Konten dari Pengguna

Bahaya Toxic Maskulinitas, Tingkatkan Angka Bunuh Diri pada Laki-laki

Egi Apriyanti
Mahasiswi sastra Indonesia di Universitas Pamulang yang bekerja sebagai juru warta.
14 Oktober 2022 18:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Egi Apriyanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi laki-laki depresi (Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi laki-laki depresi (Shutterstock)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebagai manusia, kita tak pernah lepas dari pengaruh budaya yang ada di kehidupan sosial. Di Indonesia, kita lekat dengan budaya yang mempersoalkan tentang konsep antara laki-laki dan perempuan.
ADVERTISEMENT
Laki-laki dianggap sebagai seseorang yang harus sekuat baja dan berada di tingkatan atas jika dibandingkan dengan perempuan. Budaya dan stigma masyarakat ini yang akhirnya memunculkan pakem terhadap diri laki-laki dan juga perempuan.
Aturan-aturan terkait maskulinitas yang ada di kehidupan sosial seolah ‘memaksa’ laki-laki untuk mengikuti template aturan tersebut. Dewasa ini, budaya terkait maskulinitas pada laki-laki juga dikenal dengan istilah toxic masculinity.
Toxic Masculinity ini telah mengintai laki-laki bahkan saat dirinya masih anak-anak. Seorang anak laki-laki dituntut oleh keluarga dan sekitar untuk selalu terlihat kuat, tidak boleh menangis, dan haram menunjukan sisi lemahnya di hadapan orang lain.
Konstruksi sosial yang ada membuat laki-laki dituntut untuk menjadi jantan dan berperilaku bak laki-laki sejati, dengan diajarkan sejak dini untuk bermain permainan fisik, tidak boleh bermain dengan permainan anak perempuan, dan juga banyak stereotip lainnya.
ADVERTISEMENT
Kuatnya budaya ini membuat konsep maskulinitas terpatri kuat dalam pikiran masyarakat. Contoh kecil dalam lingkup pertemanan, seorang laki-laki dituntut untuk menyukai olahraga, khususnya olahraga sepak bola.
Bagaimana dengan laki-laki yang tidak memiliki minat di bidang olahraga? Bagaimana jika fisik laki-laki tersebut yang memang tidak mampu untuk ikut dalam kegiatan fisik seperti sepak bola? Bagaimana dengan laki-laki yang lebih berminat di bidang musik, komputer, dan sebagainya? Bully. Cemooh. Makian. Lebih buruk dari itu, ia akan dianggap bukan laki-laki karena kegemarannya yang berbeda dari standar laki-laki yang dibentuk oleh budaya maskulinitas ini.
Seorang laki-laki yang mendobrak pakem dalam kehidupan sosial itu pun akan mendapatkan anggapan dan komentar negatif dari sekitarnya seperti, “Hey, jangan nangis, kamu kan laki-laki jadi harus kuat. Masa laki-laki nangis?”. Hal ini pun membuat perasaan seorang laki-laki menjadi tidak tervalidasi.
ADVERTISEMENT
Ia akan lebih memilih untuk menyembunyikan emosi yang dirasanya dan berusaha selalu terlihat kuat di depan orang lain. Tekanan untuk selalu dan dituntut harus terlihat kuat ini pun akan terbawa hingga si laki-laki ini beranjak dewasa.
Stigma laki-laki dianggap ‘si paling kuat’ pun terbawa dan terus melekat sampai ia dewasa. Budaya maskulinitas membuat laki-laki dianggap harus bekerja pada sektor bidang yang menguras tenaga dan keringat. Bahkan, ada bidang pekerjan yang dianggap bukan ranah laki-laki untuk menggeluti pekerjaan tersebut.
Dalam masyarakat, masih terasa bentuk mengotak-ngotakkan bidang pekerjaan untuk laki-laki dan perempuan. Bidang seni seperti penari, perias, penata busana, bahkan koki kerap dipandang sebelah mata dan dianggap bukan lagi area untuk laki-laki.
ADVERTISEMENT
Mirisnya, bahkan laki-laki yang menggeluti bidang tersebut dianggap mengurangi tingkat kelelakianya. Pun dengan pekerjaan laki-laki yang dekat dengan riasan, seperti para artis, entertainer dan orang-orang yang bekerja di depan layar. Menggunakan kosmetik membuat laki-laki dianggap tidak maskulin bahkan mendapat julukan buruk.
Ketika dewasa, seorang laki-laki pun dituntut untuk bisa sukses dan berhasil. Apalagi, masyarakat lekat dengan stigma bahwa laki-laki adalah tulang punggung yang diharuskan memenuhi segala kebutuhan keluarga. Ia akan dianggap gagal jika tak bisa memenuhi ekspektasi sekitar soal jenis pekerjaan yang digeluti dan jumlah pendapatan yang tidak sesuai.
Tanpa disadari, pandangan dan stigma yang terpatri dalam pikiran masyarakt mengenai toxic masculinity ini memberikan pengaruh negatif terhadap diri laki-laki.
Ilustrasi bunuh diri (Shutterstock)
Dikutip dari jurnal penelitian mengenai toxic masculinity, ternyata pembatasan norma maskulinitas yang cenderung kaku dapat memberikan efek berupa tekanan psikologis terhadap laki-laki yang sangat besar, risiko depresi, hingga memunculkan tindakan ekstrem yang lebih buruk, yakni bunuh diri.
ADVERTISEMENT
Menurut laporan WHO Global Health Estimates, diperkirakan terjadi 793 ribu kematian sepanjang tahun 2016 atau satu kematian dalam 40 detik. Hal ini mengartikan bahwa ketika ada satu orang meninggal karena bunuh diri, diperkirakan terdapat 20 kasus percobaan bunuh diri pada saat bersamaan.
Sementara itu, tingkat bunuh diri di Indonesia menurut laporan Bank Dunia menunjukkan 2,4 persen per 100 ribu penduduk, yang berarti bahwa ada 2 orang yang melakukan bunuh diri dari setiap 100 ribu penduduk di Indonesia selama periode 2014-2019.
Pada 2019, tingkat bunuh diri yang dilakukan laki-laki lebih tinggi ketimbang perempuan, yakni sebesar 3,7 persen per 100 ribu penduduk. Sementara tingkat bunuh diri perempuan pada tahun yang sama sebesar 1,1 persen per 100 ribu penduduk.
ADVERTISEMENT
Data ini menunjukkan jika kondisi psikologis laki-laki di Indonesia cukup memprihatinkan. Pakem-pakem dalam masyarakat mengenai konsep maskulin malah menjadi tembok besar bagi laki-laki dalam mengekspresikan dirinya. Toxic masculinity ini pun menjadi budaya yang seharusnya dihapuskan dalam kehidupan masyarakat, apalagi terlihat beragam akibat yang ditimbulkan.
Sumber:
Jurnal Kajian Toxic Masculinity di Era Digital dalam Perspektif Sosial dan Teologi. Novalina, Martina, dkk. 2021.
Databoks Katadata
Statistik Potensi Desa Indonesia