Konten dari Pengguna

Tekanan Ekonomi Gen Z, Kelas Menengah, dan Solusinya

Edo Segara Gustanto
Dosen FEBI IIQ An Nur YK, Pusat Studi Kajian Analisis Ekonomi Nusantara
17 Oktober 2024 10:39 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Edo Segara Gustanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Kumparan.com
ADVERTISEMENT
Generasi Z, yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, kini memasuki fase dewasa dan menghadapi tantangan ekonomi yang unik. Sebagai bagian dari kelas menengah, mereka dihadapkan pada berbagai tekanan yang berbeda dibandingkan dengan generasi sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data di Pefindo Biro Kredit atau Idscore, outstanding pinjaman kredit paylater mencapai Rp 30,14 triliun. Sementara pengguna BNPL sebesar 14,37 juta per Juni 2024, naik 9,35% secara tahunan (yoy). Rata-rata debitur memiliki hingga 3 kontrak aktif. Artinya, satu pengguna BNPL bisa meminjam hingga tiga kali dalam setiap transaksi.
Dari belasan juta pengguna tersebut, 48,06% di antaranya berusia kurang dari 20 tahun hingga 30 tahun. Kemudian, usia kurang dari 30 tahun hingga 40 tahun sebesar 29,3%. Dengan demikian pasar paylater saat ini didominasi oleh generasi Z dan milenial. Dua kelompok ini juga menjadi penyumbang terbesar kredit macet.
Belum lagi fakta kelas menengah yang sedang terhimpit kondisi ekonomi saat ini. Rencana kenaikan tarif transportasi umum dan PPN sebesar 12%, harga-harga yang semakin naik, semakin mendorong Gen Z yang masuk dalam kelas menengah ini semakin kesulitan.
ADVERTISEMENT
Dalam tulisan ini, kita akan mengeksplorasi bagaimana Gen Z berinteraksi dengan kondisi ekonomi saat ini, faktor penyebab tekanan ekonomi kepada mereka, dampak yang ditimbulkan terhadap gaya hidup mereka dan beberapa usulan penulis agar keluar dari masalah ini.

Sebab Kelas Menengah Turun

Salah satu penyebab kelas menengah turun adalah pandemi COVID-19. COVID-19 telah melumpuhkan sejumlah sektor, terutama sektor perdagangan internasional. Penurunan permintaan global ini memaksa perusahaan mengurangi jumlah pekerja atau memotong jam kerja, yang berdampak langsung pada pendapatan karyawan.
Penyebab lain kelas menengah turun adalah kondisi inflasi. Kenaikan harga barang dan jasa yang lebih cepat daripada pendapatan dapat menggerus daya beli kelas menengah. Selain itu adalah perubahan teknologi. Otomatisasi dan digitalisasi dapat menghilangkan beberapa pekerjaan yang umumnya dipegang oleh kelas menengah, sehingga mengurangi kesempatan kerja.
ADVERTISEMENT
Kebijakan Pemerintah. Kebijakan fiskal dan perpajakan yang tidak mendukung kelas menengah juga dapat berkontribusi pada penurunan ini. Rencana kenaikan PPN 12% dan kenaikan tarif transportasi umum ikut mendorong menurunnya kelas menengah.

FOMO Buat Ekonomi Gen Z Semakin Sulit

FOMO (Fear of Missing Out), telah menjadi fenomena di kalangan Gen Z, dan dampaknya terhadap ekonomi mereka tidak dapat diabaikan. Generasi ini sering kali merasa tertekan untuk mengikuti tren dan gaya hidup yang terlihat di media sosial. Hal ini mendorong mereka untuk melakukan pengeluaran impulsif demi memenuhi ekspektasi sosial. Akibatnya, banyak dari mereka yang menghabiskan uang untuk barang-barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan, hanya untuk merasa termasuk dalam komunitas atau status yang diinginkan.
ADVERTISEMENT
Selain pengeluaran yang tidak terencana, FOMO juga menyebabkan banyak Gen Z terjebak dalam utang. Dalam upaya untuk tampil sesuai dengan standar yang mereka lihat di platform digital, mereka sering kali menggunakan kartu kredit atau pinjaman untuk mendanai gaya hidup yang lebih mewah. Ketidakmampuan untuk mengontrol pengeluaran ini tidak hanya menggerus tabungan, tetapi juga dapat menyebabkan beban utang yang sulit dilunasi, mengganggu kestabilan keuangan mereka di masa depan.
Lebih lanjut, FOMO dapat mendorong Gen Z untuk terlibat dalam investasi yang berisiko. Dengan banyaknya informasi tentang investasi yang cepat menghasilkan uang di media sosial, banyak dari mereka yang tergoda untuk berinvestasi dalam tren jangka pendek tanpa pemahaman yang mendalam.
Ini dapat mengakibatkan kerugian finansial yang signifikan, yang semakin memperburuk kondisi ekonomi mereka. Untuk itu, penting bagi Gen Z untuk belajar mengelola keuangan mereka dengan lebih bijak dan memprioritaskan kebutuhan jangka panjang daripada sekadar mengikuti arus.
ADVERTISEMENT

Mendorong Gaya Hidup Frugal Living

Frugal living adalah gaya hidup yang fokus pada penghematan dan pemanfaatan sumber daya secara efisien. Beberapa prinsip utamanya adalah:
Pertama, Penganggaran. Membuat anggaran bulanan untuk mengontrol pengeluaran. Kedua, Pembelian Cerdas. Pembelian cerdas mengutamakan kebutuhan daripada keinginan dan mencari diskon. Ketiga, Do It Yourself (DIY). DIY membuat barang atau menyelesaikan tugas sendiri untuk menghemat biaya. Keempat, Hindari Utang. Mengurangi penggunaan kartu kredit dan pinjaman online. Kelima, Mengurangi Pemborosan. Memanfaatkan kembali barang dan meminimalkan limbah. Keenam, Membeli Barang Prioritas. Membeli barang yang prioritas, tidak membeli barang barang yang tidak perlu. Ketujuh, Investasi pada Kualitas. Membeli barang berkualitas tinggi yang tahan lama meski harganya lebih mahal di awal.
ADVERTISEMENT
Dengan konsep hidup frugal living dan menjalankan prinsip-prinsip ini, seseorang dapat mencapai keseimbangan keuangan yang lebih baik dan kualitas hidup yang lebih baik.

Kesimpulan

Generasi Z menghadapi tantangan ekonomi yang kompleks, termasuk tekanan FOMO, inflasi, dan perubahan struktural akibat pandemi. Dominasi penggunaan layanan paylater di kalangan mereka menunjukkan kecenderungan pengeluaran impulsif yang dapat menambah beban utang. Untuk mengatasi kesulitan ini, menerapkan gaya hidup frugal living dengan penganggaran yang bijak, prioritas pada kebutuhan, dan menghindari utang menjadi langkah penting dalam mencapai stabilitas keuangan dan meningkatkan kualitas hidup.[]