Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Motor Bebek Diaries: Melintasi Jalur Selatan Jawa dari Jatinangor ke Denpasar
27 Agustus 2021 10:00 WIB
·
waktu baca 5 menitDiperbarui 10 September 2021 10:29 WIB
Tulisan dari Edmiraldo Siregar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Azan Subuh berkumandang keras dari musala yang dindingnya menempel dengan kos-kosan saya di Jatinangor , 26 Desember 2008. Terdengar pula suara pagar kosan yang kadang memang tidak digembok berderak, diikuti suara mesin sepeda motor yang mendekat ke depan kamar. Mesin motor itu tidak dimatikan ketika penunggangnya turun.
Langkah kaki si pengendara terdengar jelas. Kemudian muncul bunyi ketukan di pintu kamar. “Bangun woi, jadi enggak,” teriaknya. “Sial, orang ini ternyata serius,” pikirku.
Pagi itu, saya dan si pengendara motor memang punya janji tidak terikat. Kami berencana menelusuri jalur selatan Pulau Jawa: dari Jatinangor, Jawa Barat hingga ke Denpasar, Bali. Naik motor bebek.
Malam sebelumnya, saya sebenarnya sudah banyak-banyak berharap. Semoga sisi kecupuan kawan saya ini meningkat drastis. Rencana batal dan penyebabnya bukan saya.
Tapi apa boleh buat, dia ternyata cukup punya nyali. Saya pun memilih tidak jadi penyebab batalnya rencana yang sudah sempat diumbar ke kawan-kawan di kampus. Itu karena, risikonya cukup jelas, malu berkepanjangan.
Rencana perjalanan yang tidak cukup matang itu terinspirasi cerita dari periode waktu dan tempat yang berbeda. Yakni, dari kisah Ernesto ‘Che’ Guevara dan rekannya Alberto Granado, 1952 silam. Dua orang yang melakukan ekspedisi dengan mengendarai sepeda motor Norton 500cc yang dijuluki La Poderosa II melintasi Amerika Selatan. Dimulai dari Argentina, Chile, Peru, Kolombia, hingga Venezuela. Jarak tempuh yang mereka lalui diperkirakan mencapai 14.000 kilometer.
Sementara kami, memilih rute yang jauh lebih pendek. Jatinangor-Denpasar-Jatinangor dengan jarak tempuh sekitar 2.400 kilometer. Pakai motor bebek Suzuki Smash produksi tahun 2003.
Setelah ogah-ogahan, kami akhirnya berangkat juga. Menelusuri pabrik-pabrik di Rancaekek menuju Tasikmalaya, Majenang, Banjarnegara hingga peristirahatan pertama di Manding, Yogyakarta.
Manding merupakan desa wisata dengan kerajinan kulit yang jadi ciri khas. Di kiri-kanan jalan, mudah ditemukan kios-kios yang menjajakan tas, sepatu, hingga jaket berbahan dasar kulit. Mirip dengan tampilan Cibaduyut di Bandung. Malam itu, kami menumpang di rumah teman.
Dari Yogyakarta, kami berangkat sekitar pukul 06.00 WIB. Memilih menelusuri sisi Gunung Lawu di Tawangmangu. Hamparan perkebunan sayur terpampang luas di sisi jalan dengan kontur yang naik-turun. Dari kejauhan juga terlihat telaga Sangaran yang fantastis. Di jalur ini, kabut bisa dengan cepat datang lalu pergi lagi dalam sekejap.
Rute selanjutnya melintasi Magetan, Madiun, Kediri, Malang hingga sampai di Probolinggo sekitar pukul 02.00 WIB dini hari. Menginap di musala sebuah SPBU.
Waktu itu, smartphone belum populer seperti sekarang. Jadi, tidak ada panduan dari Google Map yang bisa kami manfaatkan. Rute dipilih berdasarkan panduan peta mudik yang kala itu umum dibagi-bagikan provider telekomunikasi setiap menjelang lebaran. Kadang-kadang, berimprovisasi setelah ngobrol sambil ngopi di warung yang dipenuhi warga lokal.
Dari Probolinggo, perjalanan dilanjutkan melewati Paiton. Komplek pembangkit listrik yang, kala itu, katanya menjadi pemasok utama untuk wilayah Jawa dan Bali. Sayangnya, hari sudah terang saat kami melintasi Paiton. Melewatkan gemerlapnya lampu-lampu pembangkit listrik yang kabarnya sangat memukau di malam hari.
Kami terus berkendara melewati Taman Nasional Baluran menuju Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi. Menyeberangi Selat Bali dengan ferry hingga sampai di Gilimanuk. Lalu menuju Denpasar dan sampai di Kuta hampir tengah malam.
Di tengah hiruk pikuk turis yang tampak menikmati malam tanpa beban, saya mulai menyesal karena jalan pulang ke Jatinangor masih panjang.
Pulang ke Jatinangor
Lagu Blowin’ in the Wind dari pemutar MP3 menemani saya saat berlabuh di Ketapang. Sudah waktunya pulang ke Jatinangor.
Jalur pulang sedikit kami modifikasi. Dari Ketapang, tidak belok kanan ke arah Baluran, tapi melengos ke kiri menuju pusat kota Banyuwangi. Lanjut terus ke Lumajang, melewati jalur alternatif Piket Nol menuju Malang. Jalanannya cukup menarik karena bisa menyaksikan kemegahan Gunung Semeru dari kejauhan.
Kami tiba di Malang menjelang malam. Mutar-mutar kota sebentar dan memilih beristirahat di Batu. Makan, ngopi, dan ketiduran di warung yang kalau saya tidak salah ingat, tepatnya di wilayah Payung.
Sekitar pukul 01.00 dini hari, kami dibangunkan penjaga warung. Katanya, sudah mau tutup. Maklum, malam itu, pelanggan warung memang tinggal kami berdua.
Kondisi yang sempat membuat panik dan agak linglung. Masih ngantuk, tapi sudah tidak ada tempat gratis untuk bermalam. Sementara kalau melanjutkan perjalanan ke arah Kediri, jalur yang bakal dilewati via Pujon sangat sepi.
Mau tidak mau, tetap harus lanjut. Malam itu, wilayah Batu cukup dingin. Kami harus mengenakan baju beberapa lapis, sebelum ditutupi dengan jaket tebal. Beruntung, setelah melewati jalan berkelok-kelok menembus hutan, kami sampai di Simpang Lima Kediri sebelum terang. Lalu lanjut untuk bermalam di Malioboro, Yogyakarta.
Yogyakarta menjadi tempat istirahat yang ideal. Bisa menginap di hotel yang harganya terjangkau dan makan sepuasnya di angkringan. Sedikit penyegaran sebelum melaju pulang ke Jatinangor.
Jarak Yogyakarta-Jatinangor kurang lebih 380 kilometer jika melewati jalan yang sama pada awal perjalanan. Namun, waktu itu, kami memilih berbelok sedikit di Tasikmalaya. Jika sebelumnya lewat Gentong, kami memilih jalur via Garut sehingga jarak bertambah 20 kilometer. Tujuannya, agar bisa berendam di Cipanas.
Menceburkan diri di kolam air hangat menjadi aktivitas paling mewah selama hampir 2 pekan perjalanan. Bertemu orang-orang dengan bahasa dan logat yang akrab di telinga, serta bisa menyantap makanan yang biasa di lidah.
Sesampainya di Jatinangor, saya tidur sepuasnya, Bangun keesokan harinya dan membulatkan tekad. “Yang kaya begini cukup sekali saja seumur hidup.”
Tapi dua tahun setelah itu, saya tergoda lagi.