Konten dari Pengguna

Keunikan Konsep Iitoko Dori dari Jepang

Edward Natanael
Student of Airlangga University Faculty of Humanities Japanese Study 2022
2 Oktober 2024 15:27 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Edward Natanael tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Source: Canva
zoom-in-whitePerbesar
Source: Canva
ADVERTISEMENT
Jepang merupakan salah satu negara maju di Asia, bahkan di dunia. Tentunya Jepang menjadi negara maju seperti sekarang tidak dalam waktu yang sebentar, membutuhkan perjuangan yang tidak mudah. Dalam perjalanannya menjadi negara maju, terdapat banyak faktor yang berpengaruh, salah satunya adalah iitoko dori. Dalam artikel ini akan menelaah konsep dari iitoko dori ini.
ADVERTISEMENT
Dewasa ini, budaya asing yang masuk ke Jepang dan mempengaruhi budaya Jepang tersebut nampak dalam beberapa hal antara lain dalam manga, anime dan musik. Budaya asing ini nampaknya mudah masuk dan diadopsi oleh masyarakat Jepang menjadi suatu identitas budaya baru dalam masyarakat Jepang.
Keberhasilan Jepang dalam mengadopsi budaya asing dikarenakan Jepang memiliki suatu konsep budaya yang disebut dengan iitoko dori (いいとこ取り). Iitoko dori (いいとこ取り) memiliki arti, mengadaptasi elemen dari luar negeri (Japanese mind 2002:127).
Tidak sekadar mengadaptasi, Jepang mengambil bagian yang baik dari budaya asing tersebut, dan juga transformasi unsur budaya asing ini tidak dilakukan secara keseluruhan melainkan disesuaikan terlebih dahulu dengan nilai-nilai budaya Jepang yang sudah ada sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Contohnya modifikasi dalam konsep idol dan genre musik rock yang berasal dari Amerika. Idol atau aidoru (アイド ル) adalah istilah yang pada mulanya dipakai untuk menyebutkan istilah artis luar negeri. Selain itu, iitoko dori tidak hanya mengambil budaya asing dan menyesuaikannya dengan nilai-nilai budaya Jepang namun juga mengembangkannya menjadi lebih maju.
Pendeta Shinto Jepang tampak berjalan ke kuil Foto: REUTERS/Kim Kyung-Hoon
Konsep iitoko-dori ini dipengaruhi juga oleh faktor keagamaan, atau kepercayaan dalam masyarakat Jepang. Dalam Shinto, kepercayaan yang dianut oleh mayoritas masyarakat Jepang pada saat itu terdapat konsep mempercayai benda-benda yang terdapat di alam karena mereka mempercayai benda-benda tersebut mempunyai dewa.
Kepercayaan ini juga terdapat di Indonesia, yang dikenal dengan nama animisme. Hal yang perlu diperhatikan adalah, Shinto tidak memiliki nilai absolut seperti agama lain, sehingga Shinto dapat berbaur dengan nilai-nilai atau budaya-budaya asing lain yang memasuki Jepang.
ADVERTISEMENT
Pada abad ke-6, masuklah sistem keagamaan lain yang lebih rumit dari Shinto, yaitu Buddha. Seiring berjalannya waktu, masyarakat Jepang menyadari bahwa jika mereka mempercayai Buddha, maka kekuasaan kaisar akan berkurang, dikarenakan sistem yang membuat kekuasaan kaisar bertahan selama ini adalah kepercayaan dari Shinto, bukan Buddha. Hal ini menimbulkan masalah bukan hanya bagi keluarga kaisar, namun bagi sistem politik di Jepang pada saat itu.
Kaisar Naruhito secara resmi menyatakan kenaikannya ke Tahta Krisan saat upacara penobatan di Istana Kekaisaran di Tokyo, Selasa (22/10/2019). Foto: AFP/ISSEI KATO
Pada abad ke-7, Pangeran Shutoku, yang merupakan keponakan dari Kaisar Suiko, mengambil alih kekuasaan dan menemukan cara agar Buddha dan juga sistem kekaisaran ini bisa berbaur, dengan menggabungkan keduanya dengan sistem kepercayaan lain yang diadopsi dari China bernama Konfusianisme. Shinto is the trunk, Buddhism is the branches, and Confucianism is the leaves” (Sakaiya, 1991, p. 140). Ungkapan tersebut bila diterjemahkan menjadi “Shinto adalah batang, Buddha adalah ranting, dan Konfusianisme adalah daun”.
ADVERTISEMENT
Dengan mengikuti sistem tersebut, Jepang dapat menerima agama dan filosofi baru ini, serta nilai budaya dan teknik maju yang dibawa oleh budaya-budaya asing tersebut. Dengan begitu, pertentangan antara dua kepercayaan ini menghilang, yang berdampak bagus pada cara pendekatan Jepang pada abad-abad selanjutnya.
Tidak hanya Jepang mampu menerima budaya baru dari negara lain tanpa adanya prasangka, namun Jepang bisa mengadopsi hal yang paling berguna dari budaya asing tersebut. Karena itulah, iitoko dori ini berperan penting dalam proses Jepang menjadi negara maju seperti sekarang.
Source: Canva
Contoh nyata terdapat pada pabrik Tomioka. Pada tahun 1868, Jepang mengadopsi teknik pemintalan baru dari Prancis, dan pada tahun 1873, sebuah model pabrik di Tomioka dibangun.
ADVERTISEMENT
Semuanya diimpor, tidak hanya itu desain dan mesin tetapi juga batu bata untuk bangunan, meja, kursi, dan sebagainya. Selain itu, teknisi Prancis dipekerjakan, dan pekerja Jepang menirunya.
Seiring berjalannya waktu, mereka mencoba untuk “mengejar dan melampaui” pencipta model yang mereka adopsi, dan empat puluh tahun kemudian, pada tahun 1910, Jepang berhasil mengalahkan Prancis dan mampu mengekspor sutra ke luar negeri. Pabrik Tomioka juga merupakan contoh representatif transformasi perekonomian Jepang dari pertanian ke industri.
Melalui proses iitoko-dori, elemen paling efektif teknologi Barat dibawa ke Jepang dan dibuat sendiri, sehingga memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap modernisasi negara. Di sisi lain, masyarakat tampaknya kurang memikirkan dampak konsekuensi dari adaptasi teknologi ini, dan sebagai akibatnya, kerusakan lingkungan di Jepang meningkat begitu mengkhawatirkan sehingga banyak kritikus memperkirakan bencana serius akan terjadi.
ADVERTISEMENT
Jadi, meskipun orang Jepang sangat ingin mengadopsi budaya Barat, terutama dalam hal ilmu pengetahuan dan bisnis, mereka menyadari bahwa menggunakan teknologi secara membabi buta, semacam iitoko-dori yang tidak seimbang, juga akan mengakibatkan banyak masalah lingkungan dan sosial.
Orang-orang di Jepang sering kali mendapati diri mereka berada dalam posisi yang tidak biasa menganut dua agama atau lebih secara bersamaan. Iitoko-dori, merujuk secara khusus pada proses menerima bagian-bagian yang sesuai dari sistem nilai keagamaan yang berbeda, dan terkadang bertentangan, dan praktik ini telah lama tersebar luas di Jepang.
Di zaman modern, Sakaiya (ibid., p. 144) mencatat bahwa jumlah orang Jepang yang tidak mengaku mengikuti beberapa bentuk iitoko-dori hanya sekitar 0,5 persen dari populasi. Namun proses iitoko-dori yang bersifat relatif daripada sistem nilai etika yang mutlak, juga telah menghasilkan seri konsekuensi negatifnya. Misalnya saja banyak pelajar Jepang tidak akan menentang pelaku intimidasi dan menghentikan mereka untuk menyakiti siswa yang lebih lemah.
ADVERTISEMENT
Sekalipun mereka tahu bahwa penindasan itu salah, mereka tidak mau menentang hal tersebut dan membela keyakinan mereka, karena mereka takut untuk berbicara secara terbuka tanpa konsensus kelompok untuk mendukung mereka. Dengan kata lain, di Jepang, meskipun orang tahu ada yang tidak beres, terkadang sulit bagi mereka untuk mempertahankan prinsip mereka, karena daripada bersifat absolut, prinsip-prinsip ini bersifat relatif dan mudah diubah, tergantung pada situasi dan tuntutan kelompok.
Iitoko-dori, yang berarti "mengambil bagian terbaik," merupakan fenomena yang muncul sejak awal sejarah Jepang dan telah mempengaruhi cara berpikir masyarakat Jepang. Proses ini melibatkan pengadopsian elemen-elemen positif dari budaya asing, yang berkontribusi pada kebangkitan ekonomi Jepang melalui penerapan teknologi baru.
Meskipun iitoko dori telah memperkuat identitas budaya Jepang dan memfasilitasi modernisasi, dampak negatifnya terhadap lingkungan dan kehidupan sosial sering kali terabaikan. Selain itu, nilai-nilai etika yang dihasilkan dari iitoko-dori terlihat dalam rendahnya konflik agama di Jepang, meskipun hal ini juga menyulitkan masyarakat untuk melawan ketidakadilan.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, penting untuk melakukan evaluasi lebih mendalam terhadap konsekuensi dari pengambilan elemen-elemen budaya asing ini dalam konteks kehidupan masyarakat Jepang dan global.