Pengalamanku Hampir 'Gila' saat Cari Makan di Hanoi

Eka Situmorang
Curious soul who loves travelling and food. Mom of one. Travel Blogger. Instagram : ceritaeka. Blog at http://ceritaeka.com and http://ekalagi.com
Konten dari Pengguna
15 Juli 2019 18:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Eka Situmorang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Vietnam. Negara ke-7 yang bergabung ke dalam ASEAN ini menjadi salah satu tujuan wisata saya dan keluarga beberapa bulan lalu. Saya excited banget pengin ke sini, um. Lebih ke arah penasaran, bagaimana sih rasanya masuk ke negara komunis itu? Hahaha, aneh ya? Tapi namanya juga penasaran, kan? Sah-sah saja, dong.
Old Quarter, Hanoi (foto: dokumen pribadi Eka Situmorang-Sir)
Putus Asa Enggak Tahu Malu karena Kendala Bahasa
ADVERTISEMENT
Satu yang mencolok dari Vietnam adalah minimnya orang yang dapat berbahasa Inggris. Asli, susah banget kalau mau tanya-tanya. Banyak yang enggak ngerti dan begitu ada yang bisa ngomong Inggris, logatnya kental banget. Saya yang sudah buka telinga lebar-lebar pun tetap kurang paham saking medoknya aksen itu.
Namun, bukan berarti enggak bisa komunikasi lho, selama kami di sana kami bergantung penuh sama Google translate. Jadi ya lumayan deh bisa ngobrol sama sopir taksi atau pelayan resto. Cuma kami pernah ketiban sial (yang kalau diingat-ingat sekarang sih lucu), saat ponsel mati kehabisan baterai. Duh, tragedi Hanoi.
“Kak, kita makan makanan tradisional Vietnam, yuk!” ajak mama saya di sore hari selepas tur keliling kota.
ADVERTISEMENT
“Oke, ma. Satu kilometer dari hotel kayaknya ada restoran Vietnam bagus deh. Makan di sana saja kita,” jawab saya singkat.
Jadi masuklah kami ke sebuah restoran yang cukup bagus. Restoran ini dipilih dengan pertimbangan, kan bagus ya, mestinya ada yang bisa bahasa Inggris, dong. Ternyata zonk! Interior mewah tidak berbanding lurus dengan kemampuan berbahasa pelayannya. What was I thinking? Pertimbangan saya lemah banget. Hahaha.
Pelayannya enggak ada yang mudeng, bahkan pemiliknya pun enggak paham bahasa Inggris. Biar begitu, setelah kami duduk, mereka dengan sigap menyiapkan makanan untuk meja kami. Begitu semua terhidang kami bingung bagaimana cara memakannya karena ada begitu banyak sayuran dan daging mentah serta gorengan. Apa mesti direbus dulu? Atau harus digoreng? Tapi di mana hot pot atau kompor portable kayak di resto Jepang itu?
ADVERTISEMENT
Saya panggil pelayannya untuk minta penjelasan tapi setelah beberapa menit berusaha komunikasi, kami menyerah. Ternyata kami sama-sama enggak mudeng. Lagi putus asa begitu, anak saya merengek-rengek minta nasi putih. Saya makin bingung karena enggak tahu bagaimana cara bilangnya ke orang restoran. Hahaha. Dagelan banget nih gara-gara baterai ponsel abis jadi enggak bisa pakai Google Translate. Saya menepuk dahi, rasanya mau gila karena enggak ngerti bahasanya.
Didorong rasa putus asa, akhirnya tanpa tahu malu saya berdiri dan bertanya dengan suara keras ke seluruh penjuru restoran, “Is there anyone speaking English here?”
Mendadak restoran jadi hening, suara sendok garpu yang tadinya ramai berdenting senyap seketika. Saya bisa merasakan semua mata memandang kepada saya dan sungguh rasanya pengin menutup kepala pakai selimut atau apalah gitu. Tapi ya demi bisa makan akhirnya saya mengulangi lagi pertanyaan saya.
ADVERTISEMENT
“Is there anyone speaking English here?”
Beruntung ada satu pasangan yang juga tamu restoran di ujung ruangan mengangkat tangan dan akhirnya menjadi interpreter kami. Saya mengembuskan napas lega. Mereka jadi penyelamat kami! Hahaha. Dan setelah yadda yadda ngomong, ternyata restorannya enggak punya nasi putih. Jadi akhirnya kami memilih pindah restoran daripada anak saya cranky enggak makan nasi dan saya juga pusing karena terkendala bahasa.
Begitu keluar restoran saya bertanya lagi kepada mama saya, “Makan di mana kita, sekarang, ma?”
“Sudahlah makan ayam KFC saja ya. Biar cepat dan enggak pakai bingung tinggal tunjuk gambar menu aja,” jawab mama saya dengan sorot mata lelah dan lapar.
Saya bengong mendengar jawaban mama. Setelah insiden berdiri enggak tahu malu di restoran, masa nyerah sih? Penginnya dituntaskan saja cari makanan di resto Vietnam lain yang pelayannya bisa ngomong Inggris. Benar enggak? Namun, suami saya, Adrian, meyakinkan saya bahwa ini solusi yang tepat karena semua sudah kelaparan dan hari pun sudah malam.
ADVERTISEMENT
Ayam goreng dengan kearifan lokal Vietnam, ada selada dan mentimun. Foto: Dok. pribadi Eka Situmorang-Sir
Dan saya sepakat dengannya. Begitulah, menguap sudah rencana mencicipi makanan otentik Vietnam. Berganti jadi ayam goreng dari Kolonel Sanders yang di Jakarta saja gerainya banyak bertaburan. Ya ampun jauh-jauh ke Vietnam makannya ayam goreng juga! Hahaha.
Duh, kalau diingat bikin ngakak, apalagi bagian berdiri dan teriak minta bantuan. Cuma kalau dipikir-pikir, mending enggak tahu malu daripada kelaparan ya, kan? Hihihi.
Ho Chi Minh Museum. Foto: Dok. Pribadi Eka Situmorang-Sir
Selepas dari situ, saya memastikan baterai ponsel selalu terisi dan power bank juga selalu penuh. Ogah banget kalau sampai terulang insiden putus asa enggak bisa komunikasi karena kendala bahasa. Hahaha.
ADVERTISEMENT
Oh ya, ada banyak hal yang bisa dieksplor di Hanoi. Ibu Kota Vietnam ini bisa dijelajahi dalam dua hari dan tak jauh dari sana juga ada Ha Long Bay yang cantik itu. Artikel berikutnya saya akan cerita soal itu, ya. Stay tuned!
Kamu sudah pernah kelaparan dan ngomong bahasa 'tarzan' di negeri orang?
Salam,