Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Ghibli-fever: Ketika Foto Liburanmu Jadi Kartun dan Hak Cipta Jadi Korban!
9 April 2025 9:27 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Edy Widyatmoko tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa minggu terakhir, media sosial penuh dengan wajah-wajah yang merubah setiap jepretan menjadi karakter anime ala Studio Ghibli. Entah itu potret keluarga, momen pendakian, atau bahkan selfie di kamar, semua bisa disulap menjadi ilustrasi bergaya Spirited Away atau My Neighbor Totoro. Fenomena ini tak lepas dari tren baru: jasa edit foto ala Ghibli yang kini menjamur di berbagai platform, mulai dari Shopee hingga Instagram.
ADVERTISEMENT
Dengan harga yang sangat murah meriah, mulai dari Rp1.000 hingga Rp15.000, siapa pun kini bisa “masuk” ke dunia Ghibli hanya dengan mengirimkan satu foto.

Beberapa penjual bahkan menawarkan promo yang sangat menarik seperti “Buy 2 Get 1 Free”, membuat layanan ini semakin menggoda bagi generasi yang gemar dengan tampilan estetika dan nostalgia anime.
Namun, di balik estetika dreamy dan warna pastel yang menenangkan, tren ini menyimpan banyak sekali persoalan pelik: pelanggaran hak cipta.
Antara Kreasi dan Eksploitasi
Studio Ghibli, yang dikenal sangat ketat terhadap lisensi dan distribusi kontennya, secara eksplisit menyatakan bahwa karya mereka bukan untuk dikomersialkan tanpa izin resmi. Namun, nyatanya di lapangan menunjukkan hal yang sebaliknya: puluhan bahkan ratusan jasa edit menggunakan gaya Ghibli sebagai bahan jualan tanpa adanya izin—dengan ilustrasi yang menyerupai gaya Hayao Miyazaki, lengkap dengan langit biru khas, pepohonan hijau rimbun, dan karakter berwajah manis.
ADVERTISEMENT
Yang menarik, sebagian besar ilustrasi ini dibuat menggunakan bantuan AI. Dengan hanya memasukkan foto dan memilih prompt "Ghibli style", hasil edit bisa keluar dalam hitungan menit.
Kemudahan inilah yang membuat banyak orang berlomba-lomba dalam membuka jasa, bahkan tanpa latar belakang desain sekalipun.
Legalitas yang Samar
Meski terlihat sepele, menjual karya yang menyerupai gaya visual terverifikasi seperti milik Ghibli dapat masuk dalam kategori pelanggaran hak kekayaan intelektual. Apalagi jika hal ini digunakan untuk kepentingan komersial. Sayangnya, belum banyak pengguna maupun pelaku jasa yang menyadari ataupun peduli dengan masalah ini. Beberapa justru menganggapnya sebagai “gaya umum” yang bisa digunakan secara bebas, padahal secara hukum, itu adalah wilayah abu-abu yang sangat berisiko tinggi.
ADVERTISEMENT
Etika di Era AI
Kehadiran teknologi AI memang membuka peluang baru dalam dunia kreatif. Namun, kemudahan ini juga banyak membawa pertanyaan soal etika dan orisinalitas. Ketika gaya visual tertentu—yang dibangun selama puluhan tahun oleh seniman seperti Miyazaki—diambil alih oleh mesin dan diperjualbelikan bebas, apakah itu masih bisa disebut "kreativitas"?
Lebih dari sekadar tren visual, fenomena ini sangat memperlihatkan bagaimana masyarakat digital kerap mengabaikan aspek legal demi mengikuti arus viralitas. Di satu sisi, ini adalah perayaan estetika. Di sisi yang lain, ini bisa menjadi bentuk eksploitasi diam-diam terhadap karya seni yang seharusnya dihormati.
Penutup: Sebelum kamu memutuskan untuk mengubah foto lebaran atau liburanmu jadi ilustrasi Ghibli dan menjadikannya foto profil, ada baiknya bertanya dulu pada dirimu sendiri: apakah perilaku ini sekadar ikut tren, atau tanpa sadar ikut melanggar hak kreatif orang lain? Karena di balik keindahan visual Ghibli, ada nilai dan integritas seni yang tidak bisa dihasilkan oleh satu klik AI.
ADVERTISEMENT