Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Sensitif Subsidi
9 September 2023 7:12 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Dr Edy Purwo Saputro SE MSi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kabar burung memberitakan bahwa BBM jenis pertalite sulit atau langka. Hal ini tidak bisa terlepas dari rencana pembatasan pembelian.
ADVERTISEMENT
Fakta di balik pembatasan juga terkait dengan kebijakan subsidi dan realitas menegaskan bahwa kebijakan subsidi selalu salah atau bahasa diplomatisnya tidak atau yang lebih halus kurang tepat sasaran.
Padahal, ini tidak bisa terlepas dari pendataan kepada siapa yang berhak menerima subsidi dan pasti bagaimana mekanisme penyalurannya kepada yang berhak.
Artinya kesalahan pada saat pendaftaran menjadi muara terjadinya penyaluran subsidi yang tidak atau kurang tepat sasaran itu sendiri. Jadi, jangan salahkan masyarakat jika kemudian masih mendapatkan subsidi, terutama BBM.
Fakta kedua yang menjadi realitas bahwa mayoritas masyarakat juga beranggapan bisa mendapatkan subsidi, apapun caranya sehingga asumsi yang berkembang yaitu subsidi menjadi bagian dari hak sebagai warga negara.
Oleh karena itu, menjadi sulit untuk bisa memberikan kesadaran kepada publik terkait akurasi penyaluran subsidi terutama untuk masyarakat yang benar-benar membutuhkannya.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, situasi ini diperparah akibat perilaku segelintir oknum pejabat yang memanfaatkan celah subsidi untuk kepentingan pribadinya. Imbasnya, terjadi praktik jual beli peluang berdalih subsidi.
Jadi, beralasan jika kemudian penyaluran subsidi solar kurang tepat, subsidi minyak tanah gagal yang kemudian dipaksa beralih ke gas, termasuk juga rencana pengalihan BBM pertalite ke oktan yang lebih besar karena juga salah sasaran.
Data Kementerian ESDM bahwa selama 2022 konsumsi BBM jenis pertalite mencapai 29,68 juta kiloliter. Jika dibandingkan dengan tahun 2021 ternyata naik 27 persen dan harga pertalite sendiri sebesar Rp 10.000 termasuk murah karena ada subsidi pemerintah.
Hal ini kemudian menjadi argumen di balik lambatnya migrasi ke otomotif berbasis listrik di Indonesia. Intinya, selama subsidi pertalite masih bersifat terbuka maka dipastikan laju transformasi ke otomotif listrik tidak bisa lancar sehingga perlu penetapan subsidi cara tertutup seperti kasus solar.
ADVERTISEMENT
Padahal, pembuatan barcode subsidi solar juga masih bisa dilanggar. Termasuk iklan yang tidak lagi terselubung ketika menawarkan pembuatan barcode subsidi solar.
Subsidi memang dibenarkan karena bertujuan untuk meringankan beban masyarakat di mayoritas negara miskin berkembang, tetapi di sisi lain subsidi yang berkelanjutan juga bisa membuat APBN jebol, sementara pembatasan subsidi juga harus didukung oleh cara dan mekanisme yang baik dan benar.
Data Kementerian ESDM bahwa pada 2022 telah terjadi impor BBM RON 88 dan 90 sebanyak 15,1 juta kiloliter. Dan pastinya angkanya akan terus meningkat jika penyaluran subsidi tidak dibuat tertutup.
Oleh karena itu, hal mendasar yang perlu dicermati adalah mengubah keperilakuan secara agregat dan realitas juga menyebut bahwa konsumsi BBM di Indonesia termasuk boros.
ADVERTISEMENT
Hal ini tidak dapat terlepas dari kondisi kemacetan juga sehingga perlu membangun moda transportasi di semua daerah yang bersifat massal dan hal ini perlu disosialisasikan penggunaannya.