Konten dari Pengguna

Perasaan Benci dan Korelasinya dengan Otak Kita

Eka Maharani Asyura Praptono
Mahasiswi Psikologi, Universitas Brawijaya
4 Desember 2022 19:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Eka Maharani Asyura Praptono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perasaan benci yang direfleksikan dalam bentuk ujaran kebencian (Foto: Eka Maharani Asyura Praptono)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perasaan benci yang direfleksikan dalam bentuk ujaran kebencian (Foto: Eka Maharani Asyura Praptono)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di era modern dan digital saat ini, istilah kebebasan dalam berbicara menjadi hal yang tidak asing dimana setiap individu bebas untuk mengungkapkan, menyebarkan, mencari, dan menerima segala gagasan ataupun informasi dalam bentuk apa pun dan kapan pun. Gagasan atau informasi yang diungkapkan pun beragam sesuai dengan kondisi mental kita pada saat itu.
ADVERTISEMENT
Berkaca pada realita, pada dasarnya masyarakat masih sering salah mengartikan maksud dari kebebasan dalam berbicara. Masyarakat cenderung menjadi semena-mena dalam mengkritik sesuatu yang biasanya berujung pada ujaran kebencian. Ujaran kebencian adalah ungkapan yang kasar atau ancaman terhadap suatu individu atau kelompok tertentu, baik secara lisan maupun tertulis. Sehubungan dengan ujaran kebencian yang merajalela di media sosial, mari kita kaji perasaan benci tersebut secara teoritis.
Konsep kebencian
Staub (2005) memandang kebencian sebagai emosi kompleks yang mencakup ketakutan dan kemarahan yang terkait dengan persepsi ancaman dari kebencian terhadap orang lain.
Rasa benci tidak bisa disamakan dengan perasaan negatif lainnya, misalnya rasa marah. Rasa marah memiliki tujuan emosi untuk mengubah target dengan cara menyerang baik itu secara verbal maupun fisik. Lantas, ketika target berubah sesuai dengan kehendak kita, rasa marah kita akan berkurang atau bahkan hilang. Hal ini berbeda dengan rasa benci dimana meskipun target berubah sesuai dengan kehendak kita, hal itu tidak bisa mengurangi atau menghilangkan rasa benci kita terhadap target. Maka dari itu, terkadang manusia membenci bukan karena perilaku yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok, melainkan karena siapa dia atau siapa mereka.
ADVERTISEMENT
Penyebab kebencian
Perasaan benci bisa datang karena perilaku tidak menyenangkan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap kita, baik itu dalam bentuk kejahatan, kekerasan, maupun pengkhianatan.
Tak hanya itu saja, rasa benci itu terkadang muncul sebagai upaya pengalihan emosi kita terhadap diri sendiri atas rasa malu, ketidakmampuan, dan ketidakadilan yang kita alami. Misalnya, ketika ada seorang mahasiswa yang aktif bertanya dan menjawab di kelas, mungkin ada beberapa dari sekian mahasiswa yang memiliki perasaan tidak suka terhadap keaktifan mahasiswa tersebut. Perasaan tidak suka itulah yang berkembang menjadi perasaan benci sehingga menganggap mahasiswa tersebut berlagak pintar, cari perhatian, dan lain sebagainya. Perasaan benci tersebut timbul bukan karena perilaku aktif si mahasiswa, melainkan karena ketidakmampuan mahasiswa lain untuk aktif pada saat kelas berlangsung.
ADVERTISEMENT
Faktor kebencian bisa meningkat dan menyebar
Pertama, kebencian sering disebarkan di antara anggota suatu kelompok sehingga kebencian yang awalnya hanya dirasakan suatu individu bisa mempengaruhi emosi individu lain dalam kelompok yang sama.
Kedua, korban kolektif akan menyimpan kebencian hingga lintas generasi yang mungkin dapat mengarahkan penilaian peristiwa di masa depan.
Ketiga, kurangnya interaksi langsung dengan target kebencian dapat memperkuat kebencian yang dimiliki.
Korelasi antara otak dengan perasaan benci dirasakan
Terdapat suatu penelitian yang dilakukan oleh Semir Zeki dan John Paul Romaya dari (2008) dimana mereka memindai otak dari subjek penelitian ketika si subjek ini diperlihatkan wajah seseorang yang mereka benci dan yang tidak.
Hasilnya, terdapat beberapa bagian otak yang berkorelasi dengan perasaan benci yang kita alami, diantaranya adalah anterior cingulate, hipokampus, bagian temporal tengah, dan korteks orbitofrontal yang terkait dengan kemarahan dan ancaman. Selain itu, ada bagian lain yang juga menjadi aktif, yaitu bagian basal ganglia tepatnya di zona kortikal dimana zona ini menggerakan sistem motorik untuk mengantisipasi serangan atau pertahanan. Ada pula putamen dan insula dimana putamen berkaitan dengan persepsi penghinaan, rasa jijik, dan ketakutan, sementara insula berkaitan dengan ekspresi jijik dan penilaian rangsangan yang tidak menyenangkan.
ADVERTISEMENT
Penutup
Perasaan benci yang kita rasakan sebenarnya adalah hal manusiawi. Meski begitu, kita harus bisa merespons dan mengurangi rasa benci yang kita rasakan agar tidak menyakiti diri kita dan orang lain dengan cara mencintai diri sendiri dan mengeksplorasi serta bertanya ke diri kita terkait alasan kita membenci, seberapa benci kita terhadap orang itu, apa yang sudah dia lakukan ke kita yang menimbulkan kebencian tersebut, dan langkah apa yang tepat untuk merespons rasa benci itu. Selain itu, coba untuk menghargai orang lain atau bahkan coba untuk memposisikan diri kita di posisi orang lain tersebut karena mungkin kita membenci karena kita kurang mengenali lebih dalam orang tersebut.
Daftar Pustaka
Fischer, A., Halperin, E., Canetti, D., & Jasini, A. (2018, October). Why We Hate. 10(4), 309-320. 10.1177/1754073917751229
ADVERTISEMENT
Hate Speech Bukan Bagian Dari Free Speech • Amnesty Indonesia. (2022, June 17). Amnesty International Indonesia. Retrieved November 30, 2022, from https://www.amnesty.id/hateisnotfreespeech/
Prisilia, R. (2022, May 18). Benci dalam Perspektif Psikologi. LTS. Retrieved November 30, 2022, from https://ltsindonesia.com/artikel/benci-dalam-perspektif-psikologi
Zeki, S., & Romaya, J. P. (2008, October 29). Neural Correlates of Hate. Plosone. 10.1371/journal.pone.0003556