Perlu juga memahami seputar kode etik jurnalistik, bagaimana cara beradaptasi di lapangan, prinsip-prinsip kerja jurnalistik, dan bagaimana menjaga wibawa seorang jurnalis.
Bagi jurnalis lulusan jurusan jurnalistik, tentunya poin-poin tersebut sedikit banyak sudah dipelajari secara teoritis di kampus. Namun memang, dari sisi praktik bisa jadi belum didapat dalam jumlah yang banyak. Makanya, jurnalis atau wartawan tetap membutuhkan Uji Kompetensi Wartawan (UKW).
Saya jadi teringat ketika pertama kali mengikuti UKW untuk wartawan muda, 2013 silam. Waktu itu, saya dan peserta lain harus berhadapan dengan para penguji yang notabene merupakan jurnalis senior. Salah satu ujian yang paling menantang adalah menghubungi narasumber untuk membuktikan bahwa si jurnalis memang dikenal oleh narasumber tersebut.
ADVERTISEMENT
Bagi peserta yang punya jejaring kuat dan juga bernasib mujur, percobaan pertama menelepon narasumber berjalan lancar dan langsung diangkat. Namun, ada juga peserta yang mencoba berkali-kali, tapi telepon tak kunjung diangkat. Bisa jadi, saat itu, narasumbernya sedang sibuk atau jauh dari handphone. Malah setelah ujian selesai, si narasumber baru menelpon balik.
Berselang 9 tahun setelah saya mengikuti UKW untuk wartawan muda, pada 25-26 Juni kemarin saya kembali dipertemukan dengan UKW. Namun, kali ini untuk jenjang wartawan madya. Awalnya tetap menegangkan, namun alhamdulillah, kami semua wartawan kumparan berhasil lulus.
Kembali ke soal Hawaii, satu yang saya tak terpikirkan lakukan adalah berfoto di ikon kota atau tempat apapun yang ada tulisan Hawaii-nya. Keputusan yang diprotes ibu saya karena dia sudah merencanakan mencetak foto itu (jika ada) dalam ukuran jumbo dan memajangnya di ruang tamu rumah kami di kampung.
ADVERTISEMENT
“Tenang, Bu. Waktu kecil saya juga pernah bermimpi sampai ke Himalaya, Rio de Janeiro, dan Namibia. kumparan do your magic hehe’.