Konten dari Pengguna
Bernadya: Menyelami Kegagalan Cinta dan Mengenal Dialektika
28 Mei 2025 10:19 WIB
·
waktu baca 7 menitKiriman Pengguna
Bernadya: Menyelami Kegagalan Cinta dan Mengenal Dialektika
Drama melankolia sedang berlangsung, Bernadya diputar berulang kali, kutipan-kutipan galau jadi konsumsi.Navide Amaluna

Tulisan dari Navide Amaluna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pada mulanya saya menganggap cinta yang suci itu nyata. Tak tergerus waktu, tak terkikis jarak. Cinta itu sejati dan abadi, cinta terbebas dari nilai, dan cinta adalah perjuangan. Bukan hanya milik si kaya, namun cinta juga milik si miskin. Bukan hanya hak para bangsawan, sang jelata pun punya hak yang sama dalam cinta. Cinta adalah bahasa universal yang egaliter. Cinta itu mulia dan luhung. Namun... ternyata saya keliru. Semua yang saya pikirkan tentang cinta itu cuma pikiran picisan semata.
ADVERTISEMENT
Tetiba pada titik ini, saat saya meracau di kanal Kumparan.com, itu karena kegagalan cinta mengguncang jiwa, kegamangan dan kegelisahan melanda. Pikiran kusut, makan tak nafsu, minun tanpa makan bikin kembung perut. Haduh!
Baru kali ini, saya merasa kekecewaan yang terlalu akibat cinta. Mungkin karena saya sudah memproyeksikan masa depan dengan sang kekasih, saya mulai merancang rencana untuk berproses bersama, berbagi berkah dan keluh kesah sampai sepuh atau sampai diantara kami ada yang lebih dulu bertemu lahat.
Eh... secara sekejap semuanya lenyap, saat dia bilang ingin putus. Ketika jalinan kasih sedang baik-baik saja, dia menuntut untuk berpisah. Apa mau dirasa? Ya, tentu kalang kabut, saya pening kelabakan. Mungkin diantara kalian pun punya pengalaman serupa, dengan motif yang berbeda, namun intinya sama: Perasaan sedang sayang-sayangnya, sayangnya harus putus hubungan. Saya tersadar, pantas saja keputusasaan selalu datang dari korban patah hati, sampai titik ekstrimnya ada yang memutuskan bunuh diri.
ADVERTISEMENT
Tapi apa mau dikata, saya tidak bisa menahan yang hendak pergi beranjak. Tak habis pikir? Sudah pasti. Pertanyaan-pertanyaan liar menggerayangi pikiran saya, menuntut cari jawaban. Tiap malam saya coba terka yang terjadi. Tetap saja tidak teraba. Terbersit dalam renungan, mungkinkah rajut asmara yang kami jalin diawal hubungan hanya saya yang rasakan? apakah mungkin cinta saya bertepuk sebelah tangan? bisa jadi kalau selama kami jalin hubungan dia cuma pura-pura cinta? Entahlah, yang jelas kami tak lagi satu tujuan.
Perjumpaan dengan Dialektika
Drama melankolia sedang berlangsung, Bernadya diputar berulang kali, kutipan-kutipan galau jadi konsumsi. Di suasana tafakur yang mendayu, saya menemukan kutipan dari Heraklitus tentang segala sesuatu yang mengalir, oleh karenanya "kita tidak dapat melangkah di sungai yang sama untuk kedua kalinya". Sontak itu buat saya tersadar, kalau perubahan itu memang hukum alam, dan kegagalan cinta yang saya alami, memisahkan kami untuk mengairi anak-anak sungai yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Mengulik lebih jauh, saya menemukan prinsip dialektika Hegel, soal tesis, antitesis, dan sintesis. Proses yang seharusnya terjadi bukan hanya pada dunia akademik, tapi pada tiap-tiap unsur kehidupan yang penuh pertentangan. Proses dialektika dapat disederhanakan dengan analogi sebuah keluarga (yang terdiri dari suami, istri, dan anak). Dalam keluarga, si suami sebagai tesis dan istri sebagai antitesisnya. Kemudian, dari tahap pertentangan yang terjadi antara tesis dan antitesis, menghadirkan sintesis melalui anak yang secara langsung menggugurkan konsep pertentangan antara suami (kini, selaku ayah dari si anak) dan istri (sebagai ibu dari si anak). Hegel menyebut kedudukan dalam tragedi tersebut aufgehoben (sublated dalam bahasa inggris), merujuk pada sesuatu yang telah gugur, ditiadakan, dicabut, atau sudah berlalu.
ADVERTISEMENT
Proses dialektika tersebut terus berulang sampai si anak menjadi dewasa, kemudian menikah dengan sosok yang dikehendaki, lantas melahirkan buah hati. Maka melalui konsep dialektikanya, Hegel mempunyai perhatian lebih kepada sejarah. Lantas, sampai pada tahap apa dialektika ini selesai?
Kegagalan Cinta
Perubahan dan pertentangan merupakan asas alamiah yang membentuk entitas baru dengan kesadaran. Dalam setiap unsur kehidupan, bahkan dalam diri si mantan yang memutuskan untuk pergi meninggalkan saya dengan segudang kekecewaan, huft!
ADVERTISEMENT
Saya dengan tesis cinta dan tujuan hidup bersamanya ditentang oleh dia yang mengilhami perpisahan sebagai anti-tesisnya. Sehingga, menghasilkan sintesis, saya yang merelakannya pergi dan belajar untuk mengikhlaskan kepergiannya. Sebagai konklusi? Saya belum tahu, dari semua rumusan masalah yang terjadi akan membentuk saya menjadi apa. Namun, perjalanan tesis dan antitesis diawal telah gugur menghadirkan keadaan perpisahan antara saya sebagai subjek-aku dan si mantan sebagai non-aku (konsep Idealisme Fitzche, yang mengilhami teori Idealisme Hegel). Sintesis saya belum sampai pada tahap menjadi thesis kembali. Fenomena sirkular itu yang sering terabaikan oleh saya, sehingga sulit bagi saya menerima perubahan dan pertentangan yang dialami. Saat ini, saya masih mendalami dialektika agar bisa sampai pada tahap roh absolut yang dimaksud Hegel. Saya mencoba jadikan dialektika sebagai prinsip hidup untuk bisa terus menapakinya dengan gagah berani.
ADVERTISEMENT
Kalau kata Bernadya, apapun yang dialami, "Untung bumi masih berputar".
Bernadya Hegelian?
Dalam proses permenungan, lagu Bernadya tak berhenti berputar. Mungkin sudah hampir satu album usai terulang. Seketika saya mengernyitkan dahi karena lirik-lirik yang terdengar, mulai dari lagu Kata Mereka Ini Berlebihan, Satu Bulan, sampai Untungnya, Hidup Harus Tetap Berjalan serupa menginterpretasikan proses dialektika Hegel. Kok bisa?! Pikiran saya teralih, yang mulanya mengenang masa-masa silam bersama si mantan malah menyebrang ke tafsiran larik per larik lirik galau lagu Bernadya. Apa mungkin Bernadya itu Hegelian? Mari kita telisik.
Mulai dari lagu Kata Mereka Ini Berlebihan terdapat larik, " Kutak pernah ikat rambutku lagi semenjak kau bilang, rambutku indah bila terurai panjang" kutipan itu menggambarkan sosok aku yang mulanya sering mengikat rambut (sebagai tesis), lalu pasangannya menyarankan kalau rambutnya lebih baik jika terurai (sebagai antitesis) yang kemudian menghadirkan sosok aku yang tak pernah mengikat rambutnya lagi (sebagai sintesis). Bukan kah itu proses dialektika?
ADVERTISEMENT
Kemudian, di lagu Satu bulan, dalam lirik chorus, "sudah adakah yang gantikanku, yang kau antar jemput setiap Sabtu, bercerita tentang apapun sampai hal-hal tak perlu" menandai proses dialektika bersifat repetitif, kembali terulang namun dalam tahapan dan tingkatan yang baru. Hegel menyebutnya aufgehoben (sublated) atau ditiadakan, dicabut, lebih sederhananya merujuk pada proses yang sudah lewat. Hal tersebut dapat ditilik dalam frasa "sudah adakah" yang menandai kalau keterangan penjelas dibelakangnya, "...yang gantikanku, yang kau antar jemput setiap sabtu, bercerita tentang apapun sampai hal-hal tak perlu" merupakan kejadian masa lampau. Kedudukan aku dan seluruh kegiatan yang dilakukan di masa silam pada lirik tersebut dalam dialektika dianggap sebagai aufgehoben, realitas yang melangkah, sudah berlalu, melaju, akhirnya menghadirkan sejarah.
ADVERTISEMENT
Ada pun pada lagu Untungnya Hidup Harus Tetap Berjalan dalam bagian chorus lagu yang berbunyi, "Untungnya bumi masih berputar, Untungnya ku tak pilih menyerah" menginterpretasikan proses dialektika yang sudah pada tahap kesadaran terhadap realitas (ideal). Kata "untungnya" menandai kehadiran rasio yang mengkalkulasikan seluruh realitas yang telah dilalui sosok "aku" sehingga sampai pada tahap konklusi bahwa hidup harus tetap berjalan. fenomena dalam lirik tersebut menjelaskan bahwa sosok "aku" dalam dialektika Hegel merujuk roh telah melalui perjalanan dan sampai pada titik kesadaran bahwa "bumi masih berputar". Titik kesadaran tersebut yang menjadikan roh sampai pada keadaan absolut.
Teringat saya pada kutipan populer dari Hegel, "Semuanya yang riil bersifat rasional dan semua yang rasional bersifat riil" Lalu apa hubungan dengan bahasan lirik Bernadya di atas? Bernadya menyajikan lirik romantika yang ringan, menyematkan proses dialektika secara sederhana dan berelasi dengan realitas mengindikasikan kalau Bernadya sebagai manusia (roh) telah sampai pada tahap kesadaran rasionalnya atas realitas, pun sebaliknya, realitas yang telah dilalui adalah hasil dari rasionya (ide). Simpulannya, kesadaran Bernadya (ide) sebagai bagian dari alam (roh) sudah pada tahap kesadaran penuh (absolut). Lantas apakah Bernadya seorang Hegelian? Entahlah, mungkin melalui tulisan ini Bernadya melirik saya, lalu menghubungi saya secara pribadi, sehingga saya dapat konfirmasi langsung pada yang bersangkutan sembari menawarkan diri buat susun tesis, antitesis, dan sintesis bersama sampai pada tahap aufgehoben (analogi keluarga).
ADVERTISEMENT
Dengan kerendahan hati, saya berharap doa restu dari kawan-kawan, hikshiks.
Sudah lah, saya cukupkan saja. Takut angan saya melesat cepat serupa whooshnya KCIC, ups…
Mohon maaf, bila mana ngawurnya kelewat batas. Harap dimaklum, wong namanya juga sing ra waras hehehe.