Konten dari Pengguna

Politisasi Coldplay dalam Pesta Demokrasi

Eduardo Edwin Ramda
Eduardo Edwin Ramda - Aktif sebagai analis kebijakan di Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Penulis juga aktif mengikuti konferensi ilmiah dan melakukan advokasi kebijakan publik.
23 Juni 2023 16:05 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Eduardo Edwin Ramda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Grup Musik, Coldplay. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Grup Musik, Coldplay. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Pagelaran pesta demokrasi acapkali dihiasi dengan berbagai gimik untuk mendulang atensi publik. Salah satunya adalah melalui pemanfaatan isu viral untuk meningkatkan engagement publik.
ADVERTISEMENT
Isu publik yang kini sedang menjadi primadona untuk didompleng adalah rencana konser band Coldplay pada akhir 2023. Konser yang diprediksi menyumbangkan PAD dengan jumlah besar ini hangat diperbincangkan berbagai kalangan, khususnya generasi muda.
Demi eksistensi, sejumlah aktor politik dan organisasi kemasyarakatan berlomba menunjukkan eksistensinya via isu ini. Terbaru, kelakuan bakal calon legislatif DPR RI, Aldi Taher memancing gelak tawa publik dengan menyanyikan lagu Yellow pada wawancara di salah satu TV swasta.
Nampaknya, band yang digawangi oleh Chris Martin dkk itu terlihat seksi untuk didompleng dalam agenda dan diskursus politik setahun ke depan.
Prambors FM merilis data jumlah pendengar Coldplay yang cukup besar di Indonesia, di mana total pendengar di Jakarta adalah sebesar 3.359.119 diikuti Surabaya (1.049.091), Bandung (1.012.693), Semarang (708.699), Medan (504.397), Denpasar (496.678), hingga Palembang (431.337). Angka ini relatif seksi dan menggiurkan bagi mereka yang hendak mendulang efek cantolan popularitas.
Aksi panggung Coldplay. Foto: Cornelius Bintang/kumparan
Fenomena politisasi Coldplay tentunya merupakan bagian dari upaya aktor politik untuk merelevankan diri dengan kaum muda. Tentu hal ini masuk akal. Sebab pemilih pada pemilu 2024 didominasi oleh mereka yang berusia 17 hingga 40 tahun.
ADVERTISEMENT
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan bahwa jumlah pemilih muda sekitar 107 juta orang. Persentase klaster ini lebih dari 50 persen dari total jumlah pemilih.
Pemanfaatan isu Coldplay dapat dilihat sebagai contoh nyata pemanfaatan pop culture dalam pesta demokrasi. Pop culture, memiliki determinasi yang signifikan dalam skena politik Indonesia.
Perkembangan digital memungkinkan keterjangkauan budaya populer terhadap masyarakat luas. Selain itu, pop culture menjadi alat yang efektif dalam membentuk opini dan preferensi politik.
Fakta hari ini menunjukkan bahwa musik dan memiliki pengaruh yang besar dalam politik Indonesia. Sebagai contoh, lagu kampanye politik kerap menggunakan aransemen musik yang catchy dan lirik yang mudah diingat untuk menarik perhatian masyarakat. Para musisi papan atas turut terjun dalam kontestasi politik dan menduduki jabatan di eksekutif maupun legislatif.
Ilustrasi Partai Peserta Pemilu Foto: Fitra Andrianto/kumparan
Musik merupakan produk kreatif yang dekat dengan masyarakat, sehingga wajar tatkala isu yang berkaitan dengan skena musik selalu seksi untuk didompleng. Dalam hal politisasi Coldplay, para politisi mulai menggunakan lagu seperti Fix You, Viva La Vida, hingga Yellow dalam konten media sosial mereka (reels Instagram, TikTok, dll).
ADVERTISEMENT
Penggunaan lagu-lagu yang viral dan terkenal akan mempengaruhi algoritma sehingga berdampak pada kemunculan suatu konten dalam linimasa platform media sosial setiap orang.
Inilah yang dicari oleh para politisi, yakni mengharapkan engagement untuk meningkatkan popularitas. Jelas, popularitas merupakan fase penting yang wajib dilalui petarung sebelum bicara soal elektabilitas.
Perlu disadari juga, pemanfaatan pop culture dalam skena politik turut memiliki risiko yang merugikan publik. Produksi konten yang mencoba merelevankan diri dengan isu Coldplay hingga saat ini belum disertai adanya tawaran gagasan.
Nihilnya gagasan dalam skena politik berbasis pop culture menjadi wajar karena yang dikejar adalah popularitas, namun akan mengorbankan aspek substansi yang menjadi komoditi utama dalam pertarungan demokrasi.
Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
Masyarakat disuguhkan gimik teatrikal tanpa diimbangi kualitas pemikiran yang mumpuni dalam menghadirkan kesejahteraan publik. Iklim masyarakat politik Indonesia yang masih mengedepankan sentimen dan emosi menjadi ladang subur politisi untuk menabur politik gimik dan mengabaikan substansi.
ADVERTISEMENT
Angan-angan pegiat demokrasi melihat pertarungan gagasan rentan pupus manakala politisasi Coldplay menjamur. Bilamana publik terbuai dengan gimik politisi, jalanan rusak di daerah, minimnya jaminan keamanan beribadah, prevalensi stunting tinggi, daya saing rendah, ekosistem investasi keruh menjadi litani problematika yang tidak kunjung tuntas.
Patut disadari, kontestasi politik 2024 akan menentukan kehidupan masyarakat di daerah. Mereka yang bertarung pada arena legislatif akan duduk menjabat sebagai representasi masyarakat daerah. Begitu juga dengan pilpres dan pilkada yang akan menghasilkan pimpinan hierarkis pusat-daerah.
Pilpres sebagai manifestasi reformasi dan pilkada sebagai manifestasi dimensi otonomi daerah (desentralisasi politik) hendaknya menjadi gelanggang gagasan bukan festival gimik. Kesalahan output pesta demokrasi akan berdampak fatal dalam kehidupan rakyat lima tahun ke depan.
ADVERTISEMENT
Mereka yang menari dalam alunan Fix You belum tentu siap dengan gagasan konkret untuk fix the problem. Tidak ada jaminan bahwa kualitas dan engagement aktor politik mempengaruhi political will mereka dalam mewujudkan kemaslahatan publik.
Grup Musik, Coldplay. Foto: Shutter Stock
Ketidaktuntasan persoalan publik yang selama ini dikeluhkan berpeluang jalan di tempat dan lima tahun ke depan publik akan menggerutu tentang masalah yang sama.
Besar kemungkinan, gimik Aldi Taher adalah intro dari alunan dinamika politik yang masih panjang hingga November 2023. Terlebih, jadwal konser Coldplay beririsan dengan masa kampanye yang ditetapkan KPU.
Masyarakat akan terus disuguhkan gimik politisasi Coldplay yang mungkin para pelakunya hanya tahu reffain Fix You tapi merasa paling Coldplayers (sebutan untuk fans Coldplay).
ADVERTISEMENT
Seperti kata Coldplay dalam Viva La Vida, never an honest word and that was when I ruled the world (tak pernah ada kata jujur dan saat itulah kukuasai dunia). Itulah kemungkinan terburuk yang terjadi bila publik tenggelam dalam gimik dan abai menagih gagasan kesejahteraan pada sang politisi pragmatis.
Pilihan kini ada pada masyarakat, tetap kritis menagih gagasan konkret atau mengibarkan bendera yellow atas kematian pertengkaran gagasan dalam pesta demokrasi.