Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Max Havelaar: Bentuk Simpati atau Luapan Sakit Hati?
25 Desember 2024 13:11 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Edvian Ferdhika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menguak tabir dari proses kreatif sang pemilik karya besar dunia abad 19 yaitu Max Havelaar, bukan menjadi hal yang baru. Dalam dunia sejarah, penobatan 'Pahlawan' kepada Multatuli menjadi polemik yang belum terpecahkan sampai saat ini. Banyak ahli sejarah yang tidak setuju dengan glamoritas namanya di Indonesia, terlebih dengan ‘embel-embel’ sebagai pahlawan kebebasan kolonialisme. Namun, tak sedikit pula, sejarawan yang setuju atas keagungan namanya dan jasanya yang luhung dalam kemerdekaan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Karya roman populer ini, menangkap kisah penderitaan masyarakat tanah jajahan Hindia-Belanda di Rangkasbitung sebagai pusat keresidenan Banten, atas penerapan culture stelsel (tanam paksa) yang diberlakukan. Suatu keajaiban terjadi pada pencipataan novel yang hanya dikarang selama sebulan pada tahun 1859 oleh sang mpu karya, Multatuli. Selang setahun kemudian, karya ini terbit untuk pertama kalinya dan seketika mencuri perhatian kaum Eropa atas praktik kekejian Kolonialisme dan Imperialisme. Sehingga tercetuslan sistem penjajahan baru yang disebut “politik etis” ala imperium Inggris sebagai respon dari kekejian praktik tanam paksa. Tetap saja, dengan apapun itu disebut, penjahan adalah pencideraan hak-hak manusia yang seharusnya bebas merdeka.
Perjalanan Hidup "Si Paling Menderita"
Multatuli merupakan nama pena dari penulis kelahiran Belanda 2 Maret 1820, memiliki nama asli Eduard Douwes Dekker. Kata "Multatuli" sendiri diambil dari bahasa latin yang berarti "aku yang menderita". Penderitaan siapa yang mengantarkan Multatuli menulis buku Max Havelaar? Ya… tentu penderitaan masyarakat jajahan negeri tulip tersebut.
ADVERTISEMENT
Anak seorang kapten kapal itu, pergi ke pulau Jawa pada tahun 1838 dan pada 1839 tiba di Batavia sebagai seorang kelasi yang belum berpengalaman di kapal ayahnya. Dengan bantuan dari relasi-relasi ayahnya, tidak berapa lama Eduard (panggilan kecil Multatuli) memiliki pekerjaan sebagai pegawai negeri (ambtenaar) di kantor Pengawasan Keuangan Batavia.
Tiga tahun kemudian ia melamar pekerjaan sebagai ambtenaar pamong praja di Sumatera Barat dan oleh Gubernur Jenderal Andreas Victor Michiels ia dikirim ke kota Natal yang saat itu terpencil sebagai seorang kontrolir. Karena sikapnya yang mengabaikan peringatan-peringatan dari atasannya, serta adanya kerugian kas pemerintahan Multatuli pun diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Gubernur Sumatera Barat Jendral Michiels. Dalam perjalanan karier selanjutnya, Multatuli diangkat menjadi sekretaris residen di Manado akhir April 1849 yang merupakan masa-masa karir terbaiknya. Multatuli merasa cocok dengan residen Scherius yang menjadi atasannya sehingga ia mendapat perhatian para pejabat di Bogor, di antaranya karena pendapatnya yang progresif mengenai rancangan peraturan guna perubahan dalam sistem hukum kolonial. Karirnya meningkat menjadi asisten residen, yang merupakan karier nomor dua paling tinggi di kalangan ambtenaar Hindia Belanda saat itu. Multatuli menerima jabatan ini dan ditugaskan di Ambon pada Februari 1851.
ADVERTISEMENT
Rangkasbitung dan Penderitaan
Menjadi seorang asisten residen di bumi Hindia Belanda, mengantarkannya ke Rangkasbitung, salah satu kantor cabang keresidenan Banten. Pada Januari 1856, Multatuli ditugaskan untuk menjadi asisten residen di Lebak. Multatuli melaksanakan tugasnya dengan cukup baik dan bertanggung jawab. Namun ternyata, dia menjumpai keadaan di Lebak yang sesungguhnya sangat buruk bahkan lebih buruk daripada berita-berita yang didapatnya. Bupati yang menjadi pemimpin pemerintahan di kalangan bumiputera dengan sistem hak waris telah memegang kekuasaan selama 30 tahun. Ternyata dalam keadaan kesulitan keuangan yang cukup parah lantaran pengeluaran rumah tangganya lebih besar dari penghasilan yang diperoleh dari jabatannya. Dengan demikian, bupati Lebak hanya bisa mengandalkan pemasukan dari kerja rodi yang diwajibkan kepada penduduk distriknya berdasarkan kebiasaan.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa fenomena, Multatuli menemukan fakta bahwa kerja rodi yang dibebankan pada rakyat distrik telah melampaui batas bahkan menjumpai praktik-praktik pemerasan yang dilakukan oleh Bupati Lebak dan para pejabatnya dengan meminta hasil bumi dan ternak kepada rakyatnya. Lewat rasa keprihatinannya terhadap penderitaan yang dialami orang-orang pribumi di Rangkasbitung, Multatuli menulis surat kepada atasannya, residen C.P. Brest van Kempen dengan penuh emosi atas kejadian-kejadian di wilayahnya. Multatuli meminta agar bupati dan putra-putranya ditahan serta situasi yang tidak beres tersebut diselidiki. Atasannya, Brest van Kempen sangat terkejut dengan berita yang dikirimkan Multatuli sehingga mengadakan pemeriksaan di tempat, tetapi menolak permintaan Multatuli untuk memberhentikan jabatan Bupati Lebak dan menghukum bersama putra-putranya.
Atas dasar kekecewaan terhadap permohonannya yang ditolak itu, membuat Multatuli bentrok dengan pemimpinnya, dan untuk kesekian kalinya Multatuli diberhentikan dari pekerjaannya. Setelah jejak buruknya di Hindia Belanda, pemerintahan Hindia Belanda tidak mempercayai Multatuli untuk bisa bekerja lagi di pemerintahan, sehingga ia pun mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan, dan memutuskan untuk pergi ke Eropa untuk bekerja. Lewat dendam kesumat Multatuli terhadap perlakuan pemerintah Hindia-Belanda kepada dirinya, melatar belakangi Multatuli mulai menulis dan mengumpulkan manuskrip-manuskrip pada saat bekerja sebagai ambtenaar, yang kelak melahirkan Max Havelaar.
ADVERTISEMENT
Di tahun 1860, Max Havelaar berhasil diterbitkan. Novel ini terbit dalam bahasa Belanda dengan judul asli Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij ("Max Havelaar, atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda"). Roman ini ditulis oleh Multatuli hanya dalam tempo sebulan pada 1859 di sebuah losmen di Belgia. Di Indonesia, karya ini sangat dihargai karena untuk pertama kalinya inilah karya yang dengan jelas dan lantang membeberkan nasib buruk rakyat yang dijajah. Pada kancah dunia, novel ini menjadi landasan para kelompok sosialis sebagai rujukan untuk menghapuskan sistem penjajahan yang berlandaskan imperialisme berubah menjadi liberalisme. Hermann Hesse dalam bukunya berjudul: Die Welt Bibliothek (Perpustakaan Dunia) memasukkan Max Havelaar dalam deret buku bacaan yang sangat dikaguminya. Bahkan Max Havelaar sekarang menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah di Belanda.
ADVERTISEMENT
Kritik untuk Max Havelaar
Mengutip dari sosial media milik Saut Situmorang, "Max Havelaar was not written as a form of protest against the colonial government whose actions crossed the line, but it was rather a protest against the colonial government which was considered to be less strict in implementing its policies. The main point of criticism in Max Havelaar was that the attitude of the Dutch East Indies colonial government was weak towards its colony!" sahutnya di laman Facebook (8 Oktober 2021). Kritikus sastra itu menyimpulkan bahwa, Max Havelaar bukan merupakan karya sastra satire tentang sikap protes Multatuli terhadap perlakuan pemerintah kolonial yang berlebihan, tetapi merupakan bentuk protes terhadap perlakuan pemerintah kolonial yang kurang tegas kepada koloninya.
ADVERTISEMENT
Tidak ada yang tahu persis tujuan dibalik penciptaan Max Havelaar. Entah bentuk rasa empati dan humanis terhadap perlakuan biadab kolonialisme dan imperialisme, atau bentuk protes ajang balas dendam Multatuli terhadap perlakuan pemerintah Hindia-Belanda. Itu semua merupakan rahasia semesta, dan yang mengetahui niatan sesungguhnya hanyalah Tuhan dan penulisnya sendiri, 'si paling menderita'.
Saya, yang sejak lahir dan sampai saat ini mendiami tanah persinggahan Multatuli. Merasa terhormat memiliki profil semegah namanya. Kendati demikian, saya kurang setuju dengan pengkultusan berlebih yang terjadi. Pengantar sejarah dan pengenalan profil pahlawan lokal dari saat saya menduduki bangku sekolah dasar sampai SMA, tidak lain, hanya Multatuli saja. Entah mungkin pada masa penjajahan masyarakat Rangkasbitung sudah berdamai dengan penderitaan, atau memang ketidaktahuan itu terjadi akibat keagungan nama Multatuli yang berhasil menimbunnya. Sehingga pahlawan bumiputera tersubordinasi oleh Multatuli sebagai superordinatnya. Entahlah, saya belum dapat petunjuk.
ADVERTISEMENT
Sebagai bekas masyarakat jajahan yang memperjuangkan kemerdekaan penuh peluh dan keluh, seharusnya masyarakat Indonesia lebih bijak dalam menyikapi karya milik Multatuli. Disatu sisi memang tidak bisa dipungkiri ada jasa Multatuli yang turut serta dalam memberantas kekejian bangsa penjajah di tanah jajahan. Namun, penjajah tetaplah penjajah dan tidak ada pembenaran atas dasar apapun perihal kekerasan. Multatuli lahir dari darah seorang Belanda, besar dan tumbuh di tanah Belanda, dan datang ke Indonesia sebagai bagian dari pemerintahan Hindia-Belanda. Jadi, apakah Multatuli layak dinobatkan sebagai 'PAHLAWAN'? dan karyanya, Max Havelaar, terbebas dari orkestrasi sakit hati sang mantan Asisten Residen?
Selamat berkontemplasi.