Bagaimana Valuasi Start-up dan Harga Saham Sesudah IPO?

edoazhara
seorang penggiat investasi dan sehari-hari bekerja sebagai analis senior di Divisi Penilaian Perusahaan 2, Bursa Efek Indonesia.
Konten dari Pengguna
22 Maret 2021 14:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari edoazhara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi saham. Dok: Antarafoto.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi saham. Dok: Antarafoto.
ADVERTISEMENT
Tertarik menanggapi tulisan Sdr. Benny Sudrata di kumparan (Baca: Saham Unicorn di Bursa), saya mencoba memberikan tambahan pandangan saya. Memang dalam tulisan sebelumnya,saya menggunakan pendekatan valuasi yang cukup konvensional dan cukup ringkas.
ADVERTISEMENT
Sejauh pengetahuan saya, salah satu metode valuasi yang sering digunakan oleh start-up company adalah menggunakan metode gross market value (GMV). Metode ini dihitung dengan menghitung keseluruhan total penjualan serta volume transaksi melalui platform yang dimiliki. Sebagai contoh, sebuah pasar tradisional memiliki omzet dagang Rp 1 miliar sehari, serupa dengan sebuah platform marketplace yang misalnya memiliki omzet dagang Rp 1 miliar sehari.
Lalu bagaimana monetisasinya? Di pasar tradisional, pedagang pasar bisa dikenakan biaya sewa lapak, atau dipotong dari omzet. Sedangkan di marketplace dalam jaringan, sebagai pedagang anda tidak dikenakan biaya sama sekali, atau jika anda ingin membuat produk yang anda jual berada dalam urutan teratas, anda dapat membayar biaya dalam jumlah tertentu untuk menempatkan produk jualan Anda di urutan teratas pencarian.
ADVERTISEMENT
Sudah terbayang tentu potensi pendapatan dari marketplace. Namun, untuk membuat saya dan Anda rutin dan kemudian berbelanja dalam sebuah marketplace tertentu, biasanya kita akan menerima banyak promosi, seperti potongan ongkos kirim, dan cashback atas barang belanjaan kita.
Cukup sekali? Belum tentu. Coba Anda hitung berapa banyak cashback dan potongan ongkos kirim yang anda terima dari satu marketplace. Belum lagi, potongan gratis transfer ke rekening tertentu untuk bisnis teknologi finansial. Ini semua tentu ada ongkosnya, dan memang selama ini tidak dibebankan kepada konsumen, yang saya pikir tidak terlalu peduli dengan beban dan biaya yang dikeluarkan penerbit selama manfaatnya lebih besar.
Saya jadi teringat, seorang teman saya memutuskan menutup salah satu rekening di bank digital ketika bank digital tersebut sudah mulai menerapkan biaya bulanan yang "hanya" sebesar Rp10 ribu saja.
ADVERTISEMENT
Saya kemudian menjadi berpikir, apakah sebetulnya ini merupakan inovasi yang disruptif atau sekadar dumping saja? Lalu apakah valuasinya betul-betul terjaga? Atau hanya sekadar ilusi balon yang terus terpompa dan suatu saat bisa meledak?
Sampai semua informasi tersebut belum muncul dari start-up company, maka kita hanya bisa berangan-angan dan menebak-nebak. Saya setuju dengan Sdr. Benny Sudrata yang menutup tulisannya dengan pernyataan "Mari kita tunggu sampai semua data yang dibutuhkan oleh publik sudah dipublikasikan untuk tujuan IPO. Kita percayakan saja pada Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek Indonesia. Dan mari kita cermati bersama."
Sebagai penutup, apabila terdapat sedikit rasa penasaran Anda terhadap start-up company yang sudah terdapat di Bursa Efek, anda bisa membaca di akun twitter @ridehaluing yang sejak semalam mengulas tentang kondisi keuangan SEA Group, induk dari Shopee.
ADVERTISEMENT
Salam sehat dan investasi.
Edo Azhara- Penulis adalah seorang penggiat investasi, memiliki hobi bermain sepeda dan sehari-hari bekerja di salah satu Self-Regulatory Organization (SRO) Pasar Modal