Sudahi Golputisasi

Edwien Satya
minum kopi, nonton film, jalan-jalan, kadang-kadang kerja juga
Konten dari Pengguna
24 Februari 2019 22:43 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Edwien Satya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Jatuh bangunnya negara ini sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekedar nama dan gambar seuntaian pulau di peta."
ADVERTISEMENT
Muhammad Athar (Bung Hatta)
Dua Empat – Sembilan – Sembilan Sembilan
Aku ingat, pagi itu udara sedikit mendung ketika kakiku memasuki halaman kampus. Saat itu baru sekitar sebulan terdaftar sebagai mahasiswa yang berkampus di lokasi strategis, di pusat kota metropolitan Jakarta, beberapa langkah dari jembatan Semanggi. Tanggalan di jam analog yang melingkar di pergelangan tangan kiri, menunjukkan angka dua puluh empat. Tidak ada indikator untuk bulan dan tahunnya.
Masih pagi, kelas belum dimulai. Banyak sekali pria berkepala plontos yang nongkrong di Hall-C, Fakultas Ekonomi. Bukan trend, itu bekas ospek. Jadi kami botak karena paksaan. Bukan trend, bukan mode.
Tak selang lama, datang wajah-wajah familiar. Sepatah dua patah kata kemudian, kami beranjak masuk kelas. Tapi aku tidak ingat mata kuliah apa. Mungkin hari itu aku tidak terlalu peduli terhadap perkuliahan. Dalam beberapa minggu terakhir di bulan September tahun 1999, ada kegalauan yang menyelimuti pikiranku. Mungkin bukan hanya aku semata yang galau. Walau tak nampak, namun ada keresahan yang memeluk kampus kami waktu itu. Mungkin bukan hanya kampusku yang semata resah. Mungkin keresahan itu juga bersarang di kampus-kampus lainnya di Jakarta. Mungkin tidak hanya di Ibukota.
ADVERTISEMENT
Padahal waktu kita sudah melakukan reformasi politik. Tapi generasi muda belum puas. Reformasi belum tuntas. Masih ada yang belum pas.
Aku ingat, hari itu kuliah tidak berlangsung lama. Kami diinstruksikan untuk pulang. Situasi memanas lagi. Teman-teman mahasiswa dari berbagai kampus, berbagai forum, beranjak menuju gedung MPR. Tempat yang sama tahun lalu. Bawa bendera, bawa semangat tuntaskan reformasi. Terus aku mesti pulang? Haha, gak lah ya!
Suasana berkumpulnya para mahasiswa di Semanggi (Doc. Famred)
Sejurus kemudian, mengenakan jaket kampus berwarna oranye, masih baru sebulan, bersama beberapa teman, kami sudah berjalan bersama ribuan mahasiswa lain menuju gedung MPR. Ribuan jiwa muda mengenakan jaket beragam warna, melebur warnai semangat kami, dengan satu tujuan. Generasi X bersatu. Tuntaskan reformasi!
X & Y
ADVERTISEMENT
Hari ini, dua dekade setelah Tragedi Semanggi II, Indonesia sudah berubah banyak. Secara politik lebih baik, secara ekonomi lebih maju, merah putih sudah berkibar kencang di panggung internasional. Indonesia sudah raya. Tapi jangan lengah kawan. Kita masih punya banyak “musuh”.
Berbagai isu intermestik, gangguan keamanan dan stabilitas nasional, secara terus menerus mengguncang tanah tercinta ini. Kompetisi strategis antara negara super power membawa dampak bagi negara-negara lainnya. Di Indonesia, kita sebentar lagi akan menggelar pesta demokrasi bertajuk Pemilihan Umum. Gaung pesta tersebut biasanya menciptakan gelombang hoax dengan menyebar disinformasi dan misinformasi yang dapat menguji kekuatan rantai persaudaraan kita. Dengan menunggangi berbagai platform sosial media, pasukan hoax menyerbu secara masif dari balik layar gadget kesayangan kita.
ADVERTISEMENT
Berbagai gangguan tersebut bila dibiarkan, berpotensi menggerogoti pilar-pilar reformasi yang telah ditanam dengan semangat, solidaritas, dan darah para Generasi X. Generasi yang bertekad untuk menciptakan Indonesia sebagai negara demokrasi yang besar, Indonesia yang dinakhodai oleh Pemerintah yang bersih, Pemerintah yang menjalankan prinsip good governance. Ibarat sepasang sayap, para millennials atau Generasi Y kini harus terbang seirama dengan Generasi X, bersama mengepakkan dukungan untuk menjaga stabilitas negeri, agar dapat terus terbang ke atas. Semangat reformasi harus kita jaga, minimal dengan pengawasan dan kepedulian kita terhadap Pemerintah. Generasi muda memiliki kekuatan untuk membentuk arah negara.
Berapa sih jumlah generasi muda di Indonesia? Dari total penduduk Indonesia sebesar 265 juta orang (proyeksi Bapennas tahun 2018), Generasi X (kelahiran 1965 – 1980) berjumlah sekitar 53 juta orang dan Generasi Y (kelahiran 1980 – 2000) berjumlah sekitar 83 juta orang. Sebagai gambaran, berdasarkan data World Population Prospect untuk tahun 2017 yang disusun oleh PBB, jumlah penduduk Jerman adalah 82,1 juta orang, Turki berjumlah 80,7 juta orang, dan Inggris adalah 66,2 juta orang. Besar sekali bukan, jumlah para millenials di Indonesia? Jadi Generasi X dan Y ini memiliki potensi kekuatan suara yang luar biasa untuk mengubah atau membuat Indonesia selalu menjadi lebih baik.
Sumber: KPU RI
Nah alangkah sayangnya bila kekuatan besar ini tak acuh untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi. Di saat banyak negara di Asia berkaca pada Indonesia untuk menerapkan sistem demokrasi yang damai, sudah sepatutnya kita memberi contoh kepada saudara-saudara dekat kita kan?
ADVERTISEMENT
Apalagi sebentar lagi kita akan menyelenggarakan Pemilu serentak. Akan banyak “CCTV“ dari negara-negara tetangga mengarah ke kita. Siapkah kita menjadi panutan? Siapkah Generasi X dan Y untuk melaksanakan perannya dalam mengawal arah demokrasi ke jalan yang baik?
Golongan Putih
Catatan demokrasi Indonesia memang penuh warna. Salah satunya adalah warna putih, yang diusung oleh golongan orang yang memilih untuk tidak memilih. Ya, itu pilihan mereka. Memilih adalah hak. Makanya disebut sebagai hak pilih, bukan wajib pilih.
Namun kok rasanya nuansa putih semakin mewarnai ajang Pemilu di Indonesia. Tidak percaya? Komisi Pemilihan Umum punya data mengenai fenomena golput ini:
- Pilpres 2004 (putaran 1 dan 2): 23,4% dan 21,18%
- Pilpres 2014: 29,1%
ADVERTISEMENT
- Pilkada 2014: 30,86%
Kok naik terus? Ini sebuah tren yang harus kita tekan. Yuk, kita peduli demokrasi. Peduli masa depan bangsa. Seperti kata Bung Karno, Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah. Ya, jasmerah. Jangan lupa sejarah perjuangan para senior kita. Namun kita juga bisa membenamkan nama kita dalam sejarah untuk diingat para junior kita.
Yuk, kawan, kita jalan, aku tahu kamu letih, tapi kita belum sampai ke tujuan.
Sumber: KPU RI