Ngabuburit Sambil Belajar Sejarah Lewat Wisata Masjid di Jakarta

Eka Situmorang
Curious soul who loves travelling and food. Mom of one. Travel Blogger. Instagram : ceritaeka. Blog at http://ceritaeka.com and http://ekalagi.com
Konten dari Pengguna
21 Mei 2019 19:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Eka Situmorang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bagaimana cara kamu ngabuburit sambil menunggu buka puasa? Jika belum ada ide, kenapa tidak berwisata mengunjungi masjid-masjid yang ada di sekeliling kita? Selain menambah wawasan mengetahui sejarah atau kisah pendirian sebuah masjid sekaligus bisa beribadah. Beberapa di antaranya yang cukup menarik, saya sarikan di bawah ini. Cuss, intip.
ADVERTISEMENT
Siapa yang menyangka di daerah Sunter yang mayoritas dihuni oleh etnis India terdapat sebuah masjid besar nan cantik? Masjid Ramlie Musofa yang didirikan oleh seorang keturunan Tionghoa Aceh ini berdiri tepat menghadap Danau Sunter. Terlihat mewah dan elegan dengan eksterior putih bersih yang menyatu dengan rumah-rumah glamor di sekelilingnya. Saking menyatunya sehingga mungkin orang-orang yang lewat tidak menyadari keberadaannya, termasuk saya. Padahal saya sering banget lho bolak-balik di area ini tapi baru ngeh baru-baru ini aja.
Masjid Ramlie Musofa (foto: dokumen Eka Situmorang-Sir)
Di area pendopo terdapat pahatan surat Al-Qari’ah di atas marmer hitam yang terdiri dari tiga bahasa yaitu Bahasa Arab, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Mandarin. Bukan tanpa alasan, di masjid ini pun Alquran juga disediakan dalam 3 bahasa demi memudahkan orang-orang yang ingin belajar agama Islam lebih dalam.
ADVERTISEMENT
Yang unik dari masjid yang mampu menampung jamaah antara 1.000 – 1.500 orang ini, speaker yang biasanya menghadap keluar masjid diposisikan menghadap ke dalam gedung untuk menjaga toleransi dengan lingkungan sekitar. Namun begitu, bukan berarti suara azan tidak terdengar, pada saat azan tiba maka muazin akan naik ke lantai 2 teras masjid lalu mengumandangkan suara azan dari sebuah mimbar di samping bedug besar yang terawat.
Bagian dalam Masjid Ramlie Musofa (foto: dokumen Eka Situmorang-Sir)
Belum pernah saya melihat masjid semewah ini, mulai dari interior dan eksteriornya yang terinspirasi dari arsitektur Taj Mahal India hingga fasilitas yang ada. Masjid 3 lantai ini memiliki 2 buah lift untuk kenyamanan jamaah naik turun saat beribadah.
Terletak di Kampung Bali yang padat di daerah Jembatan Besi I, Masjid Jami Angke Al-Anwar dibangun oleh seorang Muslim perempuan keturunan Tionghoa yang dinikahi oleh Bangsawan Banten pada abad ke-17.
ADVERTISEMENT
Bertemu dengan Bapak Biyan, keturunan ke-8 dari pendiri masjid ini, ada rasa sejuk yang langsung mengalir saat kami bercakap-cakap. Dengan air muka yang teduh dan suara yang halus, Bapak Biyan berkisah bahwa arsitektur masjid ini menceritakan peradaban pada saat itu yang penuh keragaman.
Bagaimana tidak? Masjid ini berdiri di Kampung Bali namun didirikan oleh seorang Tionghoa dengan perpaduan dari banyak kultur yang terlihat dari pintunya yang besar dan tinggi khas rumah Jawa, jendelanya yang melingkar mirip dengan desain Eropa, atapnya yang berbentuk piramida bertumpuk mirip dengan klenteng Tionghoa serta mimbarnya yang khas Arab.
Masjid Jami Angke Al-Anwar yang sedang direstorasi. Atap masjid berbentuk piramida bertingkat seperti klenteng. (foto: dokumen Eka Situmorang-Sir)
Saat saya berkunjung ke sini (Mei 2019) masjid yang sudah ditetapkan menjadi bangunan cagar budaya ini sedang direstorasi untuk mengembalikan arsitekturnya ke bentuk awal. Restorasi sudah dicanangkan dari tahun 2017 lalu dan sedianya akan selesai setelah lebaran nanti.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, di tengah segala kayu yang berserakan, debu yang beterbangan dan alat-alat pertukangan, aura sejuk nan tulus memancar kuat dari masjid yang berukuran 15 x 15 meter persegi ini. Islam yang ditunjukkan di sini adalah Islam yang meng-indonesia. Sungguh, saya ingin kembali lagi ke sini setelah restorasi selesai untuk belajar lebih dalam lagi mengenai kisahnya juga cerita tentang hidup bertoleransi di sini.
Satu lagi masjid yang sarat dengan sejarah adalah Masjid Jami Keramat Luar Batang yang berdiri pada abad ke-18. Dinamakan Luar Batang sesuai dengan nama julukan pendirinya yaitu Habib Husein bin Abubakar bin Abdillah Alaydrus (Habib Husein) yang dijuluki “Habib Luar Batang.”
Konon katanya, Habib Husein yang terkenal vokal menentang Belanda ini saat wafat dan akan dimakamkan di daerah Tanah Abang, jenazahnya menghilang keluar dari keranda (kurungan batang) hingga 3x. Lalu masyarakat berembug dan memakamkan beliau di area masjid yang dibangunnya. Hingga sekarang makamnya masih ada dan ramai dikunjungi peziarah.
Masjid Jami Keramat Luar Batang (foto: dokumen Eka Situmorang-Sir)
Masjid yang sudah direnovasi ini terletak di daerah Pasar Ikan, Jakarta Utara. Terdapat dua pintu masuk untuk ke sini, pintu depan dan pintu belakang tergantung jenis kendaraan yang dinaiki. Namun pintu manapun yang digunakan, untuk mencapai masjid, pengunjung akan melewati jalan-jalan sempit yang sedikit berbatu. Dulu sih katanya ada wacana akan dibuatkan trotoar agar masyarakat luar dapat lebih nyaman berkunjung, semoga dapat cepat terlaksana ya.
ADVERTISEMENT
Di tengah ruko-ruko padat di daerah Pasar Baru berdiri sebuah masjid dengan eksterior dominan kuning dan merah. Bisa dibilang saat itu adalah hari keberuntungan saya karena di bulan puasa masjid biasanya tutup di hari Minggu, namun saat itu masjid sedang buka dan bahkan bisa menerima kunjungan.
Bertemu dengan Ustaz Naga Gunadi yang memiliki nama asli Cui Chia Lung (Lung berari Naga), saya pun duduk manis mendengarkan keramahan beliau berkisah tentang masjid yang sudah diresmikan di tahun 1994 ini.
Yang unik dari masjid ini adalah, di bagian depan terdapat sebuah papan pengumuman yang berisikan data berapa jumlah orang yang sudah menjadi mualaf mulai dari tahun masjid berdiri. Pada umumnya di masjid-masjid lain, papan pengumuman akan berisi jumlah zakat dan infaq serta laporan pengeluarannya, namun di masjid ini berbeda. Menarik ya?
Bagian dalam Masjid Lautze yang dihiasi kaligrafi. (foto: dokumen Eka Situmorang-Sir)
Selain itu, masjid hanya beroperasi sesuai jam kantoran yaitu mulai pukul 09.00 – 17.00 dan ceramah dilakukan dengan bahasa Indonesia sehingga kalau mau mampir ke sini untuk salat Zuhur dan Asar tidak perlu kuatir enggak ngerti. Tenang aja, pasti paham karena menggunakan bahasa ibu pertiwi. Hehehe. Kemudian ada banyak kegiatan yang diinisiasi oleh masjid mulai dari belajar membaca Alquran hingga pengobatan gratis.
ADVERTISEMENT
Masjid terakhir yang saya kunjungi dalam rangkaian wisata masjid adalah Masjid Istiqlal. Masjid terbesar di Asia Tenggara yang uniknya didesain oleh seorang beragama Kristiani kesayangan Bapak Proklamator kita bernama Frederick Silaban ini mampu menampung hingga 200.000 orang. Berasal dari Bahasa Arab, Istiqlal berarti kemerdekaan pembangunannya dimulai dari tahun 60an namun baru dibuka untuk umum di tahun 1978.
Masjid Istiqlal (foto: dokumen Eka Situmorang-Sir)
Yang unik dari masjid yang terdiri dari 5 lantai (yang melambangkan rukun Islam dan juga Pancasila) ini dibangun tanpa penyejuk ruangan namun pengunjung tidak merasa gerah karena desainnya yang unik menggunakan marmer dan stainless stell.
Saya bangga sekali, Indonesia memiliki sebuah masjid berskala internasional yang ramai dikunjungi orang untuk beribadah dan juga melakukan wisata religi. Masjid Istiqlal ini sungguh adem dan sejuk serta merangkul semua orang. Sudah tiga kali saya berkunjung ke sini namun hati saya selalu berdesir bangga dan terasa sejuk.
ADVERTISEMENT
Oh ya, di saat bulan puasa ini, masjid selalu ramai karena ada donatur yang menyediakan makanan sahur dan berbuka hingga 7.000 paket jumlahnya. Nanti menjelang 10 hari terakhir masjid akan lebih ramai lagi dengan orang-orang yang beritikaf.
Jadi sudah berkunjung ke masjid mana saja di bulan Ramadan ini?
Salam,