Konten dari Pengguna

Ongkos Naik Haji Zaman Dulu dan Masa Kini

Edmiraldo Siregar
Wartawan kumparan
24 September 2021 10:16 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Edmiraldo Siregar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana haji di Kakbah, Makkah pada 18 July 1889. Foto: Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Suasana haji di Kakbah, Makkah pada 18 July 1889. Foto: Getty Images
ADVERTISEMENT
Beberapa pekan lalu, kakak saya yang bermukim di Pekanbaru menelepon. Dia mengabarkan, sudah mendaftar haji. Tapi, berangkatnya 20 tahun lagi.
ADVERTISEMENT
“Tak apa, yang penting mendaftar dulu,” katanya singkat.
Proses yang dia lalui diawali dengan menguatkan tekad, lalu mengumpulkan biaya sekitar Rp 40 juta per orang untuk haji reguler. Bagi sebagian orang Padang Sidempuan seperti kami, besaran uang rupiah itu kerap dibandingkan dengan satuan emas yang diistilahkan dengan ‘ameh/ame’.
1 ameh setara dengan 2,5 gram emas atau sekitar Rp 2,3 juta (harga per gram Rp 924 ribu pada 23 September 2021). Sehingga, biaya yang dikeluarkan kakak saya untuk naik haji setara dengan 17 ameh.
Besaran ini berbeda jauh dengan ongkos naik haji ayah saya pada tahun 2000. Saat itu, dia harus membayar ongkos haji reguler yang jumlahnya lebih dari 100 ameh atau sekitar Rp 18-21 juta. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, emas per gram berharga Rp 71.875 atau Rp 179.687 per ameh pada tahun itu.
ADVERTISEMENT
Jika emas 100 ameh itu disimpan hingga sekarang, maka nilainya setara dengan Rp 230 juta. Angka yang bisa memberangkatkan setidaknya 5 orang ke Tanah Suci. Nilai yang dikeluarkan ayah saya kala itu juga lebih besar dibanding ongkos haji plus yang sekarang berkisar Rp 150-180 juta.
Namun kala itu, ayah saya tak perlu menunggu bertahun-tahun. Dia dan ibu saya berangkat ke Tanah Suci pada tahun yang sama dengan waktu pendaftaran. Lebih cepat dibanding dengan haji plus saat ini yang tetap harus menunggu setidaknya 5 tahun.
Mahalnya biaya haji di masa itu tercermin dari jumlah warga kampung saya yang berangkat haji. Paling hanya 2 pasang jemaah yang berangkat setiap tahun. Keberangkatan ke Makkah pun selalu menjadi momentum sakral bagi semua warga kampung.
ADVERTISEMENT
Mereka datang berbondong-bondong ke masjid untuk melepas si calon haji. Isak tangis dan selipan amplop uang untuk membantu biaya calon jemaah di Tanah Suci jadi pemandangan yang wajar. Selain itu, banyak juga warga yang bersilaturahmi ke rumah calon jemaah beberapa hari sebelum keberangkatan.
Kebanyakan dari mereka datang untuk menitipkan doa pribadi. Ada yang minta didoakan agar rezekinya lancar, agar segera punya anak, hingga minta didoakan agar bisa menyusul naik haji. Waktu itu, saya yang masih bocah melihat ayah dan ibu saya sudah seperti kurir doa ke Tanah Suci.
Suasana haji di Kakbah, Makkah pada 1976. Foto: Getty Images
Keberangkatan ayah saya ke Makkah membuat dia menjadi orang kedua dalam keluarga yang menunaikan ibadah haji. Orang pertama adalah kakek dari kakek saya. Namanya Haji Rukun yang diperkirakan naik haji pada 1800-an. Tanggal dan tahun pastinya tidak tercatat. Ongkos atau biaya yang dikeluarkan juga tidak diketahui.
ADVERTISEMENT
Namun, jika bercermin pada kisah seorang anak Minang bernama Intan Semain, naik haji pada 1890-an bisa terlaksana dengan biaya ratusan rupiah. Dalam buku Seroepiah Pokok ke Mekah (1924) yang ditulis Moehammad Jasin disebutkan, orang tua Semain membeli 5-6 ekor ayam dengan harga satu rupiah sebagai modal awal untuk ongkos haji.
Ayam-ayam tersebut dia pelihara sampai berkembang biak. Lalu, menjual sebagian dan menabung hasilnya sampai bisa membeli seekor kambing, lalu kerbau. Dengan begitu, dalam kurun waktu kurang dari empat tahun, dia sudah berhasil menabung 100 rupiah. Dalam delapan tahun, tabungannya sudah cukup untuk memberangkatkan anaknya naik haji.
Para Haji dari Sumatera 1922. Foto: Dok. KITLV
Kisah lain datang dari seorang bangsawan Riau bernama Raja Ahmad yang naik haji pada 1828. Dalam Naik Haji di Masa Silam (2019) yang disusun Henri Chambert-Loir dituliskan, Ahmad berhasil mengumpulkan uang 14.000 Ringgit setelah berdagang ke Semarang, Jepara, dan Juana.
ADVERTISEMENT
Di daerah itu dia membeli batik dan beras, lalu menjualnya di Riau. Selain hasil berdagang, Ahmad juga mendapatkan tambahan uang 10.000 Ringgit dari kakaknya yang bernama Engku Putri.
Dengan total uang 24.000 Ringgit itu, Raja Ahmad pun bisa menunaikan ibadah haji dengan membawa serta dua putranya, satu keponakan, dan 10 orang lain. Mereka menyewa kabin besar di sebuah kapal Turki dan sampai di Jeddah pada 18 Syaban 1243 Hijriah (5 Maret 1828).
Potret haji dari Mandailing di Konsulat Belanda di Makkah pada 1880 (Repro: Edmiraldo)
Catatan yang lebih autentik ditulis oleh Dja Endar Moeda di Bintang Hindia yang terbit pada 1903. Dalam tulisan berjudul Perdjalanan ke Tanah Tjoetji, Endar memaparkan besaran biaya yang dia butuhkan saat menunaikan ibadah naik haji pada 1892.
Dia menulis, 5 tahun sebelum dia naik haji, besaran biaya pulang-balik ke Makkah cukup f500 (500 Gulden). Namun, pada saat dia berhaji, uang yang dibutuhkan lebih banyak. Paling sedikit f750 atau bahkan bisa mencapai f1.000.
ADVERTISEMENT
Uang belanja tersebut pun sebaiknya ditukarkan dengan mas Inggris (Pound Sterling) yang nilai tukarnya setara dengan f12,5-12,6. Selain pertimbangan bobot yang lebih ringan, satu uang mas Inggris itu bisa ditukar dengan minimal 10 Ringgit Burung yang berlaku di Makkah. Sementara per f10 hanya bisa ditukar dengan maksimal 8 Ringgit Burung.
Catatan Dja Endar Moeda ini menjadi yang paling mendekati untuk memperkirakan biaya naik haji kakek dari kakek saya. Itu karena, Dja Endar juga merupakan orang Padang Sidempuan, sama seperti keluarga saya. Dia dan kakeknya kakek saya kemungkinan besar hidup dan naik haji pada periode waktu yang berdekatan.