Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Sistem Tersendat: Inkompetensi Manajerial sebagai Akar Masalah
10 Mei 2025 14:03 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Eka Setiyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Fenomena sistem kerja yang tersendat dalam berbagai lembaga, baik pemerintahan maupun swasta, telah menjadi persoalan klasik yang terus berulang dalam penyelenggaraan kegiatan organisasional di Indonesia. Meskipun telah banyak upaya perbaikan dilakukan, mulai dari digitalisasi hingga restrukturisasi kelembagaan, masalah efisiensi dan efektivitas kinerja tetap menjadi kendala utama. Berbagai kajian dan pengamatan dari para pakar manajemen organisasi menunjukkan bahwa akar permasalahan sistem yang tersendat terletak pada kompetensi manajerial para pemimpin lembaga yang belum memadai.
ADVERTISEMENT
Kata "inkompetensi" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai ketidakcakapan, ketidakmampuan, atau ketidaksanggupan dalam melaksanakan tugas dengan baik dan benar. Sementara "manajerial" merujuk pada segala sesuatu yang berhubungan dengan manajer atau pengelola organisasi. Maka ketika berbicara tentang inkompetensi manajerial, kita merujuk pada ketidakmampuan para pengelola organisasi dalam menjalankan fungsi-fungsi manajemen secara efektif.
Dr. Widodo Supriyadi, pakar manajemen dari Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa inkompetensi manajerial mencakup beberapa dimensi krusial. "Pemimpin yang tidak kompeten umumnya lemah dalam empat aspek utama manajemen: perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian," ujarnya dalam wawancara eksklusif.
Perencanaan yang Tidak Matang
Lemahnya perencanaan strategis kerap menjadi titik awal tersendat-sendatnya sistem organisasi. Penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Kajian Kebijakan Publik (LKKP) pada tahun 2024 menunjukkan bahwa 67 persen organisasi pemerintah dan 43 persen perusahaan swasta di Indonesia tidak memiliki rencana strategis yang terukur dan realistis.
ADVERTISEMENT
"Banyak pemimpin organisasi yang terjebak dalam pemikiran jangka pendek dan cenderung reaktif terhadap permasalahan," ungkap Prof. Dr. Ratna Megawati, Direktur LKKP. "Akibatnya, organisasi tidak memiliki peta jalan yang jelas untuk mencapai tujuan, sehingga mudah terganggu oleh perubahan-perubahan eksternal."
Kasus yang terjadi pada Dinas Perizinan di beberapa daerah dapat dijadikan contoh. Meskipun telah menerapkan sistem online, proses perizinan masih berjalan lambat karena tidak adanya perencanaan yang matang terkait transisi dari sistem manual ke digital. Banyak prosedur yang tumpang tindih dan tidak efisien. Akibatnya, masyarakat tetap harus menunggu berhari-hari untuk mendapatkan izin yang seharusnya bisa diproses dalam hitungan jam.
Pengorganisasian Sumber Daya yang Buruk
Aspek kedua adalah lemahnya kemampuan mengorganisasi sumber daya, baik manusia maupun material. Penelitian dari Institut Manajemen Nasional (IMN) menemukan bahwa 58 persen instansi publik mengalami ketidaksesuaian antara kompetensi pegawai dengan posisi yang ditempati.
ADVERTISEMENT
"Penempatan orang yang tidak tepat pada posisi yang tidak sesuai (misplacement) menciptakan inefisiensi sistemik," jelas Dr. Bambang Wisnu Hadi, peneliti senior IMN. "Selain itu, banyak pemimpin yang gagal mendistribusikan beban kerja secara proporsional, sehingga terjadi ketimpangan beban kerja antarunit."
Di sektor swasta, fenomena ini juga kerap terjadi, terutama pada perusahaan keluarga yang masih kental dengan praktik nepotisme. Penelitian dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menunjukkan bahwa perusahaan yang menempatkan kerabat pada posisi strategis tanpa mempertimbangkan kompetensi mengalami penurunan produktivitas hingga 31 persen dibandingkan dengan perusahaan yang menerapkan merit system.
Fungsi Pengarahan yang Lemah
Kemampuan memimpin, menginspirasi, dan mengarahkan bawahan merupakan aspek krusial dalam manajemen yang sering absen pada pemimpin yang tidak kompeten. Survei yang dilakukan oleh Gallup Indonesia pada akhir tahun 2024 menunjukkan bahwa hanya 23 persen karyawan di Indonesia yang merasa terinspirasi oleh pemimpinnya, jauh di bawah rata-rata global yang mencapai 35 persen.
ADVERTISEMENT
"Banyak pemimpin yang tidak mampu mengomunikasikan visi dengan jelas kepada bawahan, sehingga arah organisasi menjadi kabur," kata Dr. Annisa Widyastuti, psikolog organisasi. "Mereka juga sering gagal dalam menciptakan lingkungan kerja yang mendukung kreativitas dan inovasi."
Dampaknya, motivasi kerja karyawan menurun dan tingkat turnover meningkat. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa kasus pengunduran diri karyawan akibat ketidakpuasan terhadap kepemimpinan mencapai angka tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Pengendalian dan Evaluasi yang Tidak Efektif
Aspek keempat adalah lemahnya fungsi pengendalian dan evaluasi. Menurut hasil audit yang dilakukan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, 72 persen instansi pemerintah tidak memiliki sistem evaluasi kinerja yang objektif dan terukur.
"Banyak pemimpin yang enggan melakukan evaluasi karena takut menghadapi kegagalan," ungkap Dr. Hendra Sutisna, peneliti kebijakan publik. "Evaluasi sering kali dilakukan hanya sebagai formalitas, tanpa ada tindak lanjut yang konkret untuk memperbaiki sistem."
ADVERTISEMENT
Dampak Sistemik
Inkompetensi manajerial ini berdampak luas pada berbagai aspek kinerja organisasi dan sistem pelayanan publik. Beberapa dampak nyata yang dapat diamati antara lain:
Pelayanan Publik yang Buruk
Di sektor publik, inkompetensi manajerial menyebabkan terhambatnya pelayanan kepada masyarakat. Data dari Ombudsman Republik Indonesia menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2024, terdapat lebih dari 12.000 laporan terkait buruknya pelayanan publik, meningkat 18 persen dari tahun sebelumnya.
"Birokrasi yang berbelit, lambannya proses administrasi, hingga arogansi petugas merupakan manifestasi dari lemahnya kepemimpinan," jelas Komisioner Ombudsman, Dr. Farid Wajdi.
Pemborosan Anggaran
Inkompetensi manajerial juga berkontribusi pada pemborosan anggaran. Menurut data dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), potensi kerugian negara akibat inefisiensi anggaran mencapai Rp57 triliun pada tahun 2024.
"Banyak proyek pemerintah yang mangkrak atau tidak memberikan manfaat optimal karena perencanaan yang buruk dan pengelolaan proyek yang tidak profesional," kata Dr. Surya Dharma, ekonom dari Universitas Gadjah Mada.
ADVERTISEMENT
Rendahnya Daya Saing
Pada level makro, inkompetensi manajerial berdampak pada rendahnya daya saing nasional. Laporan Global Competitiveness Index terbaru menempatkan Indonesia pada peringkat 45 dari 140 negara, turun tiga peringkat dari tahun sebelumnya. Salah satu faktor yang menyebabkan penurunan ini adalah kualitas institusi dan birokrasi yang masih rendah.
"Dalam era globalisasi dan persaingan yang semakin ketat, kualitas kepemimpinan dan manajemen menjadi faktor penentu daya saing," tegas Prof. Dr. Ari Kuncoro, ekonom senior.
Solusi Strategis
Untuk mengatasi permasalahan inkompetensi manajerial, diperlukan pendekatan komprehensif dan sistematis. Beberapa solusi yang dapat diterapkan antara lain:
Penguatan Sistem Merit
"Keberhasilan reformasi birokrasi sangat tergantung pada implementasi sistem merit secara konsisten," ujar Dr. Eko Prasojo, pakar administrasi publik. "Penempatan orang pada posisi kepemimpinan harus didasarkan pada kompetensi dan prestasi, bukan pada kedekatan politik atau nepotisme."
ADVERTISEMENT
Kementerian PANRB telah menginisiasi Program Akselerasi Sistem Merit yang bertujuan memastikan bahwa setiap posisi pimpinan diisi oleh individu yang memenuhi kualifikasi. Program ini mencakup seleksi terbuka, penilaian kompetensi, dan evaluasi kinerja secara berkala.
Pengembangan Kapasitas Kepemimpinan
Investasi pada pengembangan kapasitas kepemimpinan merupakan langkah krusial untuk mengatasi inkompetensi manajerial. Lembaga Administrasi Negara (LAN) telah mengembangkan program Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan dengan kurikulum yang lebih berorientasi pada pemecahan masalah dan inovasi.
"Paradigma kepemimpinan harus bergeser dari sekedar jabatan menjadi kepemimpinan yang transformatif dan adaptif," tegas Dr. Agus Dwiyanto, mantan Kepala LAN.
Penerapan Teknologi dalam Manajemen
Pemanfaatan teknologi informasi dapat membantu mengatasi berbagai permasalahan manajerial. Implementasi sistem informasi manajemen yang terintegrasi memungkinkan pemimpin untuk mengambil keputusan berdasarkan data yang akurat dan real-time.
ADVERTISEMENT
"Teknologi dapat meminimalisir subjektivitas dalam pengambilan keputusan dan meningkatkan transparansi," jelas Dr. Rhenald Kasali, guru besar manajemen.
Reformasi Budaya Organisasi
Inkompetensi manajerial sering kali berakar pada budaya organisasi yang tidak sehat. Reformasi budaya organisasi menjadi prasyarat untuk menciptakan lingkungan kerja yang mendukung profesionalisme dan kinerja tinggi.
"Budaya kerja yang mengedepankan integritas, kolaborasi, dan inovasi perlu ditanamkan di setiap level organisasi," tegas Dr. Irfan Abubakar, peneliti budaya organisasi.
Sistem yang tersendat-sendat dalam berbagai sektor di Indonesia tidak akan dapat diatasi tanpa adanya perbaikan signifikan pada kompetensi manajerial para pemimpin. Inkompetensi manajerial telah menjadi akar masalah yang menghambat kemajuan dan daya saing bangsa.
Memperkuat kapasitas kepemimpinan harus menjadi agenda prioritas, baik di sektor publik maupun swasta. Reformasi sistem merit, pengembangan kapasitas kepemimpinan, pemanfaatan teknologi, dan transformasi budaya organisasi merupakan langkah-langkah strategis yang perlu ditempuh secara simultan dan konsisten.
ADVERTISEMENT
Dengan pemimpin yang kompeten dan berintegritas, sistem akan berjalan lebih efisien, pelayanan kepada masyarakat akan meningkat, dan pada akhirnya, kesejahteraan dan daya saing bangsa akan mengalami peningkatan yang signifikan.
"Masa depan bangsa ada di tangan para pemimpin yang kompeten. Inilah saatnya kita mengatasi inkompetensi manajerial sebagai akar masalah sistem yang tersendat," pungkas Prof. Dr. M. Mahfud MD, pengamat politik dan kebijakan publik.