Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Gemetaran Saat Berkunjung ke Makam Bapak Komunis Vietnam, Ho Chi Minh
2 Oktober 2019 12:28 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Eka Situmorang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Terik matahari Hanoi langsung menyapa saat kami menunggu datangnya taksi. Meskipun siang itu cuaca Hanoi sedang panas-panasnya, namun tak menyurutkan keinginan kami menjelajah ibu kota Vietnam yang bergabung dengan ASEAN di tahun 1995 itu.
“Where are you going?” tanya pengemudi taksi begitu kami masuk ke dalam mobil.
ADVERTISEMENT
“Ba Dinh Square,” jawab saya singkat sambil memasang sabuk pengaman dan memastikan anak serta mama saya aman dan nyaman di dalam kendaraan.
“Nice,” balas pengemudi taksi lagi sambil menganggukkan kepala dan tersenyum lebar. Meski sekilas, saya sempat menangkap sorot rasa bangga dari sudut matanya.
Ba Dinh Square merupakan lokasi di mana Ho Chi Min, presiden pertama Vietnam, bersemayam. Seperti para pemimpin komunis lainnya yaitu Lenin dan Stalin, jasad Ho Chi Minh juga diawetkan alias dijadikan mumi. Alasannya agar para generasi berikutnya bisa terus mengenang jasa-jasanya. Iya, penduduk Vietnam memang dikenal begitu menyayangi Ho Chi Minh yang akrab dipanggil Paman Ho ini.
Ba Dinh Square
Pengemudi taksi menurunkan kami tepat di bagian depan Ba Dinh Square. Beberapa petugas berseragam (militer atau bukan, saya tidak paham) terlihat mondar-mandir berjaga sambil memanggul senjata. Kami mendekat menuju ke sebuah jalan setapak yang nampak seperti jalur masuk, namun belum juga masuk, langkah kami sudah dihentikan.
ADVERTISEMENT
“&*^%$#@?” tanya salah satu penjaga dengan nada suara tajam.
“Sorry, we only understand English,” jawab saya gemetar. Bukan apa-apa, ternyata ngeliat senapan gede berwarna hitam pekat itu lumayan mengintimidasi, bikin takut juga ya.
Anyway, saat kami di Vietnam ini, banyak orang mengajak kami bicara dalam bahasa setempat. Enggak heran sih kalau kami disangka orang lokal, wajah orang Vietnam tuh memang mirip-mirip sama orang Indonesia lho.
Menjawab penjaga yang bertanya tadi, Adrian, suami saya, menjelaskan niat kami untuk mengunjungi makam Ho Chi Minh. Lagi-lagi saya melihat sorot mata bangga dari para penjaga tersebut. Setelah manggut-manggut, mereka memberikan petunjuk pintu masuk bagi masyarakat umum berada. Ternyata kami salah pintu, hehehe. Pintu masuk ada di sisi satunya lagi sekitar 500 meter jalan kaki.
ADVERTISEMENT
Beruntung, trotoar di bagian luar Ba Dinh Square ini lebar dan teduh karena banyak pepohonan rindang. Jalan kaki 500 meter di siang hari bolong enggak terlalu bikin lelah.
Selain merupakan lokasi monumen makam, di Ba Dinh Square terdapat 2 tempat wisata lainnya yang bisa kita kunjungi yaitu One Pillar Pagoda dan Museum Ho Chi Minh.
Di lapangan ini juga sering diadakan banyak acara seperti perayaan parade nasional untuk mengenang pembacaan deklarasi kemerdekaan yang dilakukan oleh Ho Chi Minh pada tanggal 2 September 1945. Berselang 3 minggu saja dari proklamasi kemerdekaan Indonesia lho.
Setelah 10 menit jalan kaki, kami menemukan pintu masuk yang tadi disebutkan penjaga. Terlihat antrean panjang orang-orang yang hendak berkunjung juga.
ADVERTISEMENT
Untuk bisa masuk ke Ba Dinh Square, kita mesti melewati security control yang cukup ketat. Jaket dan topi dibuka, tas diperiksa, dan kita harus melewati alat X-Ray. Yah, kayak kalau lagi mau terbang naik pesawat aja. Sebelum beranjak, salah satu petugas menerangkan bahwa hari ini mausoleum ditutup namun kita boleh mendekat sampai batas tertentu.
“Kita balik aja deh, Ka,” kata mama saya begitu mendengar pengumuman betugas.
“Yah, penasaran mau liat, Ma,” jawab saya berkeras. Well, sudah sampai Hanoi masa enggak mampir ngeliat makam Ho Chi Minh, Sang Bapak Komunis Vietnam sih? Rugi dong.
Gemetar Dihardik Petugas di Monumen Makam Ho Chi Minh
Kami pun berjalan kaki di tengah lapangan luas menuju mausoleum. Meski terdapat jalur khusus pejalan kaki, namun terik matahari yang begitu menyengat tetap menembus atas dan membuat pusing kepala.
ADVERTISEMENT
“Panas, Ka,” keluh mama saya lagi.
“Tapi saya mau foto lebih dekat, Ma. Mama tunggu di sini ya.”
Kemudian saya pun mencoba mendekat, ingin mengambil gambar dari jarak lebih pendek. Lagi asyik-asyiknya memotret, tiba-tiba dari arah samping terdengar suara keras dengan nada lantang dan tajam. Membuat saya terlonjak kaget.
“#$%^&*@!” Sang Penjaga berteriak dalam bahasa Vietnam yang saya enggak paham apa artinya.
“What? I just wanna take a picture!” seru saya sambil mengangkat kamera yang dibalas penjaga dengan tatapan mata kejam penuh amarah. Alamak! Ngeri banget ngeliatnya, matanya melotot dengan sikap tubuh waspada. Siap menyerang seolah saya ini musuh.
Gila, ini nyali langsung drop. Dibentak penjaga aja udah bikin jiper, apalagi petugas penjaga di negara asing yang memegang senapan laras panjang gede banget. Jantung saya berdegup keras. Kalau sampai salah komunikasi, bisa berabe nih. Batin saya berteriak.
Melihat isyarat tangan petugas yang terus bergerak maju mundur menyuruh saya pergi, yah persis seperti mengusir anak ayam, saya pun mundur. Meskipun masih pengin motret dan pengin tahu lebih dalam tentang monumen makam ini, tapi merasakan gelagat yang kurang enak, saya memilih cabut aja.
ADVERTISEMENT
Apalagi setelah melihat sorot mata garang petugasnya, saya langsung lari tunggang langgang mengejar keluarga yang berdiri di kejauhan. Enggak mau ambil risiko, Cyin! Gemetar abis.
“Kenapa?” tanya Adrian begitu melihat saya datang tergopoh-gopoh dengan keringat dingin mengucur deras.
“Kena bentak penjaga,” jawab saya kalem.
“Makanya, kamu itu udah dibilang cuma boleh motret sampe batas tertentu kok ya nekat?” ledek Adrian sambil geleng-geleng kepala.
Saya diam seribu bahasa sambil mengucapkan selamat tinggal pada keinginan ngobrol-ngobrol sama petugas. Maklum, kebiasaan travel blogger , maunya cari tahu dan mengulik lebih dalam. Hehehe. Kalau lagi baris berbaris sih petugasnya keliatan harmless ya, tapi begitu udah mulai ngomong, beuh... Jantung langsung empot-empotan kayak mau copot! Hahaha.
Dari kejauhan, saya memandangi tempat peristirahatan terakhir Ho Chi Minh yang dibangun sejak September 1973 dan resmi digunakan mulai 29 Agustus 1975 itu. Di atas bangunan dengan tinggi 21,6 meter dan lebar 41,2 meter ini, konon tertulis “Khong co gi quy hon doc lap tu do” kalimat populer dari Pamam Ho yang artinya "Tidak ada yang lebih berharga dibandingkan kemerdekaan dan kebebasan”. Namun karena saya enggak bisa mendekat, saya tidak bisa melihat tulisan tersebut.
ADVERTISEMENT
Oh ya, jika mau mengunjungi tempat ini, mending riset dulu soal waktu bukanya karena biasanya Mausoleum Ho Chi Minh ini tutup pada hari Senin dan juga dari September ke November untuk perawatan jenazah plus bersih-bersih monumen.
Anyway, meskipun sudah kena hardik petugas tapi asli, saya masih penasaran pengin mampir lagi dan kalau bisa masuk ke dalam. Hahaha, saya enggak kapok justru tertantang.
Kalau teman kumparan, pernah punya pengalaman dibentak oleh petugas penjaga di negara asing?
Salam,
Eka Situmorang-Sir