Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Gelombang PHK, Mimpi Pertumbuhan Ekonomi 8% dan Solusinya
2 Mei 2025 15:44 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Edo Segara Gustanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pemerintahan Prabowo awal-awal menjabat berangan-angan agar pertumbuhan ekonomi tumbuh mencapai 8%. Hal ini juga sebagai bagian dari visi besar menuju Indonesia Emas 2045. Namun, hari-hari ini kenyataan di lapangan justru memperlihatkan tren yang kontradiktif. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terus terjadi di berbagai sektor. Apakah kita sedang membangun istana ekonomi di atas fondasi yang rapuh?
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa bulan terakhir, banyak perusahaan—terutama di sektor padat karya seperti tekstil, manufaktur ringan, hingga startup digital—melakukan PHK massal. Hal ini bukan hanya akibat dari tekanan eksternal seperti perlambatan ekonomi global, tetapi juga karena ketidakmampuan sektor-sektor tersebut beradaptasi dengan perubahan teknologi dan pasar. Di saat yang sama, daya beli masyarakat pun menurun, tercermin dari melemahnya konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Padahal, jika kita mengamati struktur Produk Domestik Bruto (PDB), konsumsi rumah tangga menyumbang sekitar 53-55% dari total PDB nasional. Ketika konsumsi ini lesu, maka mesin utama pertumbuhan pun ikut melemah. Situasi ini menjadi ironi tersendiri ketika pemerintah tetap optimistis mematok target pertumbuhan ekonomi hingga 8%. Target yang tampak ambisius, namun sulit dicapai bila fondasi sosial-ekonomi masyarakat tidak diperkuat terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
Ketidakpercayaan Masyarakat Terkait Kondisi Ekonomi ke Depan
Salah satu penyebab utama lesunya konsumsi masyarakat adalah krisis kepercayaan terhadap masa depan ekonomi. Banyak warga yang kini memilih untuk “menabung” ketimbang “membelanjakan lebih banyak.” Ini tercermin dari peningkatan minat terhadap instrumen-instrumen penyimpanan nilai seperti emas, tabungan, deposito, hingga investasi konservatif lain. Bukannya tidak mendukung pertumbuhan, namun perilaku ini mengindikasikan bahwa masyarakat lebih fokus pada perlindungan aset, bukan pengeluaran produktif.
Fenomena ini sangat khas Indonesia: masyarakat yang trauma terhadap ketidakstabilan ekonomi (seperti krisis 1998 dan pandemi COVID-19) cenderung bersikap hati-hati dan enggan mengambil risiko. Mereka lebih memilih menyimpan uang di instrumen yang dirasa aman, seperti emas atau rekening tabungan/deposito.
Sayangnya, ini menciptakan “sirkuit pendek” dalam siklus ekonomi. Uang yang seharusnya berputar dalam sistem—melalui konsumsi, investasi riil, atau ekspansi bisnis—malah tertahan. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi stagnan, lapangan kerja tidak bertambah, dan akhirnya kembali ke masalah awal: PHK.
ADVERTISEMENT
Butuh Fondasi Ekonomi yang Kuat dan Intervensi Pemerintah
Dari sudut pandang ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi tidak akan terjadi hanya karena harapan atau retorika. Ia butuh fondasi kuat berupa produktivitas tenaga kerja, inovasi sektor riil, dan yang terpenting: sirkulasi uang di masyarakat. Jika konsumsi rendah, investasi enggan masuk, dan ekspor tak mampu mendongkrak PDB secara signifikan, maka target 8% itu hanya akan menjadi mimpi atau angan-angan indah di atas kertas.
Pemerintah harus melakukan intervensi lebih cerdas dan menyentuh akar masalah. Pertama, menumbuhkan kepercayaan publik terhadap masa depan ekonomi. Ini bisa dilakukan melalui kepastian hukum, stabilitas harga, serta insentif yang tepat bagi sektor produktif.
Kedua, mendorong transformasi ekonomi dari konsumsi jangka pendek ke konsumsi produktif—misalnya dengan memberi insentif kepada rumah tangga untuk belanja pendidikan, kesehatan, dan UMKM lokal. Ketiga, memperkuat jaring pengaman sosial bagi korban PHK, agar mereka tidak jatuh dalam kemiskinan ekstrem yang pada akhirnya menambah beban negara.
ADVERTISEMENT
Penutup
Jangan sampai ambisi pertumbuhan ekonomi hanya menjadi narasi indah yang tidak pernah menyentuh realitas mayoritas rakyat. Pertumbuhan yang ideal bukan hanya soal angka yang tinggi, tetapi juga soal siapa yang tumbuh, siapa yang diuntungkan, dan apakah pertumbuhan itu inklusif.
Selama masyarakat masih dicekam ketidakpastian ekonomi, dan lebih memilih menyimpan uang daripada membelanjakannya, maka pertumbuhan 8% akan tetap menjadi slogan kosong. Kita butuh arah baru: pertumbuhan yang berakar pada rasa aman, partisipasi rakyat, dan keadilan ekonomi.[]
Penulis adalah Dosen Ekonomi di Institut Ilmu Al Quran (IIQ) An Nur dan Peneliti Pusat Kajian dan Analisis Ekonomi Nusantara