news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Soal Pelemahan Daya Beli Masyarakat yang Dipersepsikan Berbeda-beda

Asmiati Malik PhD
International Relations - International Political Economist - Young Scholars Initiative - Senior researcher at AsianScenarios - Dosen Hubungan Internasional Universitas Bakrie
Konten dari Pengguna
14 Maret 2018 18:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asmiati Malik PhD tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kegiatan di pasar tradisional. (Foto: ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kegiatan di pasar tradisional. (Foto: ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto)
ADVERTISEMENT
Persepsi Pemerintah
Menyusul buruknya kinerja beberapa toko riteail makanan, pakaian dan otomotif yang beroperasi di Indonesia seperti 7Eleven, Lotus, Matahari dan Debenhams karena disebabkan pendapatan perusahaan yang buruk dalam beberapa tahun belakangan ini. Hal tersebut tak ayal memberikan beban keuangan yang luar biasa bagi perusahaan.
ADVERTISEMENT
Pada kesempatan yang sama Presiden Jokowi menanggapi bahwa tidak ada yang salah dengan daya beli masyarakat Indonesia dengan alasan bahwa terdapat peningkatan pendapatan PPN 12,2%, yang lebih besar dari tahun lalu. Jokowi juga menolak gagasan pelemahan daya beli Indonesia dengan menyatakan bahwa terdapat peningkatan pendapatan di sektor industri perhotelan dan restoran sebesar 1,44%.
Sebelumnya, pada bulan Agustus 2017, Menteri Pembangunan Perencanaan Nasional Bambang Brodjonegoro menanggapi bahwa kasus ini adalah “kasus misterius”. Hal itu terasa agak aneh untuk seorang pejabat yang bertanggung jawab untuk merancang dan merencanakan pengembangan ekonomi tetapi meninggalkan kesan bahwa dia tidak tahu apa yang sedang terjadi pada pasar domestik Indonesia.
Pada saat yang sama juga, kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia, Thomas Lembong, mengatakan hal ini aga aneh mengingat tingkat inflasi agak terkendala pada tingkat 3% di Januari-Juli 2017. Selain itu, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution menolak pendapat yang mengatakan bahwa terdapat pelemahan daya beli di masyarakat. Malah sebaliknya, beliau mengaku itu adalah faktor daya beli musiman.
ADVERTISEMENT
Setelah itu pada bulan Oktober 2017, Jokowi mengklaim bahwa tidak ada penurunan daya beli, tetapi ada kecenderungan pergeseran kebiasaan belanja dari offline ke online yang ditunjukkan dari peningkatan sewa gudang sebesar 14,7%, lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Di kesempatan yang sama, Biro Pusat Statistik Indonesia juga mengklaim tidak ada penurunan daya beli, karena konsumsi rumah tangga meningkat dari 0.01% pada kuartal pertama sampai kuartal dua 2017.
Persepsi Masyarakat
Namun hal ini sangat berbeda dengan persepsi masyarakat dan pengecer kecil-menengah, yang saya temukan lewat survei (200 responden) yang saya lakukan pada tanggal 8-29 Oktober, 2017.
Semua responden berpendapat bahwa hampir semua harga barang dan jasa meningkat. 48,2% dari responden mengatakan bahwa harga barang 5-10% lebih mahal, dan 31,1% dari total responden menganggap 11-15% lebih mahal. 14,5% responden berpikir harga barang menjadi lebih mahal sebesar 16-25%, dan hanya 6,2% pikir dua kali lipat dalam kurung waktu 3 tahun. (Lihat selanjutnya pada Grafik 1)
Soal Pelemahan Daya Beli Masyarakat yang Dipersepsikan Berbeda-beda (1)
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Dari 58,5% dari total responden menyalahkan inflasi dan depresiasi nilai tukar rupiah dalam beberapa tahun sebagai penyebab utama dari penurunan daya beli. 24% berpikir harga bensin (BBM) yang tidak menentu dan mengikuti harga pasar menyebabkan harga barang dan jasa ikut berubah-ubah. Tapi hal tersebut tidak diikuti oleh peningkatan pendapatan mereka (Lihatlah Bagan 2).
Meskipun 73,2% dari responden menyatakan ada peningkatan pendapatan mereka sejak 2014 sampai sekarang. Tetapi 66,4% dari mereka hanya mengalami peningkatan antara 1-10%, 17% yang memiliki kenaikan penghasilan di atas 15%, an 16,6% pendapatannya meningkat di atas 16 %. Sedangkan 26,8% menegaskan bahwa pendapatan mereka tidak meningkat sama sekali.
Soal Pelemahan Daya Beli Masyarakat yang Dipersepsikan Berbeda-beda (2)
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Persepsi Pasar
Persepsi yang hampir sama juga terjadi dalam pengecer pakaian, sepatu, dan tas. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan pemilik UKM yang bergerak dibidang ritail baju, kebanyakan dari mereka merasa bahwa ada penurunan pendapatan yang signifikan, dibandingkan pada tahun 2014.
Salah satu pemilik bisnis yang memiliki toko di pusat grosir Pasar Butung Makasar pusat grosir garmen terbesar dibagian timur Indonesia. Kebanyakan dari mereka menjual pakaian dan aksesoris menegaskan bahwa, “Saya bingung mengapa pelanggan mereka enggan untuk membelanjakan uang mereka”.
Biasanya, mereka dapat menghasilkan 2 juta perhari, tapi sekarang sulit untuk mendapatkan 500 ribu perhari. Ketika bulan puasa dan lebaran, pendapatan mereka pun turun dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Demikian pula pemilik toko di Metro Tanah Abang, yang merupakan grosir terbesar di Asia Tenggara. Mereka menyatakan “bisnis sekarang kurang baik tidak seperti sebelumnya, bahkan kami sudah mencoba berinovasi melalui pemasaran produk kami di Instagram dan Facebook, namun penjualan masih suram dibanding beberapa tahun terakhir."
ADVERTISEMENT
Kebanyakan dari mereka berpikir bahwa itu adalah karena harga barang dan jasa terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Ini membuktikan klaim pemertintah pada belanja online belum tentu benar.
Bahkan, 54% dari responden lebih memilih untuk membeli kebutuhan bulanan mereka di mal, 40% di pasar lokal, dan hanya sebagian kecil atau 6% yang berbelanja melalui online.
Selain itu, dari yang 6% tersebut hampir 35% membeli aksesoris dan pakaian di angka 32%.
Perbedaan Persepsi
Jelas bahwa tidak ada kesamaan persepsi antara pemerintah sebagai pembuat kebijakan, pasar dan masyarakat dalam mempersepsikan pelemahan daya beli masyarakat Indonesia membeli.
Kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi terlalu fokus pada pengembangan ekonomi makro menekankan pada belanja pemerintah pada sektor infrastruktur. Tetapi terkesan mengabaikan faktor ekonomi mikro yang seharusnya dibutuhkan untuk membangun landasan kinerja ekonomi makro Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tentu prioritas pemerintah pada sektor infrastruktur sangat bagus untuk jangka panjang. Akan tetapi hal itu tidak terlihat pada besaran serapan tenaga kerja. Bahkan jumlah pengangguran malah meningkat dari 7.3 Juta di tahun 2016 menjadi 7,4 juta pada bulan Agustus 2017.
Hal ini karena pembangunan infrastruktur tidak tersinkonisasi dengan baik dengan kinerja sektor industri. Dan proyek pemerintah yang ada lebih banyak menyerap tenaga kerja yang memiliki keterampilan yang tinggi.
Di samping itu, Jokowi juga melepaskan harga BBM mengikuti harga pasar, tapi hal ini tidak diikuti dengan peningkatan gaji mereka.
Contoh sederhana harga bubur ayam di kawasan kuningan, Jakarta Selatan pada pertengahan tahun 2014 hanya Rp.5000 Rupiah, sedangkan sekarang sudah naik sebesar Rp 9000. Hal ini menunjukkan kenaikan hampir 90% hanya dalam 3 tahun. Kenaikan ini belum tentu sesuai dengan peningkatan gaji masyarakat yang tinggal di daerah tersebut.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu kunci stabilisasi daya beli masyarakat bergantung pada stabilitas harga di mana pemerintah harus menghindari anomali yang bisa memicu kenaikan harga barang dan jasa. Jika tidak, ini akan merugikan pasar dan masyarakat itu sendiri.
Opini pribadi oleh Asmiati Malik