Konten dari Pengguna

Sialnya Jadi Kelas Menengah

Edo Segara Gustanto
Dosen FEBI IIQ An Nur YK, Pusat Kajian dan Analisis Ekonomi Nusantara
9 November 2024 14:25 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Edo Segara Gustanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Kumparan.com
ADVERTISEMENT
Ya, barangkali ada yang tidak setuju dengan judul tulisan saya di atas, tentu tidak mengapa dan saya akan hargai apa pun pendapat Anda. Mengapa saya bilang sial? Karena kelas menengah ketika harga-harga naik, pajak naik, BBM naik, akan terasa dampaknya. Misal ada kenaikan transportasi umum, ada kenaikan harga BBM, siapa yang terasa, tentu kelas menengah.
ADVERTISEMENT
Orang miskin bagaimana? Orang miskin masih ada bantuan sosial (bansos) untuk kebutuhan sehari-hari, untuk pendidikan ada Kartu Indonesia Pintar (KIP), serta bantuan-bantuan lainnya. Sementara kelas menengah tidak. Saat ini bahkan di tengah isu subsidi BBM tidak tepat sasaran, ada rencana akan dialihkan ke Bantuan Langsung Tunai (BLT) buat orang miskin. Tapi buat kelas menengah, nanti dulu.
Jumlah kelas menengah di Indonesia tentu lebih banyak ketimbang jumlah orang miskin dan orang kaya jika kita menggunakan ukuran Bank Dunia. Kelas menengah di Indonesia mencapai sekitar 20-40% dari total populasi, yang berarti jumlahnya antara 50 hingga 100 juta orang. Kelas menengah berjuang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sambil berambisi untuk meningkatkan taraf hidup. Namun sialnya, hidup menjadi kelas menengah ternyata tidak seenak yang dibayangkan. Ada beberapa hal yang akan saya ulas di sub bab berikutnya, mengapa sial menjadi kelas menengah.
ADVERTISEMENT

Tekanan Finansial

Salah satu tantangan terbesar bagi kelas menengah adalah tekanan finansial yang konstan. Gaji yang stabil sering kali tidak sebanding dengan biaya hidup yang terus meningkat. Masyarakat kelas menengah sering kali harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, terutama ketika harga barang dan jasa naik tanpa henti.
Gaya hidup yang diharapkan—seperti memberikan pendidikan terbaik untuk anak, memiliki perumahan yang layak, dan akses kesehatan yang memadai—menuntut pengeluaran yang signifikan. Semua ini menambah beban finansial yang harus ditanggung. Keluarga sering kali terpaksa mengorbankan tabungan atau melakukan pinjaman untuk memenuhi standar hidup yang diharapkan.
Ditambah dengan keinginan untuk tampil ‘seperti orang kaya’, banyak yang terjebak dalam lingkaran utang (kartu kredit, pinjol dan paylater) yang tak kunjung usai. Dalam usaha untuk menjaga citra sosial dan memenuhi ekspektasi lingkungan sekitar, mereka terjebak dalam siklus konsumsi yang merugikan. Akibatnya, tekanan ini semakin membebani mental dan emosional mereka, menciptakan rasa frustrasi dan ketidakpuasan yang mendalam.
ADVERTISEMENT

Ekspektasi Sosial yang Tinggi

Di masyarakat, kelas menengah sering kali diharapkan untuk menjadi role model bagi kelompok lainnya. Mereka diharapkan untuk berperilaku dan hidup sesuai dengan standar tertentu yang ditetapkan oleh lingkungan sosial. Ekspektasi ini sering kali tidak realistis, memaksa mereka untuk terus berusaha memenuhi tuntutan yang kadang terlalu tinggi.
Mulai dari memilih sekolah terbaik untuk anak hingga memiliki mobil yang layak, semua hal ini menambah beban psikologis yang harus ditanggung. Keluarga-keluarga kelas menengah merasa tertekan untuk selalu tampil sempurna dan mengikuti tren yang ada. Dalam upaya untuk memenuhi harapan ini, banyak yang terjebak dalam utang (pinjol dan paylater).
Masyarakat sering kali melupakan bahwa di balik penampilan yang rapi dan hidup yang terlihat ideal, ada perjuangan yang harus dilalui oleh kelas menengah. Kesulitan dan ketegangan yang mereka alami sering kali tidak terlihat oleh orang luar, menciptakan kesenjangan antara realitas dan ekspektasi. Penting untuk lebih memahami dan memberi dukungan kepada mereka, daripada hanya menilai dari luar.
ADVERTISEMENT

Kesulitan Mencapai Mobilitas Sosial

Kelas menengah sering kali terjebak dalam ambisi untuk naik kelas, namun banyak yang menemui jalan buntu. Mereka memiliki pendidikan dan keterampilan yang memadai, tetapi usaha untuk meningkatkan status sosial sering kali tidak membuahkan hasil. Meskipun telah berusaha keras, kenyataan yang dihadapi sering kali jauh dari harapan.
Kesempatan untuk naik ke kelas atas sering kali didominasi oleh faktor-faktor di luar kendali mereka, seperti faktor jejaring dan latar belakang keluarga. Banyak yang menyadari bahwa meskipun mereka bekerja keras dan berinvestasi dalam pendidikan, akses ke peluang yang lebih baik sering kali tidak merata. Ini menciptakan kesan bahwa keberhasilan bukan hanya soal usaha, tetapi juga keberuntungan dan koneksi (jaringan).
Akibatnya, hal ini menciptakan rasa frustrasi dan ketidakpuasan yang mendalam di kalangan kelas menengah. Mereka merasa terjebak dalam siklus yang sulit dipecahkan, di mana impian untuk mencapai mobilitas sosial menjadi semakin samar. Ketidakadilan ini bukan hanya memengaruhi kondisi ekonomi, tetapi juga kesehatan mental dan kesejahteraan mereka, yang pada akhirnya dapat merusak harapan untuk masa depan yang lebih baik.
ADVERTISEMENT

Kesehatan Mental Terabaikan

Tekanan untuk memenuhi harapan finansial dan sosial memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan mental kelas menengah. Banyak individu merasa terasing dan tertekan akibat beban yang harus mereka tanggung, mulai dari kewajiban pekerjaan hingga ekspektasi sosial. Keseharian mereka dipenuhi dengan stres yang terus-menerus, sehingga kesehatan mental menjadi semakin terabaikan.
Meskipun mereka mengalami tekanan ini, stigma seputar kesehatan mental sering kali membuat mereka enggan untuk mencari bantuan. Dalam masyarakat yang menilai keberhasilan berdasarkan pencapaian material, banyak yang merasa malu untuk mengakui bahwa mereka membutuhkan dukungan. Akibatnya, banyak yang memilih untuk menyimpan perasaan mereka dan berjuang sendirian, yang hanya memperburuk kondisi mental mereka.
Di tengah semua tuntutan hidup, mereka sering kali mengabaikan kebutuhan diri sendiri demi memenuhi harapan orang lain. Hal ini dapat menciptakan siklus negatif yang sulit diputus, di mana kesehatan mental semakin memburuk, dan rasa frustrasi terus meningkat. Penting untuk mendorong percakapan terbuka mengenai kesehatan mental dan memberikan dukungan kepada mereka yang berada di dalam kelas menengah, agar mereka tidak merasa terjebak dalam kesepian dan tekanan yang berat.
ADVERTISEMENT

Penutup

Menjadi kelas menengah memang menawarkan banyak keuntungan, seperti akses yang lebih baik terhadap pendidikan dan kesehatan. Namun, ada sisi kelam yang sering kali tidak terlihat oleh orang luar. Sialnya, kelas menengah harus berjuang dengan ekspektasi tinggi, tekanan finansial yang konstan, dan kesulitan dalam mencapai impian. Penting bagi Pemerintah, memberi perhatian khusus bagi kelas menengah, jika ingin mereka tumbuh naik kelas. Tidak seperti sekarang, di tengah deflasi kelas menengah mengalami kesulitan daya beli.[]