Konten dari Pengguna

Ongkos Demokrasi

Dr Edy Purwo Saputro SE MSi
Dosen di Program Pascasarjana dan Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta - Solo
4 September 2023 20:22 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dr Edy Purwo Saputro SE MSi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi ongkos demokrasi. Foto: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ongkos demokrasi. Foto: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
Pesta demokrasi identik dengan situasi kemeriahan dan fakta kemeriahan itu sendiri tidak dapat lepas dari kebutuhan pendanaan yang tidak kecil. Di satu sisi, peserta demokrasi harus mampu menyediakan "amunisi" yang sangat besar.
ADVERTISEMENT
Identifikasinya dimulai dari restu sang ketua partai politik (parpol) untuk mendapatkan izin maju sebagai caleg dan atau capres. Hal itu berlanjut lagi untuk ongkos demokrasi lainnya, termasuk misal ongkos operasional pemenangan untuk bertarung di dapil masing-masing dan atau menggembirakan konstituennya di daerahnya.
Ongkos itu belum termasuk aktivitas serangan fajar yang terkadang jauh lebih manjur-mujarab dibanding kegiatan kampanye yang terjadwal oleh KPU-KPUD. Oleh karena itu kalkulasi bagi para petarung di pesta demokrasi tidak lagi hitungan ratusan juta tetapi bisa mencapai miliaran.
Jadi, wajar saja jika kemudian ada beberapa kandidat caleg yang akhirnya menjadi "gila", baik gila karena gagal ataupun juga gila karena harus balik modal.
Gila untuk urusan balik modal ternyata tidak hanya urusan kepentingan pribadi tapi juga untuk operasional parpol. Oleh karena itu bukan rahasia lagi jika kemudian ada beberapa kader parpol (kemudian sering disebut petugas partai) yang akhirnya terjerat OTT KPK.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, hampir semua parpol menyisakan kadernya yang terjerat OTT KPK dan dana yang dikorup tidak lagi ratusan juta, tapi ratusan miliar. Selain itu, kegilaan lagi mereka ketika sudah jadi yaitu membangun dinasti politik dan politik dinasti. Hebatnya, mereka terus berusaha membangun dan mempertahankan dinasti politik dan politik dinasti agar terus abadi menguasai daerah.
Pembahasan seputar mahalnya ongkos demokrasi bukan hanya kepada caleg atau capres tapi juga tahapan pengamanannya. Terkait ini, aparat mendapatkan pagu anggaran untuk pengamanan pesta demokrasi 2024 sebesar Rp 114,8 triliun dan diyakini masih kurang sehingga membutuhkan tambahan anggaran Rp 12,4 triliun lagi.
Tambahan itu ternyata sedang diajukan ke Kemenkeu dan Kementerian PPN atau Bappenas. Rincian tambahan itu adalah Rp 4,5 triliun untuk gaji pegawai baru lulusan 2023 dan pembiayaan tunjangan kinerja 80 persen dan Rp 7,5 triliun untuk meningkatkan operasional terutama di saat Pemilu 2024.
ADVERTISEMENT
Argumen yang mendasari adalah pilpres dua putaran dan berlanjut pilkada 2024. Di sisi lain, potensi kerusuhan, gangguan kamtibmas serta terorisme yang bisa saja terjadi.
Pesta demokrasi lima tahunan ternyata memang membutuhkan anggaran yang sangat besar, tidak hanya bagi para petarung tapi juga untuk kepentingan operasional pengamanan dan keamanan selama pesta demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, ironis jika anggaran yang sangat besar itu ternyata hanya melahirkan para kandidat koruptor.
Ironi lainnya ketika rakyat terlena dengan serangan fajar yang hanya sekejap sementara mereka mendapatkan kesempatan selama lima tahun untuk berperilaku gila untuk balik modal, termasuk melalui cara-cara korupsi dan membangun dinasti politik dan politik dinasti.
Terkait ini wajarlah jika ada tuntutan untuk mengurangi ongkos demokrasi untuk mereduksi perilaku gila pada lima tahun ke depan pasca pesta demokrasi.
ADVERTISEMENT