Konten dari Pengguna

Fatwa Baru MUI Terkait Boikot: Dorong Produk Lokal atau Ada 'Pesan' Lain?

Edo Segara Gustanto
Dosen FEBI IIQ An Nur YK, HIPD UII, Pusat Kajian Analisis Ekonomi Nusantara
3 Agustus 2024 16:30 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Edo Segara Gustanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Kumparan.com
ADVERTISEMENT
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengumumkan kumpulan fatwa terbaru yang salah satunya adalah menyerukan agar masyarakat memprioritaskan penggunaan produk dalam negeri Indonesia. Fatwa MUI No 14/Ijtima’ Ulama/VIII/2024 tentang “Prioritas Penggunaan Produk dalam Negeri”, fatwa ini diharapkan dapat membangkitkan ekonomi nasional, sekaligus menghentikan produk-produk yang terafiliasi maupun diimpor langsung dari Israel.
ADVERTISEMENT
Fatwa terbaru MUI ini merupakan keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Islamic Center, Sungailiat, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada 28-31 Mei 2024.
“Fatwa MUI tersebut bukti konkret aktualisasi cinta Tanah Air sebagai bagian dari iman kita. Semangat cinta Tanah Air yang dibumikan di sektor perekonomian yaitu gunakan produk negeri sendiri,” ungkap Cholil Nafis, selaku Ketua MUI Bidang Dakwah kepada media, Kamis (1/8/2024).
Menarik untuk ditelisik, apakah fatwa ini memang dorongan murni agar produk-produk lokal bisa tumbuh, atau ada 'dorongan' lain? Mengapa pertanyaan ini saya ajukan, karena bukan rahasia lagi jika ada persaingan bisnis yang kemudian mendorong berbagai cara termasuk masuk ke lembaga-lembaga Islam untuk memunculkan informasi-informasi yang kurang tepat atau tidak sesuai fakta.
ADVERTISEMENT
Kriteria Produk Terafiliasi Israel Menurut MUI
Berdasarkan pembahasan yang dilakukan saat Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI, maka ada beberapa kriteria yang jelas dalam memastikan bahwa suatu produk terafiliasi Israel, yaitu:
1. Saham mayoritas dan pengendali perusahaan dikuasai oleh pihak-pihak yang memiliki afiliasi yang jelas dengan Israel.
2. Pemegang saham pengendali perusahaan merupakan entitas asing yang memiliki bisnis aktif di Israel.
3. Sikap politik pengendali perusahaan mendukung politik genosida dan agresi Israel atas Bangsa Palestina.
4. Nilai-nilai yang dianut produsen bertentangan dengan nilai-nilai luhur agama, Pancasila, dan UUD 1945, seperti LGBT, terorisme, dan ultra-liberalisme.
5. Sikap dan pernyataan politik dan ekonomi perusahaan, termasuk perusahaan global sebagai induknya, yang masih mempertahankan investasi di Israel.
ADVERTISEMENT
Kriteria Produk Lokal yang Layak Didukung Versi MUI
Sebaliknya, telah pula ditegaskan tentang 10 kriteria produk nasional yang layak didukung untuk menggantikan produk yang diboikot terkait afiliasinya dengan Israel:
1. Kepemilikan Nasional: Produk yang dimiliki sepenuhnya oleh perusahaan atau individu Indonesia, dengan wewenang atau otoritas pengambil keputusan yang menentukan arah atau sikap perusahaan. Untuk perusahaan publik, saham mayoritas dimiliki individu atau perusahaan Indonesia.
2. Sumber Bahan Baku Dalam Negeri: Produk yang bahan bakunya diambil dari sumber-sumber dalam negeri, mendukung petani dan produsen dalam negeri.
3. Rantai Pasokan Dalam Negeri: Produk yang rantai pasokannya melibatkan perusahaan-perusahaan nasional, sehingga memberikan manfaat ekonomi pada berbagai sektor dalam negeri.
4. Inovasi dan Teknologi Nasional: Produk yang mengandalkan inovasi dan teknologi yang dikembangkan oleh perusahaan atau institusi pendidikan dalam negeri.
ADVERTISEMENT
5. Kebijakan Ramah Lingkungan: Produk yang diproduksi dengan metode yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
6. Dukungan Terhadap Komunitas Dalam Negeri: Produk dari perusahaan yang berkomitmen untuk mendukung komunitas dalam negeri, baik melalui program sosial maupun investasi dalam infrastruktur komunitas.
7. Kualitas dan Keamanan: Produk yang memiliki standar kualitas dan keamanan yang tinggi, serta memiliki sertifikasi dari badan pengawas nasional.
8. Pemberdayaan Tenaga Kerja nasional: Produk dari perusahaan yang memberdayakan tenaga kerja nasional dengan memberikan pelatihan dan peluang kerja yang adil, dengan jajaran manajemen dari level atas hingga bawah adalah WNI.
9. Transparansi dan Etika Bisnis: Produk dari perusahaan yang menjalankan bisnisnya dengan transparansi dan etika yang tinggi.
10. Keberagaman dan Inklusivitas: Produk dari perusahaan yang mendorong keberagaman dan inklusivitas dalam praktik bisnisnya, menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan menghargai perbedaan, dan tidak mendukung nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan Islam.
Ilustrasi MUI. Foto: Zinedy/Shutterstock
'Pesan' Terselubung atau Kepentingan Tertentu?
ADVERTISEMENT
Namun, di luar dorongan untuk mendukung produk lokal, ada spekulasi di masyarakat mengenai kemungkinan adanya pesan lain di balik fatwa ini. Beberapa pihak menilai bahwa seruan boikot tersebut mungkin juga mengandung 'pesan' terselubung terkait dengan sikap politik atau respons terhadap isu-isu tertentu. Meskipun demikian, MUI secara tegas menyatakan bahwa fatwa tersebut murni bertujuan untuk memperkuat perekonomian nasional tanpa muatan politik.
Tak sedikit pula yang mempertanyakan apakah fatwa ini ditujukan untuk menekan produsen asing tertentu yang dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai atau kepentingan nasional. Di tengah era globalisasi dan pasar bebas, isu mengenai keberpihakan pada produk lokal versus produk asing sering kali menjadi perdebatan yang kompleks. Di satu sisi, mendukung produk lokal dianggap sebagai bentuk nasionalisme, namun di sisi lain, penolakan terhadap produk asing dapat dianggap sebagai bentuk proteksionisme yang tidak selalu positif.
ADVERTISEMENT
Ada juga yang memanfaatkan isu boikot ini untuk kepentingan perusahaan tertentu. Bahkan ada perusahaan yang mengaku produk lokal, padahal lisensi mereknya dimiliki perusahaan cangkang yang dimiliki asing. Celakanya, mereka menghalalkan segala cara untuk menjatuhkan kompetitornya. Termasuk menari di atas isu boikot ini.
Reaksi Masyarakat dan Dampak Ekonomi
Fatwa ini memicu beragam reaksi dari masyarakat. Sebagian besar mendukung langkah MUI dan merasa bangga dengan produk lokal yang semakin berkualitas. Mereka menganggap bahwa ini adalah momen yang tepat untuk membuktikan bahwa produk Indonesia tidak kalah bersaing dengan produk asing. Dukungan ini juga dianggap sebagai bentuk nasionalisme yang diharapkan dapat memberikan dorongan positif bagi para pelaku usaha dalam negeri. Namun, tidak sedikit pula yang merespons dengan skeptis, mengkhawatirkan bahwa seruan boikot ini mungkin dapat mengisolasi Indonesia dari pasar global dan mengurangi akses konsumen terhadap produk-produk yang belum dapat diproduksi secara memadai di dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Kekhawatiran ini tidak sepenuhnya tanpa dasar. Dalam era globalisasi, interaksi ekonomi antarnegara telah menjadi bagian integral dari perekonomian modern. Isolasi dari pasar global, meskipun mungkin didorong oleh niat baik untuk mendukung industri lokal, dapat berpotensi merugikan dalam jangka panjang. Konsumen bisa kehilangan akses ke teknologi terbaru, produk yang lebih inovatif, dan pilihan yang lebih beragam. Selain itu, ketergantungan pada produk lokal tanpa adanya kualitas yang kompetitif bisa menyebabkan monopoli pasar, yang akhirnya merugikan konsumen dengan harga yang lebih tinggi dan pilihan yang terbatas.
Pada akhirnya, fatwa MUI ini menjadi refleksi dari dinamika ekonomi dan sosial di Indonesia. Terlepas dari apakah terdapat 'pesan' lain atau tidak, dorongan untuk mendukung produk lokal tentu memiliki dampak positif dalam memperkuat ekonomi nasional. Namun, penting untuk tetap memperhatikan keseimbangan dalam mengelola hubungan ekonomi dengan pihak luar agar tidak menimbulkan efek negatif yang tidak diinginkan. Dengan demikian, Indonesia dapat terus membangun perekonomiannya secara berkelanjutan, menjaga kemandirian nasional, dan tetap terbuka terhadap inovasi global yang bermanfaat bagi masyarakat.[]
ADVERTISEMENT