Konten dari Pengguna

Ekonomi 'Lebih Besar Pasak daripada Tiang'

Edo Segara Gustanto
Akademisi dan Peneliti Pusat Kajian dan Analisis Ekonomi Nusantara
21 April 2025 13:58 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Edo Segara Gustanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dok. Pribadi/Edo Segara Gustanto
zoom-in-whitePerbesar
Dok. Pribadi/Edo Segara Gustanto
ADVERTISEMENT
Pemerintahan Prabowo-Gibran sudah berjalan hampir enam bulan sejak dilantik. Sejumlah program unggulan seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), pembangunan rumah untuk tenaga kesehatan, dan beberapa wacana lain mulai digulirkan. Semangat untuk memenuhi janji kampanye terlihat kuat, tetapi pelaksanaannya menghadapi tantangan besar, terutama dalam hal pembiayaan.
ADVERTISEMENT
Kondisi fiskal Indonesia saat ini sedang tidak ideal. Per Maret 2025, defisit APBN telah mencapai Rp104,2 triliun atau 0,43 persen dari produk domestik bruto (PDB). Target defisit hingga akhir tahun bahkan dipatok cukup tinggi, yakni Rp616,19 triliun (2,53 persen dari PDB). Angka-angka ini mencerminkan tekanan serius terhadap keuangan negara kita.
Di saat yang sama, utang pemerintah telah menembus angka Rp8.200 triliun. Secara teknis, rasio utang terhadap PDB memang masih di bawah ambang batas 60 persen. Namun, tren kenaikan utang yang tak kunjung menurun sejak pandemi menandakan bahwa ruang fiskal makin sempit. Dalam situasi ini, komitmen terhadap berbagai program ambisius sebaiknya ditinjau ulang secara lebih realistis.
Janji-janji yang Membebani
Program makan bergizi gratis menjadi ikon utama pemerintahan baru. Pemerintah mengalokasikan anggaran sekitar Rp71 triliun untuk tahun pertama. Tujuan mulia, yaitu mengatasi stunting dan memperkuat SDM sejak dini, patut diapresiasi. Namun, skala dan kesiapan infrastruktur belum sebanding. Banyak daerah belum memiliki kapasitas logistik untuk distribusi makanan yang merata dan bergizi.
ADVERTISEMENT
Janji lain seperti penyediaan rumah gratis bagi tenaga kesehatan juga mulai dirancang. Ini adalah bentuk penghargaan terhadap garda terdepan kesehatan. Tetapi pembangunan perumahan secara masif jelas memerlukan anggaran besar, lahan, dan skema keberlanjutan fiskal. Tanpa kerangka pembiayaan jangka panjang, program ini berpotensi menjadi beban baru bagi kas negara.
Pernyataan Presiden Prabowo mengenai rencana menerima 1.000 pengungsi Palestina ke Indonesia menunjukkan kepedulian terhadap isu global. Namun, langkah ini juga memiliki konsekuensi fiskal. Akomodasi, layanan pendidikan, dan integrasi sosial memerlukan anggaran yang tidak kecil. Di tengah tekanan fiskal domestik, pengambilan kebijakan luar negeri seharusnya mempertimbangkan kemampuan anggaran dalam negeri.
Dibayarkan dengan Utang?
Salah satu ironi dari program-program unggulan pemerintah ini 'konon' sebagian besar akan dibiayai melalui utang. Ini terlihat dari struktur APBN 2025 yang menunjukkan ketergantungan tinggi pada penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) untuk menutup defisit. Ini menandakan ruang fiskal yang semakin menyempit.
ADVERTISEMENT
Utang sebenarnya bukan hal tabu dalam pengelolaan negara. Namun, menjadi persoalan serius jika digunakan untuk belanja konsumtif alih-alih produktif. Beban bunga utang yang telah menembus Rp500 triliun per tahun memperkuat kekhawatiran bahwa pemerintah bisa terjebak dalam lingkaran "gali lubang tutup lubang".
Karena itu, pemerintah perlu segera meninjau ulang prioritas belanja dan melakukan rasionalisasi anggaran. Janji politik harus diselaraskan dengan kemampuan fiskal negara. Kesejahteraan yang berkelanjutan hanya bisa dicapai dengan keberanian untuk bersikap realistis dan transparan kepada publik.
Penutup
Saat ini, Indonesia tengah berada pada persimpangan penting: apakah akan melanjutkan kebijakan populis berbiaya tinggi dengan risiko fiskal yang membengkak, atau memilih jalur konsolidasi anggaran demi menjaga keberlanjutan ke depan. Pilihan ini akan menentukan arah ekonomi nasional beberapa tahun mendatang.
ADVERTISEMENT
Pasak yang lebih besar daripada tiang memang bisa menciptakan kesan "merakyat" dalam jangka pendek, tetapi pada akhirnya akan menjadi beban berat bagi generasi mendatang. Pemerintah harus berhati-hati agar tidak membangun kesejahteraan hari ini dengan menggadaikan masa depan.[]
*) Akademisi dan Peneliti Pusat Kajian dan Analisis Ekonomi Nusantara