Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Pendidikan Malapraktik
2 Juni 2023 13:43 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Fuad Efandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Membahas soal pendidikan memang tidak pernah akan ada habisnya. Hal ini disebabkan karena pendidikan merupakan suatu yang sangat krusial dan sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh umat manusia. Namun perspektif tentang pentingnya pendidikan menjadikan sebagian kalangan menjadikan pendidikan sebagai salah satu alat untuk melanggengkan status quo.
ADVERTISEMENT
Sehingga dalam hal ini berimplikasi pada lembaga-lembaga pendidikan yang harus melakukan sebuah gerakan dengan berbagai tujuan. Tujuan yang paling umum adalah untuk meningkat kemampuan psikis maupun kognitif siswa.
Sekilas kebijakan tersebut memiliki tujuan yang sangat mulia. Padahal tidak menutup kemungkinan kebijakan ini hanyalah modus untuk menutupi maksud yang sebenarnya, yakni melanggengkan status quo. Anggapan ini mungkin terkesan mengada-ada, namun jika kita coba refleksikan maka maksud tersebut akan terlihat jelas.
Sebagai contoh sebuah lembaga pendidikan yang dengan tegas mengeluarkan gagasan ataupun kebijakan, namun tidak dilandasi dengan dasar-dasar ilmiah dari berbagai hasil penelitian-penelitian pendidikan. Sehingga dalam hal ini lembaga pendidikan menjadikan siswa sebagai bahan uji coba dari sebuah ide yang berlandaskan dari hipotesa yang inkoherensi.
ADVERTISEMENT
Gagasan dalam pendidikan yang tidak memiliki landasan yang begitu jelas memang tidak sepenuhnya salah. Sebab menurut Edward Lee Thorndike salah seorang tokoh psikologi pendidikan terkemuka dengan teori koneksionismenya menyebutkan pada dasarnya manusia memiliki naluri yang bisa melakukan segala hal jika dia mau mencoba dan mengusahakan. Namun perlu diingat bahwa teori ini tentu tidak bisa semata-mata dijalankan dengan tanpa landasan yang jelas, karena hal ini sama saja kita melakukan tindak kekejaman layaknya praktik rekayasa genetika.
Dalam pendidikan setiap kebijakan harus berjalan dengan dasar-dasar dan landasan teori yang jelas, karena objek dari pendidikan adalah seorang manusia bukan seekor hewan yang bisa dipandang sebelah mata. Jika rekayasa genetika pada hewan dianggap dapat mengganggu keseimbangan ekosistem akibat dominasi GMO atas spesies alami, lantas mengapa kita menganggap malapraktik maupun uji coba-uji coba dalam pendidikan itu benar?
ADVERTISEMENT
Coba renungkan! Mengapa saya membuat esai ini dengan judul pendidikan malapraktik. Kemungkinan sebagian besar kalangan akan menganggap bahwa gagasan saya adalah hasil dari logical fallacy, saya sendiri tidak begitu peduli apa pun itu anggapannya. Namun yang perlu dicatat bahwa pendidikan malapraktik benar-benar terjadi dan hal ini juga memiliki implikasi buruk layaknya rekayasa genetika pada hewan.
Sebagai salah satu contoh bahwa pendidikan malapraktik benar-benar terjadi adalah sebuah kebijakan yang waktu lalu menuai kontroversi publik, yakni tentang kebijakan masuk sekolah jam 5 pagi di NTT. Kebijakan ini memang memiliki tujuan yang cukup baik di mana fokus dari gagasan ini adalah untuk meningkatkan kedisiplinan peserta didik, namun sekali lagi kebijakan ini hanyalah sebuah uji coba yang sebelumnya belum pernah dibuktikan efisiensinya terhadap siswa.
ADVERTISEMENT
Praktik atau uji coba dalam pendidikan memang dapat dikatakan sah-sah saja. Namun ada yang perlu ditekankan dalam masalah ini, yakni praktik ataupun uji coba dalam pendidikan harus memiliki landasan yang jelas dari hasil riset yang telah ditempuh dengan serius. Sehingga menghasilkan kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan serta bukan hanya sekadar landasan dari hipotesa ambigu semata.
Pendidikan malapraktik dapat kita jumpai juga pada lembaga pendidikan yang kerap menjadikan siswa sebagai objek bukan malah menjadikan siswa sebagai subjek dalam pendidikan. Sehingga dalam kasus ini lembaga pendidikan akan mengeluarkan kebijakan yang mengarah pada kenyamanan guru dan menghiraukan kenyamanan murid dalam belajar dan alhasil kebijakan semacam ini mungkin saja berimplikasi pada keadaan psikologis siswa dan capaian akademik siswa.
ADVERTISEMENT
Mari kita perjelas. Jika seandainya seorang guru tidak memungkinkan untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar dengan siswa di waktu yang tepat untuk belajar, seperti di waktu pagi, maka sebuah lembaga pendidikan pasti akan dengan mudahnya mengubah kegiatan belajar mengajar di waktu siang. Lembaga akan menghiraukan apakah di waktu tersebut efektif bagi siswa untuk belajar dan apakah waktu tersebut tidak memberi implikasi buruk pada siswa.
Dalam sebuah penelitian tentang pengaruh waktu belajar terhadap hasil belajar siswa, dijelaskan bahwa ketika belajar dilaksanakan di waktu pagi, maka siswa akan cenderung semangat karena otak dalam keadaan segar dan di waktu sore keadaan siswa akan berubah termasuk kemampuan otaknya (Kirana (2019: 348).
Sekilas memang langkah ini bertujuan untuk menyelamatkan kegiatan belajar agar menjadi lebih kondusif, namun lagi-lagi lembaga pendidikan menjadikan siswa-siswa sebagai bahan uji coba atau malapraktik dengan harapan baik yang masih semu. Sebuah lembaga pendidikan ketika terjadi masalah dalam kegiatan belajar mengajar seharusnya, mencari solusi yang tidak dengan mengorbankan masa depan siswa, karena ini bukan soal tentang bagaimana menyelesaikan masalah semata, melainkan bagaimana menyelesaikan masalah tanpa harus mengganggu harapan siswa.
ADVERTISEMENT
Sebuah uji coba dalam pendidikan memang harus dilakukan jika itu memang menyangkut masalah-masalah yang sangat krusial. Akan tetapi bakal menjadi lebih baik apabila penyelesaian masalah tersebut memiliki sebuah akhir yang jelas dan akhir yang jelas tentu membutuhkan landasan yang jelas berdasarkan hasil riset yang mendalam sebelumnya.
Sekali lagi, pendidikan malapraktik memang benar-benar terjadi di dalam pendidikan kita dan yang namanya malapraktik adalah suatu tindak kelalaian. Maka jika diterapkan dalam pendidikan sama bahayanya dengan seorang dokter yang lalai dalam menangani pasien, sehingga berakibat buruk terhadap pasien bahkan nyawa pasien.