Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Peluru Hampa Teriakan Genosida
19 Maret 2024 7:04 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Eduardus A Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi telah menyampaikan pernyataan lisannya di depan Mahkamah Internasional International Court of Justice (ICJ) Den Haag, pada Jumat 23 Februari kemarin.
ADVERTISEMENT
Retno menyinggung, bahwa rezim apartheid Israel melakukan kebijakan yang berbeda. Mereka menguntungkan para penduduk Yahudi (Jewish-Israeli Settler) dibandingkan dengan penduduk Palestina.
"Ini jelas merupakan pelanggaran hukum," seru Retno tegas.
Selain soal-soal apartheid tersebut, Retno juga memberikan pandangannya bahwa apa yang dilakukan Israel selama ini merupakan pelanggaran hukum internasional.
Menutup pandangan lisannya, sang menteri menyampaikan bahwa setiap manusia di atas muka bumi dilindungi hukum.
"Saya tegaskan bahwa tidak ada satu pun negara yang berada di atas hukum. Setiap manusia, tanpa kecuali, dilindungi oleh hukum," tutupnya.
Pernyataan Retno adalah bagian dari permintaan masukan dari ICJ, untuk menyusun fatwa hukum atas kasus genosida Israel atas rakyat Palestina. Kasus ini sendiri diajukan oleh Adila Hasim, yang mewakili Afrika Selatan.
Adila menggugat Israel atas pelanggaran pasal 2 Konvensi Genosida. Gugatannya bersumber pada setiap aksi Israel atas masyarakat Palestina sejak tanggal 7 Oktober sampai hari ini. Serangan militer bertubi-tubi, yang mengakibatkan ribuan korban jiwa melayang.
ADVERTISEMENT
Retno memang dimintai pendapat oleh ICJ, sebagai masukan untuk menyusun fatwa. Sementara Israel yang digugat Afrika Selatan adalah pihak yang berperkara. Dua negara terakhir adalah para pihak dalam Konvensi Genosida. Sementara Indonesia, adalah segelintir negara yang tidak termasuk dalam pihak-pihak yang ada dalam Konvensi Genosida itu. Lantas, apakah seruan Menteri Luar Negeri Indonesia ini jadi peluru hampa?
Konvensi Genosida
Kata Genosida pertama kali disebut oleh pengacara Polandia-Yahudi, Raphael Lemkin, pada tahun 1944 untuk mendeskripsikan politik Nazi terhadap Yahudi di Eropa selama perang dunia kedua, dan bagaimana pembasmian etnis Armenia oleh Kesultanan Utsmani pada perang dunia pertama.
Lemkin berjuang, agar genosida ini diadopsi jadi hukum internasional. Upayanya membuahkan hasil. Pada sidang umum PBB tahun 1946, muncul resolusi yang mengakui bahwa genosida adalah tindakan kriminal, dan dibutuhkan sebuah perjanjian yang mengikat dan menghukum para pelakunya. Maka, lahirlah Konvensi Genosida pada 12 Januari 1951.
ADVERTISEMENT
Konvensi tersebut menjelaskan soal tindakan genosida. Yang isinya, sebuah aksi yang bertujuan untuk menghancurkan kelompok tertentu, baik itu sebagian atau keseluruhan. Kelompok ini bisa didefinisikan sebagai kebangsaan, etnis, rasial, atau kelompok beragam.
Sementara kejahatan masuk dalam kriteria genosida, dapat diidentifikasi dari 5 jenis. Seperti pembunuhan terhadap kelompok tertentu, mengakibatkan kelompok ini mengalami cidera tubuh atau mental, merusak hidup suatu kelompok dengan tujuan untuk menghancurkan kelompok tersebut, mencegah kelahiran suatu kelompok, dan memisahkan anak-anak dari kelompok nya.
Sejak berlaku efektif pada 12 Januari 1951 hingga Desember 2019, 152 negara telah meratifikasi atau mengadopsi hukum ini. Termasuk Israel dan Afrika Selatan. Sehingga, mereka terikat dengan aturan-aturan yang berlaku pada Konvensi Genosida.
ADVERTISEMENT
Para pengacara Afrika Selatan yang mengajukan gugatan ke ICJ ini menuding Israel melakukan pembunuhan, merusak hidup orang Palestina di Gaza, serta mencegah kelahiran anak-anak Palestina.
Dalam proses sengketa internasional ini, Indonesia memenuhi syarat sebagai pihak yang bisa dimintai pendapat atau advisory opinion di ICJ. Aturan ICJ, seperti dikutip dari laman resminya, icj-cij.org, para pemberi pendapat adalah negara atau badan yang tergabung dalam organ PBB, dan dipandang oleh mahkamah ICJ, bisa memberikan informasi mengenai kasus yang tengah terjadi.
Sehingga meskipun belum jadi bagian yang terkait dalam konvensi genosida, Indonesia tetap punya kedudukan untuk menuding Israel telah melakukan genosida.
Indonesia dan Genosida
Indonesia, adalah sebagian kecil negara anggota PBB, yang sampai hari ini belum meratifikasi konvensi genosida. Negeri kita ini, bersama dengan Jepang dan Thailand adalah contoh wakil Asia yang belum meratifikasi konvensi tersebut. Posisi Indonesia kalah dengan Korea Utara, yang ternyata telah meratifikasi konvensi genosida pada 1989.
ADVERTISEMENT
Tapi, Indonesia mengadopsi aturan dari konvensi genosida tersebut pada UU no 26 tahun 2000, tentang pengadilan HAM. Pada pasal 8, Indonesia mengadopsi lengkap semua syarat-syarat peristiwa genosida yang terjadi.
Namun, Indonesia tetap saja tak bisa mengajukan gugatan terhadap negara, atau juga tak bisa digugat oleh negara mana pun jika terjadi suatu tindakan yang masuk kategori genosida.
Beberapa upaya telah dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil, seperti Amnesti Internasional atau Komnas HAM agar pemerintah mau meratifikasi konvensi genosida ini.
Annie Pohlman, dosen kajian Indonesia di Universitas Queensland, Brisbane sempat mencatat upaya tersebut.
Sejak dibentuknya Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) pada 1999, ratifikasi konvensi genosida telah diajukan (Pohlman, 2016).
ADVERTISEMENT
Upaya terus dilakukan terus diajukan, termasuk ratifikasi Statuta Roma pada tahun 2007 dan 2008, namun pemerintah sampai hari ini juga belum meratifikasi dua konvensi penting yang menyangkut HAM tersebut.
Padahal, sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia telah muncul sebagai kekuatan menengah yang kerap tampil di forum internasional khususnya mengenai kebebasan demokrasi dan HAM.
Dalam dokumen asesmen Responsibility to Protect (R2P) pada 2019, Indonesia juga menjadi negara ASEAN dengan index skor tertinggi yakni 56,5. R2P sendiri adalah prinsip dasar hubungan internasional untuk mencegah kejahatan berat yang dilakukan oleh otoritas negara, seperti pemusnahan massal, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dalam asesmen tersebut, Indonesia memiliki poin kuat ketika berbicara soal pencegahan risiko tindakan sewenang-wenang oleh otoritas negara, atau turut serta dalam operasi pasukan perdamaian PBB.
ADVERTISEMENT
Tapi, asesmen tersebut mencatat, agar mendapat poin yang lebih baik Indonesia mengimplementasikan rancang bangun konvensi genosida, dalam hukum negara. Agar terjadi pencegahan genosida yang lebih baik lagi.
Alasannya, asesmen tersebut mencatat masukan dari Amnesti Internasional yang melihat, meski Indonesia telah memasukkan kejahatan genosida dalam UU HAM, masih ada beberapa poin yang perlu dilengkapi di pengadilan. Tambahan perilaku yang menyebabkan genosida, seperti konspirasi untuk melakukan genosida, hasutan melakukan genosida hingga percobaan genosida seperti yang digarisbawahi pada pasal III konvensi genosida.
Asesmen R2P tersebut juga menempatkan Indonesia pada posisi yang lemah, terutama bagaimana Indonesia menyelesaikan urusan berkaitan dengan kekejaman masa lalu.
Jadi dengan kompleksitas genosida, dan gerak laju militer Israel yang kian menghancurkan Gaza, perlukah kita meratifikasi konvensi genosida sekarang juga?
ADVERTISEMENT