Konten dari Pengguna

Mengenal Stunting Syndrome Melalui Pendekatan Siklus Hidup

Eka Puspita Sari
Penulis adalah ASN Penyuluh KB di unit kerja Perwakilan BKKBN Provinsi Jawa Tengah dengan lokasi binaan Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen. Penulis yang juga seorang konselor menyusui dan ibu satu anak ini juga peduli terhadap kesehatan mental.
26 September 2021 21:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Eka Puspita Sari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Apa yang ada di benak kita saat mendengar kata “stunting”? Pasti akan terpikir tentang suatu kondisi dengan proporsi tubuh pendek yang terjadi pada usia bayi dan balita. Mengenal lebih jauh tentang stunting ternyata tidak lepas dari sejarah peradaban bangsa Indonesia. Dikutip dari Historia, stunting memiliki sejarah yang panjang dan dimulai sejak penjajahan Belanda pada awal abad ke 18. Pada saat itu terdapat kebijakan tanam paksa yang berakibat kelaparan besar-besaran di berbagai daerah di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kaum pribumi tidak dapat memikirkan mengenai gizi karena untuk pangan saja tidak mampu untuk mencukupi. Lebih lanjut, perburukan gizi ini terus menerus terjadi dari generasi ke generasi terlebih disaat pendudukan Jepang dimana segala akses makanan terbatas, dan hasil tanam harus disetorkan sehingga rakyat hanya makan seadanya.
Hingga pada tahun 1999 pemerintah memberikan kewenangan kepada daerah untuk dapat mengentaskan kasus kesehatan yang berada di wilayahnya, termasuk kejadian gizi buruk dan juga stunting. Meskipun begitu, kejadian stunting tidak lantas menghilang. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar di tahun 2018 anak usia di bawah dua tahun dengan kategori pendek dan sangat pendek masih terdapat 29,9% dari total populasi yang sama.
Hal ini tentu tidak sesuai dengan target RPJMN 2019 dimana prevalensinya 28%. Sedangkan di tahun selanjutnya Profil Kesehatan Indonesia menyatakan tren persentase pada balita usia 0-59 bulan sangat pendek dan pendek di Indonesia sejak tahun 2014 sampai tahun 2018 cenderung tidak mengalami perubahan yang berarti.
ADVERTISEMENT
Berbagai Penyebab Stunting dan Dampak Yang Ditimbulkan
Telah disebutkan dalam berbagai literatur bahwa penyebab stunting yang paling utama adalah kurangnya asupan gizi baik makro ataupun mikro secara kronis. Namun secara spesifik, stunting dapat disebabkan penyebab internal maupun eksternal. Penyebab internal dapat dijabarkan tentang gizi calon ibu dan ibu hamil yang tidak mencukupi, kekurangan gizi intrauterine atau dalam kandungan, kurangnya pemberian Air Susu Ibu (ASI) sampai bayi berusia 6 bulan, pengenalan makanan pendamping ASI yang terlambat, makanan pendamping ASI yang tidak memadai baik dari segi kuantitas dan kualitas, gangguan penyerapan nutrisi karena penyakit infeksi, dan kurangnya pemahaman dalam penerapan pola asuh.
Sedangkan penyebab eksternal dapat berupa masalah ekonomi, kebersihan dan lingkungan, keamanan suatu negara, serta kebijakan dari pemerintah terkait komitmen penanggulangan stunting. Berbagai penyebab ini kemungkinan dapat berkaitan antara satu dengan lainnya.
ADVERTISEMENT
Dampak yang ditimbulkan “stunting” ini juga tidak main-main. Dalam jangka pendek stunting dapat mengakibatkan seorang anak mengalami perkembangan dan kemampuan belajar (kognitif) yang buruk, peningkatan risiko infeksi yang berulang, dan potensi penyakit tidak menular.
Sedangkan dalam jangka panjang, stunting dapat menyebabkan peningkatan kerentanan gangguan metabolisme tubuh, resistensi insulin dan risiko yang lebih tinggi untuk berkembang menjadi diabetes, hipertensi, dislipidemia, penurunan kapasitas kerja dan reproduksiyang kurang baik di masa dewasa. Bahkan menurut Dewey dan Black dalam penelitian mereka di tahun 2008 dan 2011 menyebutkan bahwa anak stunting yang mengalami kenaikan berat badan yang cepat setelah berusia 2 tahun memiliki peningkatan risiko menjadi kelebihan berat badan atau obesitas di kemudian hari.
Waspadai Stunting Dalam Siklus Hidup
ADVERTISEMENT
Stunting dimulai sejak berada di dalam kandungan sampai dengan dua tahun pasca kelahiran. Masa-masa ini disebut masa periode kritis karena segala hal yang terjadi akan menentukan fase-fase kehidupan setelahnya. Sama seperti halnya yang telah kita bahas yaitu mengenai sejarah stunting yang hingga saat ini masih belum terputus.
Sehingga tidaklah salah jika kita sebut bahwa stunting merupakan sebuah siklus. Ungkapan stunting itu pasti pendek, tetapi pendek belum tentu stunting didasarkan pada kategori patologis atau tidak penyebabnya. Setidaknya perlu diketahui terdapat 4 fase kehidupan yang dapat menjadi “window of opportunity” dalam kejadian stunting. Fase-fase tersebut antara lain fase kehamilan (janin), fase bayi sampai berusia usia 2 tahun, fase kanak-kanak, dan fase pubertas (remaja).
ADVERTISEMENT
Jika melihat fase dari siklus kehidupan, maka risiko yang paling berpotensi meneruskan “tradisi” stunting adalah para perempuan yang kelak akan menjadi ibu. Hal ini dikarenakan perempuan yang pada masa kanak-kanaknya juga mengalami stunting akan cenderung memiliki keturunan yang stunting, menciptakan siklus kemiskinan antargenerasi dan berkurangnya sumber daya manusia yang sulit diputus, meskipun jendela peluang potensial telah diidentifikasi. Inilah yang kelak disebut sindrom stunting (stunting syndrome).
Sekumpulan Ibu Pasca Melahirkan (Dok. pribadi)
Mengapa harus dari pendekatan siklus hidup? Karena melalui pendekatan inilah kondisi kesehatan seseorang pada satu tahap dapat diperkirakan yang apabila tidak tertangani dengan baik maka dapat berdampak negatif pada fase kehidupan selanjutnya. Dengan kata lain, kondisi kesehatan pada fase sebelumnya mempengaruhi bagaimana kondisi kesehatan pada fase selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Tentunya sebagai orang tua, kita tidak ingin anak kita akan meneruskan tradisi ini kepada generasi selanjutnya. Sehingga penting bagi kita, para orang tua bahkan calon orang tua dalam memahami bagaimana cara pencegahan stunting dan mengetahui apa saja penyebabnya. Harapannya, generasi Indonesia akan terbebas dari stunting di tahun-tahun berikutnya.