Belajar dari Pencak Intrinsik

Eka Ugi Sutikno
Sekarang di Serang, Banten. Ia sekarang mengajar di Universitas Muhammadiyah Tangerang dan Universitas Faletehan. Selain itu, ia anggota komunitas Kubah Budaya dan Madah Doa.
Konten dari Pengguna
19 September 2021 17:36 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Eka Ugi Sutikno tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Koleksi pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Koleksi pribadi
ADVERTISEMENT
Membaca fiksi, khususnya cerpen dan novel, memang mengasyikkan karena di dalamnya terdapat imajinasi penulis yang luar biasa tidak terduga. Sering kita akan sedih, senang, greget, terkejut, takut, hingga marah.
ADVERTISEMENT
Di lain sisi, sering juga kita dininabobokan oleh karya fiksi. Entah itu karyanya yang menjenuhkan atau malah tubuh kita yang lelah. Yang jelas adalah kita mesti mengetahui macam apa bacaan kita sehingga kita tidak membuang waktu secara percuma.
Hal ini sering dikatakan oleh guru saya bahwa kita harus mengetahui genre fiksi apa yang kita suka. Ketika kita suka dengan cerita horor maka rekomendasi yang yahud adalah ‘Dracula’ karya Bram Stoker, karya fiksi Edgar Allan Poe, dan trilogi ‘Mr. Mercedes’ karya Stephen King. Apabila kita suka cerita cinta, ambillah contoh dari ‘Layla Majnun’ karya Nizami Ganjavi atau ‘The Great Gatsby’ karya F. Scott Fitzgerald.
Untuk cerita detektif, kita dapat membaca serial ‘Sherlock Holmes’ karya Sir Arthur Conan Doyle dan serial Agatha Christie. Sedangkan untuk novel politik kita dapat membaca ‘Animal Farm’ karya George Orwell sampai karya-karya monumental dari pengarang William Faulkner, Ernest Hemingway, H.G. Wells, Jack London, James Joyce, dan masih banyak lagi.
ADVERTISEMENT
Dengan mengetahui genre apa yang kita suka, kemungkinan besar kita akan semakin rajin untuk membaca. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan mendasar adalah apa yang menjadikan cerita fiksi ini berhasil meraih pembaca yang dibilang tidak sedikit? Selain gaya penulisan, sebenarnya yang membangun fiksi menjadi baik adalah aspek atau unsur intrinsik dan ekstrinsik. Kedua hal ini adalah bangunan yang diciptakan, secara sengaja atau tidak, oleh penulis. Kemudian dinilai dari berbagai perspektif oleh pembaca luas. Hal dasar yang sering ditemukan di awal cerita adalah unsur intrinsik: latar, tokoh, konflik, alur, sudut pandang, tema, dan percakapan.  
Alur (Plot)
Unsur alur atau plot di dalam sebuah fiksi akan dibahas melalui cara pandang bagaimana Gustav Freytag, seorang akademisi Jerman di abad ke-19, memetakan struktur plot dalam sebuah cerita. Menurutnya, plot memiliki lima bagian atau fase: 1) exposition (eksposisi), 2) rising action (konflik), 3) climax (klimaks), 4) falling action (denouement),  dan 5) conclusion (resolusi) (Freytag, 2008). Ilustrasinya dapat dilihat sebagai berikut.
Diambil dari buku The Norton Introduction to Literature (2017) karya Kelly J. Mays
Piramida Freytag di atas mengingatkan saya akan gambar pemandangan yang biasa anak-anak lukis, gunung, dilengkapi dengan matahari, awan, rumah, kebun, serta tidak lupa segaris jalan yang menyudut pada gunung itu. Gambar yang dibuat oleh anak-anak itu menciptakan kreativitas narasi gambar yang khas. Boleh jadi, yang ingin disampaikan oleh Freytag juga tidak kalah sama, yakni memiliki narasi untuk menggambarkan bahwa cerita fiksi memiliki unsur-unsur intrinsik yang khas.
ADVERTISEMENT
Bagian awal kita dapat melihat exposition (eksposisi). Di sini biasanya pembaca akan diperkenalkan mengenai gambaran awal dari karakter atau tokoh, di mana (waktu dan tempat) situasi dari keberadaan tokoh cerita. Hal-hal ini memberi kita informasi dasar untuk memahami apa yang akan terjadi kelak. Pada karya-karya fiksi yang panjang, biasanya, awal cerita memiliki gambaran yang tidak sedikit bahkan berhalaman-halaman.
Lalu apakah eksposisi yang panjang ini merupakan penundaan hingga fase plot berikutnya? Apabila demikian, maka dimungkinkan untuk mengungkapkan beberapa sumber atau benih konflik yang sangat potensial dalam situasi awal penceritaan.
Dengan menjurus kepada konflik, eksposisi dapat menyatu dengan fase kedua dari alur, yakni rising action atau konflik. Dimulai melalui insiden yang memiliki tujuan untuk menghasut atau membuat gaduh hingga terjadilah ketidakstabilan suasana cerita. Misalnya, tokoh A mengirim pesan WA kepada tokoh B yang tidak lain adalah mantan pacarnya di SMA dulu. Lalu di antara mereka tumbuh cinta. Kemudian pesan hubungan itu diketahui oleh istri B. Seperti yang sudah kita ketahui bahwa di sini boleh terdapat satu atau beberapa tindakan untuk mengacaukan situasi awal sehingga memicu konflik yang lebih terbuka seperti perselingkuhan yang dilakukan oleh tokoh A dan B. 
ADVERTISEMENT
Lalu, apa yang membuat konflik meningkat hingga dapat menimbulkan climax dari pertikaian? Jawabannya beragam karena peristiwa lah yang memperkenalkan konflik baru atau memoles konflik yang sudah ada hingga akhirnya menjadi konflik tampak riil. Bisa saja, di dalam klimaks dapat berisi beberapa pertikaian yang menimpa tokoh utama sehingga menjadi tampak rumit. Kerumitan ini dapat diambil melalui sebuah contoh ketika tokoh A dan tokoh B beserta istri saling bertemu. Mereka saling berdebat untuk mempertahankan cinta mereka.
Selanjutnya, falling action atau denouement membawa pelepasan dari ketegangan emosional tokoh utama dan menggerakkan cerita ke arah penyelesaian konflik. Masih merujuk pada contoh di atas, akhirnya tokoh A dan tokoh B memberikan alasan mengapa mereka berhubungan. Akhirnya, ketika sebuah alur diawali dengan situasi yang kemudian tidak stabil maka di dalam conclusion memberi kita, para pembaca, pada situasi baru yang setidaknya memiliki jalan cerita yang agak stabil. Pada bagian ini penulis bisa memberikan sebuah penutup cerita atau bahkan memberikan harapan bagi pembaca, yakni seperti tokoh A dan tokoh B tidak berhubungan lagi. Namun mungkin saja, akhir cerita adalah ending yang tidak diharapkan oleh pembaca, semisal istri tokoh B akhirnya merasa tidak berdaya dan ia memilih membisu.  
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka