Konten dari Pengguna

Refleksi Demokrasi Indonesia: Romo Magnis Soroti Krisis Politik dan Nepotisme

Dani Egison
Dani Egita W, a student majoring in public administration at the University of Yogyakarta.
22 September 2024 10:14 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dani Egison tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pamflet acara dialog kebangsaan dari BEM USD, Foto : Dani Egison
zoom-in-whitePerbesar
Pamflet acara dialog kebangsaan dari BEM USD, Foto : Dani Egison
ADVERTISEMENT
Pada Sabtu, 21 September 2024, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta menggelar Dialog Kebangsaan bertajuk "Ke mana Perginya Demokrasi Indonesia? Sebuah Refleksi Pemilu Presiden 2024". Acara yang berlangsung di Auditorium Driyarkara ini dimulai pukul 09.30 WIB dan menghadirkan pembicara utama R.P. Prof. Dr. Franz Magnis Suseno, seorang filosof dan tokoh kebangsaan.
ADVERTISEMENT
Acara dibuka dengan doa Katolik, dilanjutkan sambutan dari Ketua BEM serta Rektor Universitas Sanata Dharma. Dalam sambutannya, Rektor menyampaikan pentingnya refleksi terhadap kondisi demokrasi Indonesia pasca Pemilu 2024.
Romo Magnis, yang menjadi pembicara utama, membuka sesi dialog dengan menyoroti situasi politik Indonesia saat ini yang digambarkan sebagai "seram" meski masih ada secercah harapan. Beliau mengingatkan bahwa setelah 79 tahun kemerdekaan dan 26 tahun reformasi, Indonesia masih terjebak dalam krisis korupsi, nepotisme, serta demokrasi yang semakin dikendalikan oleh oligarki. "Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tak lagi mewakili rakyat, keadilan sosial semakin jauh, dan banyak penggusuran yang dilakukan atas nama proyek," ujar Romo Magnis.
Romo Magnis sedang memberikan penjelasan terkait demokrasi, Foto : Dani Egison
Beliau juga menyoroti isu Papua, menyebutnya sebagai "luka di tubuh bangsa Indonesia", dengan ketidakadilan yang berpotensi memunculkan gerakan radikal transnasional yang bisa mengancam keutuhan negara. Selain itu, deforestasi sawit dan kekerasan militer di Papua turut menjadi fokus dalam dialog ini.
ADVERTISEMENT
Mengutip pandangan Haryatmoko, Romo Magnis menyampaikan bahwa demokrasi yang ideal harus menjamin Hak Asasi Manusia (HAM), kesetaraan hukum, partisipasi aktif warga, dan kemampuan negara untuk menyejahterakan seluruh rakyatnya. Sayangnya, kondisi Indonesia saat ini masih jauh dari harapan tersebut. Beliau menyoroti lemahnya kesadaran demokrasi masyarakat, partai politik yang tidak memiliki orientasi ideologis yang jelas, dan dominasi nepotisme dalam politik.
Seorang anak Papua memberikan pertanyaan kepada Romo Magnis, Foto : Dani Egison
"Presiden mengutamakan keluarga, tak ubahnya seperti kepala mafia," sindir Romo Magnis, merujuk pada pencalonan Gibran yang melanggar etik dalam Pemilu 2024 yang tak mendapat respons dari Presiden Jokowi. Tak hanya itu, beliau juga menyinggung kemenangan pasangan presiden kontroversial, Prabowo-Gibran, dalam Pemilu 2024 dan mengeluarkan gurauan, "Ada 65% pemilih Katolik yang memilih pasangan ini, semoga Tuhan memberkati mereka."
ADVERTISEMENT
Sesi diskusi berlangsung aktif dengan berbagai pertanyaan dari mahasiswa yang dijawab Romo Magnis secara singkat dan jelas. Dialog kebangsaan ini diakhiri dengan doa bersama secara Islam, diikuti pemberian kenang-kenangan dari Rektor Universitas Sanata Dharma kepada Romo Magnis sebagai bentuk apresiasi atas kontribusinya.