Mencari Makam Terduga Pembunuh Sisingamangaraja

Edmiraldo Siregar
Wartawan kumparan
Konten dari Pengguna
6 Agustus 2021 9:56 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Edmiraldo Siregar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mangaraja Hurning Siregar bangkit dari tempat duduknya di sebuah lapo di desa Muara Siregar, Sipirok, Tapanuli Selatan, Agustus 2018. Lalu berjalan beberapa langkah ke arah saya. Menjauhi sajian kopi hitamnya yang baru diminum setengah.
Hurning adalah tetua adat di wilayah itu. Reputasi dia baru saya dengar sekitar 30 menit sebelum pertemuan kami. Tapi kala itu, saya berpikir, dia menjadi orang paling tepat untuk menjawab pertanyaan saya: di mana makam Djatenggar Siregar? Sosok yang diduga menewaskan Sisingamaraja X (kakek dari Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII) dalam pertarungan satu lawan satu.
Mangaraja Hurning Siregar (Dokumentasi: Edmiraldo)
Dalam Tuanko Rao (1964) karya Mangaradja Onggang Parlindungan, Djatenggar disebut bergabung dengan Tentara Padri dalam invasi ke wilayah Toba pada 1816-1833. Salah satu pertempuran yang dia ikuti terjadi di benteng Bakkara. Pusat pertahanan terakhir Sisingamangaraja X.
Sempat bertahan selama 2 bulan, benteng Bakkara akhirnya hancur lebur pada 1819. Namun sang raja tetap bertahan.
Djatenggar yang melihat Sisingamangaraja X masih hidup mengambil inisiatif. Dia menantang Sisingamangaraja X bertarung. Bagi dia, itu jadi momen yang tepat untuk menuntaskan dendam yang belum terbayar tuntas selama 26 generasi. Ternyata, nenek moyang Djatenggar pernah diusir dari desa mereka, Muara, di pinggiran Danau Toba oleh leluhur Sisingamangaraja X.
Serangan pertama Djatenggar berhasil dielakkan Sisingamangaraja X. Namun, kuda yang dia tunggangi terluka. Sementara dalam serangan kedua, Sisingamangaraja X yang sudah lanjut usia tak lagi mampu mengelak. Dia tewas di tangan lawannya yang jauh lebih muda.
Namun, kisah yang diutarakan Onggang Parlindungan itu belum tentu benar. Dalam buku lain berjudul Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao (1974), Buya Hamka memaparkan data bereda.
Diceritakan, pada 1877, Sisingamangaraja XII mengadakan pertemuan besar di Balige (daerah di Sumatera Utara). Pertemuan untuk merespons pergerakan Tentara Belanda yang sudah mengarah ke wilayah Silindung.
Foto para raja di Tanah Batak pada 1890 dalam buku Utusan Damai di Kemelut Perang/Uli Kozok (Dokumentasi: Edmiraldo)
Kala itu, Sisingamangaraja XII menyerukan kepada seluruh masyarakat Batak untuk bersatu melawan Belanda. Dia bilang, Belanda itu jahat. Salah satu yang disinggung adalah tindakan Belanda membunuh kakeknya Ompu Tuan Na Bolon, nama lain Sisingamangaraja X.
Hamka menambahkan, Belanda memang mencoba mengelak. Mereka justru memanfaatkan momentum Perang Padri untuk melempar tanggung jawab.
Itu terlihat dari uraian Konteler (Pejabat Pemerintahan Hindia Belanda) Balige, W.J. Beck, dalam tulisannya berjudul Sisingamangaraja. Dia menulis, Tuan Na Bolon telah dibunuh sesudah Perang Padri oleh orang-orang yang datang dari Rao dan Bonjol (sekarang wilayah Sumatera Barat).
Dataran Sipirok, Tapanuli Selatan (Dokumentasi: Edmiraldo)
Perbedaan data itu membuat saya penasaran. Benarkah sosok Djatenggar itu ada atau hanya karakter buatan Mangaradja Onggang Parlindungan? Jika sosok itu pernah hidup, saya yakin, tentunya dia punya makam setelah meninggal.
Masih berdasarkan buku Tuanku Rao, Djatenggar disebut berasal dari wilayah Sipirok. Bahkan, seorang guru sekolah yang berasal dari Mandailing bernama Willem Iskander pernah mewawancarai Djatenggar di Sipirok.
Namun dalam obrolan singkat saya dengan Mangaraja Hurning Siregar, dia tidak punya banyak informasi. Dia mengaku, baru mendengar kisah Djatenggar.
Belakangan, saya sadar bahwa titik awal pencarian saya itu kurang tepat. Djatenggar disebutkan sempat bermukim di Desa Bagas Lombang. Berjarak sekitar 8 km dari Muara Siregar, tempat saya ngobrol dengan Hurning. Lain kali harus cari ke sana.
Lokasi Muara Siregar dan Bagas Lombang (Google Earth)