Konten dari Pengguna

Indonesia: Piala Dunia U-20 dan Tragedi Munich September 1972

Engelbertus Viktor Daki
Penulis lepas. Saat ini tinggal di Nabire, Papua Tengah.
24 April 2023 14:13 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Engelbertus Viktor Daki tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pekerja melakukan penyulaman rumput stadion Gelora Sriwijaya Jakabaring (GSJ) yang diperuntukkan untuk venue Piala Dunia U-20 2023 di Jakabaring Sport City (JSC), Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (9/3/2023).  Foto: Nova Wahyudi/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja melakukan penyulaman rumput stadion Gelora Sriwijaya Jakabaring (GSJ) yang diperuntukkan untuk venue Piala Dunia U-20 2023 di Jakabaring Sport City (JSC), Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (9/3/2023). Foto: Nova Wahyudi/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Publik Tanah Air masih bersedih, Piala Dunia U-20 yang sudah di depan mata dibatalkan digelar di Indonesia. Kans Timnas Indonesia U-20 untuk bermain di turnamen sepak bola tertinggi kedua setelah piala dunia timnas senior itu pupus.
ADVERTISEMENT
Tidak heran banyak pihak, termasuk Presiden Republik Indonesia kecewa. Persiapan Tim U-20 Indonesia sudah berlangsung sejak tahun 2019 saat Indonesia dipastikan menjadi tuan rumah oleh FIFA. Dana Rp 3,5 triliun sudah digelontorkan untuk menyukseskan perhelatan ini.

Penolakan

Timnas U-20 Israel. Foto: Instagram/@israel_football_association
Ada beberapa pihak yang menolak acara ini. Pertama, penolakan dari beberapa ormas Islam. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Sudarnoto Abdul Hakim dalam CNN (18/3/2023) menyebut semua ormas Islam di Indonesia tegas menolak kehadiran Timnas Israel U-20 untuk berlaga di Indonesia.
Alasannya, pertama, amanat konstitusi tentang segala bentuk penjajahan di muka bumi harus dihilangkan. Kedua, hubungan diplomatik. Indonesia tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel dan tidak akan pernah membuka hubungan diplomatik sepanjang Palestina masih dijajah.
ADVERTISEMENT
Ketiga, solidaritas. Ormas Islam dan MUI tetap memperkuat solidaritas kepada bangsa Palestina yang selama ini menjadi korban dari agresi, aneksasi, genosida dan politik apartheid Israel. Keempat, persatuan dan kesatuan bangsa harus dirawat, diperkuat dan dilindungi dari ancaman disintegrasi yang diakibatkan oleh kontroversi dan pro-kontra yang dibiarkan seputar timnas Israel.
Pihak lain yang menolak adalah beberapa partai politik. Yang menjadi sorotan adalah dua kader PDIP, yakni Gubernur Bali I Wayan Koster dan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Mereka menolak kehadiran Timnas Israel karena Israel adalah negara yang menjajah Palestina.
Mereka juga mengikuti Soekarno yang tegas menolak Israel. Perlu dicatat, mereka tidak menolak turnamen ini dihelat di wilayah mereka, tetapi lebih menolak sebuah tim bernama Timnas Israel untuk bertanding di wilayah mereka.
ADVERTISEMENT

Kurang Kondusif

Presiden FIFA, Gianni Infantino (kiri), mendengarkan Presiden AFA, Claudio Tapia, saat bertemu di markas Asosiasi Sepak Bola Argentina (AFA) di Buenos Aires pada 4 Oktober 2017. Foto: JUAN MABROMATA / AFP
Pada Rabu, 29 Maret 2023 pukul 22.00 WIB, melalui website fifa.com FIFA mengumumkan pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 tahun 2023. Berita ini menegaskan beberapa keraguan publik sepakbola pasca pembatalan drawing di Bali beberapa hari sebelumnya.
FIFA penyelenggaraan turnamen tersebut di Indonesia karena situasi kurang kondusif di Indonesia belakangan ini. Tentu situasi yang dimaksud terkait dengan polemik penolakan timnas Israel.
Sampai di titik ini, rasanya kita perlu bertanya mengapa situasi tersebut membuat FIFA mengurungkan niatnya menghelat turnamen tersebut di Indonesia? Apakah FIFA ragu pada komitmen Indonesia untuk mengawal dan menjaga keamanan terselenggaranya turnamen ini?

Keselamatan

Suporter Timnas Indonesia memberikan dukungan saat melawan Timnas Thailand pada pertandingan Grup A Piala AFF 2022 di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Jakarta, Kamis (29/12/2022). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Penulis tidak akan masuk pada persoalan politik, konstitusi, pencarian pihak yang salah dan sebagainya. Penulis akan fokus pada pertimbangan keselamatan nyawa.
ADVERTISEMENT
Apabila kita mundur ke beberapa dekade silam, turnamen internasional pernah membawa duka mendalam dalam lintasan sejarah manusia modern. Hal ini nyata dalam September Berdarah pada Olimpiade Munich tahun 1972. Tragedi tersebut dikenang sebagai Munich Massacre.
Olimpiade tersebut melibatkan 7.314 atlet dari 128 negara untuk perlombaan 195 cabang olahraga. Olimpiade ini menjadi pembuktian pemulihan Jerman dari trauma pasca Perang Dunia II.
Laman website panitia olimpiade menuliskan betapa megahnya Olimpiade tersebut. Sentuhan arsitektur yang indah, kemegahan stadion, dan keindahan lainnya ikut disempurnakan dengan kecantikan pegunungan Alpen.
Presiden IOC (International Olympic Committee) Thomas Bach mengatakan, “Arsitektur dan konsep Olimpiade ini mencerminkan semangat keterbukaan, kejujuran, dan joie de vivre (gembira dan menikmati hidup) hingga ke detail terkecil. Dengan desain unik Taman Olimpiade dan stadionnya, arsitek Günter Behnisch berhasil menangkap zeitgeist (semangat zaman) itu dengan tepat. Semua perbedaan dan batas dilampaui untuk fokus pada persatuan dalam Olimpiade.”
ADVERTISEMENT

Black September

Ilustrasi Teroris Foto: Shutter Stock
Baru seminggu berjalan, tepatnya pada tanggal 5 September 1972, asrama atlet dan ofisial tim Israel diserbu kelompok bernama Black September. Mereka adalah kelompok teroris Palestina.
Pada pukul 04.00 waktu setempat, kedelapan teroris Palestina ini masuk ke perkampungan olimpiade dengan memanjat pagar setinggi 1,8 m, di dekat bandara Furstenfeldbruck, di Apartemen Connollystrasse, Blok 31 Munchen.
Aksi mereka sempat dicegah oleh atlet gulat bernama Yossef Gutfreund yang curiga adanya aksi tersebar. Atlet angkat berat Israel Yossef Romano mencoba membantu dengan merebut pisau para penyusup, tetapi ia tewas tertembak. Begitu pula dengan Mosche Weinberg, pelatih gulat yang ikut terbunuh ketika hendak menyerang pada penyusup dengan pisau.
Sempat terjadi tawar-menawar di antara pemerintah Israel, Palestina, dan Jerman Barat. Prosesnya tidak berjalan lancar hingga akhirnya terjadi gencatan senjata antara delapan teroris tersebut dan pihak kepolisian serta penembak jitu Jerman. Semua sandera terbunuh termasuk seorang anggota polisi Jerman.
ADVERTISEMENT
Presiden IOC, Thomas Bach dalam peringatan 50 tahun Olimpiade pada 5 Juli 2022, ketika mengenang peristiwa Munich 1972 mengatakan, serangan brutal terhadap tim Israel membuat panitia Olimpiade merasa ngeri dan jijik, malu dan takut.
Peristiwa ini menandai noda hitam dalam perhelatan ajang olahraga secara umum dan turnamen internasional secara khusus. Dunia belajar, betapa keamanan dan keselamatan atlet (manusia) amat penting untuk dijaga dan dijamin. Dunia tidak boleh main-main dengan ancaman kemanusiaan.
Sebagian orang mungkin berpendapat politik dan olahraga adalah dua entitas yang berbeda sehingga harus dipisahkan. Juga sebaliknya, keduanya itu sama sehingga tidak ada garis batas yang memisahkannya.
Kendati demikian, jelas bahwa fifa amat mengecam intervensi politik dalam olahraga. Buntut pembatalan piala dunia U-20 di Indonesia bisa dicium karena adanya intervensi politik.
ADVERTISEMENT
Penolakan atas timnas Israel selain bahwa itu menyangkut persoalan kemanusiaan, ini juga persoalan politik yakni, pengakuan atas Palestina dan pengecaman atas Israel.
Tidak bisa dipisahkan pula, upaya partai tertentu untuk menolak Israel tidak bisa dipisahkan dari upaya menggalang dukungan kelompok tertentu untuk kontestasi pemilu tahun 2024. Mungkin ini bisa dibantah, tetapi publik rasanya tidak naif lagi untuk mempercayainya. Soal ini, biarlah publik yang menilainya
Sulit untuk mengelak bahwa dunia trauma dengan kekerasan. Bisa ditebak bahwa persoalan keselamatan menjadi pertimbangan FIFA ketika membatalkan piala dunia U-20 di Indonesia.
Memang, di mata internasional dunia mengakui kemampuan Indonesia menangani persoalan terorisme. Meski demikian, dunia juga tahu sudah sedemikian banyak kasus terorisme yang memakan korban di Indonesia. Situasi ini menakutkan, apalagi riak-riaknya sudah mulai terasa hari-hari ini.
ADVERTISEMENT

Kekecewaan dan Harapan

Seorang petugas memegang merchandise resmi untuk turnamen sepak bola Piala Dunia Sepak Bola FIFA U-20 di sebuah toko di Jakarta, pada Kamis (30/3/2023). Foto: Adek Berry/AFP
Penulis sebenarnya sangat kecewa dengan batalnya turnamen ini. Tidak terhitung berapa besar kerugian finansial, waktu, tenaga, dan juga hancurnya mimpi maupun harapan anak bangsa akibat situasi ini. Meskipun demikian, penulis juga sadar, akan sangat berbahaya juga bila turnamen ini dilanjutkan dengan keadaan yang tidak nyaman ini.
Bukan tidak mungkin, kelompok-kelompok radikal nir rasa kemanusiaan akan menggunakan momentum ini untuk melangsungkan aksi-aksi mereka terhadap tim dari negara-negara yang dianggap sebagai musuh.
Di sini bukan berarti penulis ragu dengan kemampuan pengamanan di negeri ini, tetapi jika belajar dari sejarah Olimpiade Munchen 1972 (meski mungkin terlalu jauh), kekerasan ataupun ancaman terorisme itu sangat berbahaya bagi olahraga. Sportivitas, persatuan, sukacita, dan kemajuan, akan lenyap bila terorisme merusaknya. Yang ada bukan lagi perayaan hidup dan sukacita, melainkan air mata dan penyesalan.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, seperti pesan Presiden, kita tidak perlu terlalu berlarut dalam pengalaman ini. Kita perlu terus mengembangkan sepakbola kita dan memantapkan masa depan. Harapannya, dengan itu pada waktunya nanti bangsa ini siap bertanding di ajang piala dunia dan mampu menjadi tuan rumah bagi semua bangsa.
Lebih dari itu, bukan cuma mampu berolahraga dan bersukacita, kita pun wajib menjamin keselamatan semua jiwa. Warga dan aparatur negara wajib menjamin keamanan dan kenyamanan bagi siapa saja.

Olahraga Itu Menyatukan

Sejumlah suporter meneriakkan yel-yel dukungan untuk timnas Indonesia pada laga leg 1 semifinal Piala AFF 2022 melawan Vietnam di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Jakarta, Jumat (6/1/2023). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
Pesan Nelson Mandela pada tahun 2000 yang dikutip dalam World Economic Forum dalam tulisan berjudul “The uniquely unifying power of sports, and why it matters” tahun 2018, kiranya penting.
Menurut Mandela, olahraga memiliki kekuatan untuk mengubah dunia. Ia memiliki kekuatan untuk menginspirasi. Ia memiliki kekuatan untuk menyatukan orang dengan cara yang tidak bisa dilakukan oleh orang lain. Olahraga memampukan semua orang dari seluruh dunia untuk berbicara dalam bahasa yang mereka pahami. Olahraga dapat menciptakan harapan di mana hanya ada keputusasaan.
ADVERTISEMENT
Semoga dengan peristiwa itu, mata kita semua dibukakan bahwa olahraga adalah sarana perdamaian. Olahraga itu menyatukan setiap perbedaan. Olahraga adalah ajang menampilkan keluhuran manusia, bukan momen menampilkan kebengisan manusia. Tugas penyelenggara bukan hanya ikut bertanding dan menikmati aneka hiburan yang ada, tetapi lebih penting dari pada itu semua, menjamin keselamatan semua manusia.