Konten dari Pengguna

Dialektika Ongkos PHK

Eduardo Edwin Ramda
Eduardo Edwin Ramda - Aktif sebagai analis kebijakan di Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Penulis juga aktif mengikuti konferensi ilmiah dan melakukan advokasi kebijakan publik.
16 Maret 2021 12:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Eduardo Edwin Ramda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Yuridis.id
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Yuridis.id
ADVERTISEMENT
Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (CIKA) menghadirkan nuansa reformasi terkait regulasi ketenagakerjaan di Indonesia. Hadirnya klaster ketenagakerjaan dalam UU sapu jagat ini mencoba mengurai benang kusut problematika ketenagakerjaan. Persoalan kompensasi PHK yang mahal menjadi salah satu fokus pemerintah untuk ditata kembali.
ADVERTISEMENT
Kontroversi isu ini bukan sekadar vis a vis antara kepentingan pekerja dan dunia usaha. Lebih dari itu, tersirat harapan agar perekonomian tetap bergulir di tengah ancaman resesi. Reformasi regulasi ketenagakerjaan seyogyanya realistis agar tetap kompetitif sehingga tujuan pembentukan UU dapat tercapai. Pertanyaannya, sudahkah pengaturan uang penghargaan masa kerja ini realistis?
Indonesia Butuh Kerja
Sesungguhnya ada semangat positif yang hendak dibangun di balik UU ini. Nama "Cipta Kerja" dalam UU ini didasarkan pada realita bahwa Indonesia butuh kerja. Jumlah angkatan kerja pada Februari 2020 sebanyak 137,91 juta orang dengan tingkat pengangguran terbuka sejumlah 6,88 juta orang. Belum lagi di masa pandemi terdapat 3,5 juta pekerja yang di PHK per 31 juli 2020.
ADVERTISEMENT
Mengalir dari konteks tersebut, ada upaya di balik UU ini untuk memberi stimulus penciptaan lapangan kerja melalui investasi. Namun, realita menunjukkan peningkatan investasi tidak in line dengan penyerapan tenaga kerja. Laporan BKPM menunjukkan bahwa investasi sebesar Rp 612,8 triliun menyerap 1,39 juta pekerja pada tahun 2016, sedangkan pada tahun 2019 investasi sebesar Rp. 809,6 triliun hanya mampu menyerap 1,03 juta pekerja.
Hal itu disebabkan oleh regulasi ketenagakerjaan kita yang kaku. Bahkan, riset INDEKS menunjukkan skor kebebasan ketenagakerjaan Indonesia 49,2 pada tahun 2020 dan berada pada level repressed. Hal ini mengindikasikan adanya struktur yang kaku sehingga tenaga kerja dan perusahaan sama-sama tertekan di pasar kerja. Bukan rahasia lagi, Bank Dunia menempatkan Indonesia sebagai negara berbiaya mahal di kawasan Asia Timur dan Pasifik dalam proses PHK.
ADVERTISEMENT
Perubahan ketentuan uang penghargaan masa kerja (UPMK) merupakan upaya yang realistis untuk mengatasi struktur ketenagakerjaan yang repressed. Lebih dari itu, penghapusan pasal 163 s/d 172 UU 13/2003 dalam UU ini berimplikasi pada hilangnya ketentuan 2 kali PMTK dalam kompensasi PHK secara matematis. Penurunan nominal kompensasi PHK diharapkan mampu menciptakan upah yang berdaya saing dan mendeterminasi peningkatan investasi di Indonesia.
Penurunan ini pada dasarnya diperlukan agar biaya kompensasi PHK terjangkau oleh perusahaan dan mampu dibayarkan. Data Kemenakertrans tahun 2019 menunjukkan tingkat kepatuhan perusahaan terhadap kompensasi PHK adalah 27%. Indikasi dari realita tersebut adalah kompensasi PHK kita mahal dan kemampuan membayar kompensasi PHK perusahaan rendah. Ekspektasinya, penurunan nominal akan menjangkau kemampuan perusahaan untuk membayar ongkos PHK sehingga tingkat kepatuhan meningkat.
ADVERTISEMENT
Mahalnya kompensasi PHK sudah pasti mempersulit mekanisme PHK, imbasnya, perusahaan berhati-hati merekrut pekerja. Persoalan inilah yang menyebabkan tidak in line-nya penyerapan tenaga kerja dengan peningkatan investasi di Indonesia. Penyerapan tenaga kerja bergantung pada fleksibilitas regulasi yang mengakomodir prinsip easy to hire, easy to fire. Ketika regulasi memudahkan PHK, maka perusahaan akan lebih terbuka dan berani dalam melakukan rekrutmen tenaga kerja.
Catatan Akhir
Dialektika isu ongkos PHK mengundang antitesis yang menimbulkan maraknya seruan resistensi atas UU sapu jagat ini. Isu UPMK dan kepatuhan pembayaran kompensasi bersifat inheren pada tataran implementasi. Ketidakmampuan perusahaan dalam membayar kompensasi PHK bukan tidak mungkin akan melahirkan probabilitas yang sama terkait ketidakpatuhan yang selama ini menjadi persoalan.
ADVERTISEMENT
Pembahasan isu ini diharapkan berangkat dari paradigma representativeness beranjak dari kebutuhan stakeholder sebagai titik pijak. Ekspektasinya, reformasi ini mampu menjawab problematika bipartit di masa pandemi. Reformasi regulasi ketenagakerjaan semestinya tidak mencekik dunia usaha agar tingkat kepatuhan terjamin pada tataran implementasi. Lebih jauh, pengaturan ongkos PHK semestinya dibangun dengan basis data dan fakta yang realistis. Regulasi yang tidak realistis di masa pagebluk akan jadi bumerang terhadap ikhtiar cipta kerja.