Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
KIP-Kuliah: Kebijakan Pendidikan yang Masih Salah Sasaran
2 Mei 2025 16:15 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Eka Aulia Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pendidikan tinggi seharusnya menjadi jembatan menuju kehidupan yang lebih baik, bukan hanya bagi mereka yang lahir dari keluarga berada, tetapi juga bagi anak-anak dari latar belakang ekonomi yang kurang beruntung. Dengan menempuh pendidikan tinggi, seseorang punya peluang lebih besar untuk memperluas wawasan, mendapat pekerjaan yang layak, dan membantu memperbaiki kondisi hidup keluarganya.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, pemerintah merancang berbagai program bantuan pendidikan agar akses ke bangku kuliah bisa dirasakan lebih merata. Salah satunya adalah Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-Kuliah), yang ditujukan khusus bagi mahasiswa dari keluarga kurang mampu. Lewat program ini, mahasiswa tidak perlu lagi memikirkan biaya kuliah maupun biaya hidup selama masa studi. Secara konsep, ini adalah langkah nyata negara dalam memperjuangkan keadilan sosial melalui pendidikan.
Namun, kenyataan di lapangan tak selalu sejalan dengan harapan. Bantuan yang seharusnya diperuntukkan kepada mahasiswa yang benar-benar membutuhkan, justru kadang dinikmati oleh mahasiswa yang hidup berkecukupan. Beberapa waktu lalu, publik sempat dihebohkan oleh kasus mahasiswa Universitas Diponegoro (Undip) yang tetap menerima KIP-Kuliah meskipun memiliki penghasilan besar dan memperlihatkan gaya hidup serba berlebih di media sosial. Mulai dari barang-barang mahal, kendaraan pribadi, hingga aktivitas konsumtif lainnya, semuanya terang-terangan dipamerkan. Sikap ini sangat disayangkan, karena tidak mencerminkan tujuan utama program yang dibuat untuk membantu mahasiswa dari keluarga kurang mampu.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, kasus seperti itu bukan yang pertama. Sudah sering muncul laporan tentang mahasiswa dari keluarga mapan yang justru lolos menerima KIP-Kuliah. Di sisi lain, banyak calon mahasiswa yang benar-benar membutuhkan justru tidak mendapatkan bantuan karena tak tercatat dalam data resmi, atau terhalang syarat administratif yang rumit. Hal ini menunjukkan bahwa sistem seleksi dan verifikasi program masih menyisakan banyak celah.
Masalah dalam pelaksanaan program KIP-Kuliah sejatinya tidak bisa dianggap sepele atau sekadar kesalahan teknis administratif. Di balik itu, ada persoalan mendasar yang menyangkut keadilan sosial dan efektivitas kebijakan publik. Ketika mahasiswa dari keluarga kurang mampu gagal mendapatkan bantuan hanya karena tidak tercatat atau terhalang syarat administratif, maka bukan hanya pendidikan mereka yang terancam, tapi juga masa depan ekonomi keluarganya. Bantuan yang seharusnya menjadi jembatan keluar dari lingkaran kemiskinan, justru bisa memperlebar jurang ketimpangan bila tidak dikelola secara adil dan transparan.
ADVERTISEMENT
Salah satu penyebab utama dari persoalan ini adalah lemahnya sistem verifikasi dan ketidakmampuan lembaga pendidikan untuk membaca kondisi ekonomi mahasiswa secara menyeluruh. Proses penilaian sering kali hanya bergantung pada dokumen formal seperti surat keterangan tidak mampu atau data dari lingkungan sekitar kampus, yang faktanya bisa dengan mudah direkayasa. Di sisi lain, sistem seleksi di banyak kampus cenderung tertutup dan minim pelibatan pihak eksternal, sehingga ruang pengawasan publik menjadi sangat terbatas. Kondisi ini menciptakan celah besar bagi penyalahgunaan bantuan.
Tak jarang, bantuan justru diterima oleh mahasiswa dari keluarga mampu yang lebih siap secara administratif, sementara mereka yang benar-benar hidup dalam keterbatasan malah terpinggirkan. Ketimpangan semacam ini jelas mengkhianati tujuan utama dari program bantuan pendidikan yang seharusnya berpihak pada kelompok yang paling membutuhkan.
ADVERTISEMENT
Padahal jika merujuk pada prinsip keadilan sosial, pemerataan bantuan seharusnya berlandaskan pada nilai keadilan yang proporsional, bukan sekadar perlakuan yang sama rata. Artinya, setiap bantuan perlu diberikan berdasarkan kondisi ekonomi nyata yang dihadapi mahasiswa, bukan hanya karena lolos syarat administratif di atas kertas. Prinsip ini penting agar kebijakan seperti KIP-Kuliah tidak hanya menjadi formalitas yang terlihat adil, tapi benar-benar menyentuh mereka yang paling membutuhkan.
Persoalan ini semakin kompleks ketika melihat belum optimalnya koordinasi antar lembaga pemerintah dalam pembaruan data penerima manfaat. Kampus seringkali hanya mengandalkan data internal atau data lama, tanpa mengintegrasikan informasi terbaru dari lembaga seperti Kementerian Sosial, BPS, atau Dinas Kependudukan. Ketidaksinkronan inilah yang membuat bantuan pendidikan rentan salah sasaran, sementara mahasiswa dari keluarga rentan ekonomi harus menunda mimpi mereka karena gagal mengakses bantuan.
ADVERTISEMENT
Melihat situasi ini, sudah saatnya dilakukan pembenahan yang menyeluruh dan serius. Langkah awal yang paling mendesak adalah membangun basis data penerima manfaat yang lebih terintegrasi dan diperbarui secara berkala. Data dari berbagai lembaga terkait harus disatukan ke dalam satu sistem yang bisa diakses dan digunakan oleh kampus untuk proses verifikasi secara objektif dan akurat. Dengan data yang terhubung lintas sektor, manipulasi dapat dicegah dan sasaran program dapat lebih tepat.
Selain itu, perlu dibuka ruang partisipasi lebih luas dalam proses seleksi. Perguruan tinggi sebaiknya melibatkan organisasi masyarakat, komunitas mahasiswa, atau lembaga pengawas independen untuk memastikan bantuan diberikan secara adil. Transparansi bukan hanya soal formalitas, melainkan bagian dari membangun kepercayaan publik dan menjaga kredibilitas program itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Tak kalah penting, mahasiswa penerima bantuan juga perlu disadarkan bahwa KIP-Kuliah adalah bentuk tanggung jawab sosial, bukan fasilitas untuk konsumsi berlebih. Kampus bisa mewajibkan pakta integritas dan mendorong pelaporan berkala penggunaan dana, agar bantuan benar-benar digunakan sebagaimana mestinya. Etika dan rasa tanggung jawab perlu ditanamkan sejak awal agar para penerima memahami bahwa mereka sedang mengemban amanah, bukan sekadar menikmati hak.
Pada akhirnya, KIP-Kuliah tetap merupakan kebijakan pendidikan yang strategis dan memiliki potensi besar untuk menciptakan keadilan pendidikan sekaligus mendorong kesejahteraan sosial. Namun, jika pelaksanaannya terus dibiarkan longgar tanpa evaluasi yang serius, program ini berisiko menjadi kebijakan simbolik penuh angka, minim makna. Padahal, kebijakan seperti KIP-Kuliah bukan hanya soal membantu mahasiswa berkuliah, tetapi tentang menciptakan kesejahteraan sosial yang lebih luas. Ketika bantuan diberikan secara tepat sasaran, anak-anak dari keluarga prasejahtera memiliki peluang nyata untuk keluar dari kemiskinan, memperoleh pekerjaan yang layak, dan memperbaiki kehidupan keluarganya. Jika dikelola secara sungguh-sungguh, KIP-Kuliah dapat menjadi alat nyata bagi negara untuk membangun masa depan yang lebih setara bukan hanya di sektor pendidikan, tetapi juga dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.
ADVERTISEMENT