Uji Nyali di Tebing Keraton

Eka Situmorang
Curious soul who loves travelling and food. Mom of one. Travel Blogger. Instagram : ceritaeka. Blog at http://ceritaeka.com and http://ekalagi.com
Konten dari Pengguna
17 Januari 2019 8:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Eka Situmorang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tebing Keraton (Foto: Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Tebing Keraton (Foto: Pribadi)
ADVERTISEMENT
Udara Bandung nan sejuk langsung memenuhi kabin mobil saat saya membuka jendela kendaraan. Ah, hawa Kota Kembang ini memang rasanya segar sekali. Saat itu kami berencana piknik ke Tebing Keraton namun (walau sudah dibantu GPS) ternyata enggak sampai-sampai. Saya mulai khawatir kesasar.
ADVERTISEMENT
Beruntung di tengah jalan kecil penuh hutan pinus ini saya melihat seorang bapak-bapak. Hmm, kalau menggunakan GPS (Global Positioning System) enggak bisa membantu, maka sekarang waktunya pakai GPS a.ka. Gunakan Penduduk Setempat. Dengan kata lain, tanya langsung! Hehehe.
“Pak, ke Tebing Keraton gimana caranya ya?” tanya saya penuh harap agar jangan sampai kesasar.
“Berhenti, berhenti, Neng. Yang mau ke Tebing Keraton berhenti! Parkir di sini,” kata bapak tadi.
Lha kalau berhenti di sini, tebingnya mana, pak? Kok enggak keliatan?” Tanya saya lagi sambil celingukan mencari pemandangan Tebing Keraton yang tadi sempat saya lihat di Instagram orang-orang.
“Tebing Keratonnya masih di atas sana, Neng. Masih 2 kilometer lagi.”
“Wah, masih jauh. Kok udah disuruh parkir di sini?”
ADVERTISEMENT
“Musim hujan, Neng. Rawan longsor atuh. Jalanan ke atas teh kecil banget. Mending naik ojek aja, bade jalan kaki juga bisa," imbuh bapak itu lagi dengan logat sundanya yang kental.
Saya dan Adrian, suami saya, berpandang-pandangan demi mendengar penjelasan bapak tersebut. Well, ini kali pertama kami ke Tebing Keraton. Jujur, kami enggak tahu medan atau jalannya seperti apa.
Akhirnya demi keselamatan bersama, kami pun parkir di tempat yang disarankan. Walaupun Adrian dan saya sendiri adalah pengendara terlatih (gini-gini saya sudah nyetir sampai Sumatera lho) tapi kami memilih untuk berhati-hati. Apalagi membawa keluarga buat piknik, wah mesti ekstra hati-hati lagi.
Pemandangan selama perjalanan menuju Tebing Keraton. Teduh memanjakan mata. (Foto: Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Pemandangan selama perjalanan menuju Tebing Keraton. Teduh memanjakan mata. (Foto: Pribadi)
Adrian memarkir mobil di tempat yang tadi diarahkan si bapak. Lalu kami pun turun dan tak berapa lama langsung dihampiri oleh mamang-mamang yang menawarkan ojek.
ADVERTISEMENT
Kalau tadi saya dipanggil neng, mamang yang ini memanggil saya teteh. Mungkin saya dianggap lebih tua. Lalu mendadak saya pengen olesin krim antiaging yang banyak. Hehehe.
Teh, mau naik ojek?”
“Sewanya berapa sampe atas, Mang?”
“Rp 50 ribu aja.”
“Hah, mahal bener?” tanya saya dengan mulut ternganga. Kalau enggak salah dengar tadi, jaraknya cuma 2 kilometer, lho kok harga sewa ojeknya selangit ya?
“Ini harga kesepakatan para ojek di sini, Teh. Enggak dimahalin kok. Namanya tempat wisata.”
Saya menghela napas panjang demi mendengar penjelasannya. Di satu sisi kesal karena jarak 2 kilometer tuh kalau pakai ojek online paling enggak nyampe ceban bayarnya, tapi di sisi lain saya paham ini untuk membantu penduduk lokal juga.
ADVERTISEMENT
“Enggak ada diskon nih, Mang? Kami rombongan lho. Ada 10 orang nih," saya mencoba menawar.
“Ini ojeknya PP (pulang-pergi) lho, teh. Diskon Rp 10 ribu deh. Jangan ditawar lagi ya, teh. Kalau nggak mau enggak apa-apa, bisa jalan kaki ke atas kok,” mamang ojek menambahkan dengan sopan.
Lagi, saya dan Adrian berpandang-pandangan. Setelah berembug, kami putuskan tetap naik ojek. Maklum bawa balita. Susah euy kalau mesti jalan kaki, nanti megap-megap lagi kayak waktu trekking di Curug Cimahi kemarin. Kan enggak lucu kalau gagal nyampe Tebing Keraton. Jadi, apa boleh buat, namanya butuh ya, Cyin! Biarpun harga ojeknya rada mihil ya tetep diambil juga.
Naik Ojek Walau Enggak Hujan dan Enggak Becek
ADVERTISEMENT
Segera setelah mendapat 10 ojek, saya dan keluarga pun menuju ke puncak Tebing Keraton. Awalnya saya sempat mikir kalau bakal lama cari ojeknya tapi ternyata cepat lho. Enggak nyangka ojeknya ada banyak.
Berpegangan erat pada besi sepeda motor di bagian belakang, perjalanan saya naik ojek pun dimulai. Brum brum brum.... Ojeknya ngetril! Ya ampun, beruntung banget tadi kami memutuskan untuk naik ojek aja daripada nyetir mobil sendiri.
Jalanannya berbatu, nanjak, naik turun, curam enggak karuan dan banyak tikungan tajam! Astaga, ngeri bener kalau ada mobil lain dan mesti berpapasan. Bisa jantungan. Alih-alih piknik malah bisa nyebur ke jurang. Hiiii. Amit-amit jangan sampai kejadian.
Lima menit kemudian kami pun sampai di pintu masuk Tebing Keraton, lima menit yang terasa panjang karena ngeri. Hahaha. Lalu setelah membayar karcis masuk sebesar Rp 12 ribu/orang kami pun bisa memasuki areal tebing yang hits banget di Bandung ini.
ADVERTISEMENT
Kemudian kami berjalan kaki pelan sekitar 10 menit lalu kami pun sampai di penghujung Tebing Keraton. Saat itu masih jam 10 pagi tapi sudah penuh sesak sama orang. Dengar-dengar sih bahkan mulai subuh saja tempat ini sudah ramai! Wow. Wajar sih, mungkin mereka mengejar matahari terbit atau mencari efek kabut yang sendu-sendu gimana gitu. Menurut saya foto dengan kabut manja itu memang kece sih.
Jalan setapak setelah pintu masuk Tebing Keraton/ (Foto: Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Jalan setapak setelah pintu masuk Tebing Keraton/ (Foto: Pribadi)
Gemetar di Tebing Keraton
Pemandangan di Tebing Keraton ini memang meluaskan hati. Mata dimanjakan dengan lembah hijau yang bikin hati langsung terasa damai. Belum lagi sepoi-sepoi angin yang menyapa, menambah adem suasana.
“Kamu enggak mau foto di sana?” Tanya Adrian menunjuk pada kumpulan batu besar di bibir jurang dengan pemandangan langsung menghadap lembah hijau.
ADVERTISEMENT
“Wah, mau!” Jerit saya senang dengan mata berbinar saat melihat lokasi yang ditunjuk Adrian.
“Hati-hati, ya.” Pesan Adrian saat melihat saya mulai melangkah menuju ke sana.
Perlahan kaki saya mencari pijakan. Jalan menuju ke bebatuan besar itu sedikit sulit rupanya. Pelan dan penuh perhitungan saya menjejakkan kaki di tanah lempung, tangan saya mencengkeram dengan erat bebatuan yang ada. Lalu setelah mendapatkan posisi enak, saya pun berpose.
Salah satu spot populer di Tebing Keraton  (Foto: Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu spot populer di Tebing Keraton (Foto: Pribadi)
Nice. Senyum.” Seru Adrian sambil memencet tombol kamera. “Coba naik ke atas batunya. Kayaknya keren deh.” Seru Adrian lagi mengarahkan gaya sambil menunjuk batu yang saya duduki.
Saya menuruti sarannya dan mulai memanjat batu besar di depan mata ini. Namun saat mau berpose, tak sengaja saya melihat ke bawah. Mendadak... Lutut saya gemetar, kaki saya lemas dan yang lebih parah jantung saya deg-degan parah. Mak, ternyata uji nyali banget di atas sini. Ngeriiiii!
ADVERTISEMENT
“Di sini aja fotonya, enggak berani naik ke pucuk batu,” teriak saya ke Adrian.
“Kenapa? Bagus tahu di atas batu.” Kata Adrian berusaha meyakinkan saya.
Ogah! Masih sayang nyawa. Udah, di sini aja potonyaaaaaa!” Seru saya lantang yang dijawab dengan senyuman oleh Adrian seolah memahami ketakutan saya. Lalu tanpa banyak cakap lagi, Adrian pun menjepretkan kameranya.
Cuma sebentar saya berfoto di sini, selain karena takut jatuh juga saya lihat antrean orang-orang yang berminat mengambil gambar di spot ini juga mulai mengular.
Batal Berfoto ala-ala selebgram di puncak batu. Jiper duluan. Hahaha  (Foto: Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Batal Berfoto ala-ala selebgram di puncak batu. Jiper duluan. Hahaha (Foto: Pribadi)
Begitu melihat hasil fotonya, saya tertawa. Posenya lucu. Niat hati pengen punya foto di atas batu ala-ala selebgram gitu, yang ada cuma foto ngangkang dari belakang. Hihihi. Well, saya tahu batas. Mending berhati-hati daripada mengambil risiko yang terlalu tinggi demi sebuah foto. Nyawa enggak ada serepnya. Betul?
ADVERTISEMENT
Oh iya, saat ini ada banyak fasilitas lain yang tersedia di Tebing Keraton. Yang suka kemping, sudah ada Camping Ground lho. Mushola dan toilet juga ada. Saung-saung tempat duduk manja juga sudah tersedia. Menara Pemantau pun sudah dibangun. Namun berhubung malas antrenya, saya urungkan keinginan ke Menara Pemantau. Cukuplah uji nyalinya di bebatuan tadi.
Anyway, kamu sudah pernah ke Tebing Keraton belum?
Salam,
Eka Situmorang-Sir