Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral: Lambang Toleransi Beragama

Eka Situmorang
Curious soul who loves travelling and food. Mom of one. Travel Blogger. Instagram : ceritaeka. Blog at http://ceritaeka.com and http://ekalagi.com
Konten dari Pengguna
27 Mei 2019 17:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Eka Situmorang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hari masih pagi saat saya sampai di areal parkiran Masjid Istiqlal, Jakarta. Lirih di kejauhan terdengar suara tukang parkir memandu seorang pengendara yang nampak kesulitan memundurkan mobilnya di area parkir yang, yah jujur saja memang terlihat sempit dan sudah padat dengan kendaraan lain.
ADVERTISEMENT
Sesaat kemudian sebuah keluarga yang terdiri dari ibu, bapak dan bocah kecil yang saya tebak usianya tak lebih dari 10 tahun keluar dari mobil putih mungil tadi. Sang ibu menggamit bocah lelaki. Di telapak tangan mereka terlihat Alkitab kecil berwarna hitam yang digenggam dengan erat seolah menggeggam berlian. Kemudian dengan santai mereka menyeberang jalan lalu melenggang menuju Gereja Katedral yang letaknya persis di depan Masjid Katedral.
Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Jakarta yang berdiri berdampingan (foto: Dokumen Eka Situmorang-Sir)
Untuk sesaat saya terhenyak melihat pemandangan tak lazim tersebut. Gimana ceritanya lapangan masjid menjadi tempat parkir mereka yang hendak ke gereja? Beruntung, keheranan saya tak berlangsung lama. Pemandu wisata masjid yang saya ikuti menjelaskan bahwa sudah menjadi hal yang lumrah bagi para jemaah untuk saling menggunakan lapangan parkir masing-masing tempat ibadah. Jadi pada hari Jumat, lapangan parkir Gereja Katedral digunakan pemeluk agama Muslim yang hendak melakukan salat Jumat. Sementara pada hari Minggu sebaliknya; persis seperti pemandangan yang sempat saya lihat tadi. Dan ternyata hal ini sudah berlangsung turun temurun dari tahun ke tahun. Saya garuk-garuk kepala karena baru tahu tentang hal ini.
ADVERTISEMENT
Soal parkir di lahan tempat ibadah ini adalah contoh kecil toleransi yang sehari-hari ada. Mundur sedikit ke masa Presiden Soekarno. Masih menurut pemandu wisata masjid bernama Kang Canda, konon katanya Bapak Proklamasi kita berkeinginan membangun tempat-tempat ibadah di seputaran Lapangan Banteng di mana sebelumnya Gereja Katedral Jakarta sudah berdiri sejak tahun 1901. Seraya menginisiasi pembangunan Masjid Istiqlal, Presiden Soekarno juga mengajak para petinggi pemeluk agama Buddha dan Hindu untuk mendirikan tempat ibadah di areal ini. Namun mengingat biaya yang mesti dikeluarkan, beberapa perwakilan dari kelompok tersebut menolak halus. Pertimbangannya adalah rasa tidak elok mengeluarkan biaya yang cukup besar di saat ekonomi Indonesia masih terseok-seok selepas kemerdekaan pada awal tahun 1960an. Pertimbangan yang menurut saya sangat bijaksana.
ADVERTISEMENT
Yang unik dari Masjid Istiqlal
Sudah beberapa kali saya masuk ke dalam Masjid Istiqlal namun pesona masjid terbesar di Asia Tenggara ini tak pernah pudar. Masjid Istiqlal selalu diagendakan menjadi bagian dari official visit tamu-tamu pemimpin negara lain seperti Lady Di, Barrack Obama, Bill Clinton dan masih banyak tokoh penting lainnya. Saat ini, selain sebagai tempat ibadah Masjid Istiqlal juga menjadi salah satu tujuan wisata religi. Cukup terkenal sebagai salah satu destinasi para traveller mancanegara.
Yang menarik, desainnya begitu efektif, tanpa menggunakan AC namun udara di dalam masjid terasa sejuk. Semilir angin masuk dari sela-sela bangunan yang dibangun dengan 2 material utama: stainles steel dan marmer.
Desain Masjid Istiqlal yang hemat listrik. Angin dapat menerabas dari sela-selanya. (foto: Dokumen Eka Situmorang-Sir)
Stainles steel dipesan dari Jerman dan kabarnya dapat bertahan hingga 1.000 tahun lamanya (how cute kayak judul lagu ya), sementara marmernya dipesan dari Tulungagung. Awalnya marmer hendak dipesan dari Italia namun sayang keuangan pemerintah sudah menipis karena dananya tersedot duluan untuk pembanguan Monas yang berbarengan dengan Masjid Istiqlal. Well, menurut saya ini blessing in disguise, saat saya melangkahkan kaki di lantai masjid yang mampu menampung hingga 200.000 orang ini, mamernya terasa adem dan halus lho. Produk bangsa sendiri juga nggak kalah bagus!
ADVERTISEMENT
Melangkah naik ke lantai 2, saya dapat melihat puluhan orang yang ada di lantai 1. Di sisi kanan adalah para pria sementara di sisi kiri adalah para wanita. Mereka dipisahkan oleh pagar besi setinggi pinggang orang dewasa. Ada yang duduk membaca Alquran, ada yang salat dan ada yang beristirahat. Terlihat begitu adem dan teduh. Hati saya rasanya maknyes melihat ini semua.
Bagian dalam Masjid Istiqlal. Dijepret dari lantai 2 dengan lantai 1 sebagai latarnya. (foto: Dokumen Eka Situmorang-Sir)
Ohya, dulunya lantai 1 digunakan oleh para pria saja sementara yang wanita salat di lantai 2. Namun itu semua berubah semenjak Ibu Megawati Soekarnoputri menjadi presiden Indonesia yang ke-5. Lho apa hubungannya presiden dengan tempat salat di Istiqlal?
Begini, Masjid Istiqlal adalah masjid kebanggaan nusantara dan sudah menjadi tradisi bagi presiden yang menjabat melakukan Salat Ied di Masjid yang didesain oleh Frederick Silaban ini. Dulunya pemisahan lantai tidak menjadi masalah karena presiden kita mulai dari yang pertama hingga ke-4 adalah pria. Beliau-beliau tesebut salat di bagian depan Masjid Istiqlal dengan dikawal paspampres hingga beberapa saf di belakangnya. Namun begitu kita memiliki presiden perempuan, dengan pertimbangan etika dan protokoler, rasanya tidak pas jika presiden perempuan salat di lantai atas atau di bagian belakang. Akhirnya dibuat kompromi di mana perempuan dan laki-laki dapat salat di lantai 1 namun dengan adanya pembatas. Kompromi yang manis menurut saya.
ADVERTISEMENT
Hingga Ibu Megawati tidak menjabat lagi, pembagian area salat ini tetap dilestarikan hingga sekarang walaupun kenyataannya presiden kita adalah pria. Alasannya sederhana saja, antisipasi jika suatu saat Indonesia memiliki presiden perempuan lagi. Ah, mendengar ini, hati saya kok berbunga-bunga senang ya. Hehehe.
Pemandangan hari Minggu di Gereja Katedral yang lokasinya tepat berada di depan Masjid Istiqlal. (foto: Dokumen Eka Situmorang-Sir)
Hanya membutuhkan waktu kurang dari satu jam buat saya mengelilingi Masjid Istiqlal. Saat saya hendak keluar, lagi-lagi saya merasakan dan melihat pemandangan kontras yang adem. Di belakang saya lamat terdengar salawat orang-orang yang beribadah sementara di bagian depan terdapat jemaah gereja yang berduyun-duyun melangkah untuk menghadiri Ibadah Minggu Misa yang kedua. Melihat itu, sudut mata saya sedikit basah. Begitu indahnya pemandangan ini, toleransi dan kebebasan beragama berjalan beriringan. Rukun dan damai. Doa saya, semoga Indonesia terus begitu.
ADVERTISEMENT
Salam,
Eka Situmorang-Sir